Cerpen Devki Firmansyah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Malam ini aku tak bisa tidur, resah dan gelisah menyelimuti perasaanku yang tak karuan ini. Entah gangguan apa yang mengantuiku saat ini, yang jelas banyak sekali yang kupikirkan walaupun sebenarnya hal-hal yang ada di kepalaku ini tidak perlu jadi beban bagi diriku yang masih remaja ini.
Apa yang kupikirkan saat ini adalah tentang sosok ayah, beberapa hari ini ayah terlihat lesu, kurang semangat dan sesekali ku pergoki sedang melamun. Kelihatannya ayah sedang menghadapi masalah yang cukup besar, ayah tak pernah bercerita tentang masalah yang dihadapinya, dan aku pun tak berani memaksanya untuk bercerita. Saking penasarannya, aku pun beranikan diri bertanya kepada ibu, “Bu, ayah kenapa?” Ibu hanya menjawab “Ayah baik-baik saja, nak”. Walaupun aku tak percaya dengan jawaban ibu, tapi aku tidak melanjutkan percakapanku saat itu.
Setelah semalaman aku tak bisa tidur, pagi ini rasa kantuk mulai menyerang, untung saja hari ini hari minggu, jadi bisa sedikit lebih santai di rumah. Aku sempatkan beres-beres kamar sambal ditemani musik keroncong kesukaanku. Suasana desaku ini bisa dibilang cukup gersang karena dikelilingi tambak udang dan berjarak sekitar satu kilometer dari bibir pantai utara.
Dari jendela kamar, aku lihat ayah pergi dengan motor bebeknya dengan membawa setumpuk berkas dalam beberapa map, entah berkas apa itu, tapi samar-samar ada sertipikat tanah yang dibawanya. Aku tidak begitu menghiraukannya dan lanjut membereskan kamar.
“Andi….Andi… Sini dulu bentar nak” teriak ibu dari dapur. Aku langsung bergegas menghampiri ibu dan menyahut “iya bu, ada apa bu?”. Ibu meminta tolong aku untuk membeli gas karena gas habis saat sedang memasak sayur. Sebagai anak laki-laki aku langsung mengiyakan dan langsung pergi ke warung Bi Ecih yang tak jauh dari rumah.
Sesampainya di warung Bi Ecih, ternyata stok gas sedang kosong dan sudah dua hari belum ada pengiriman dari agen. Menurut keterangan Bi Ecih, mulai hari ini warung-warung kecil tidak diperkenankan menjual gas ukuran 3 kg. “Terus ini gimana bi? Ibu mau masak kehabisan gas.” Tanyaku sambil berpikir dan menggerutu dalam hati “Dasar Pemerintah bikin kebijakan asal-asalan, nyusahin masyarakat!”. Akhirnya Bi Ecih menyarankan aku pergi ke agen gas 3 kg di pusat kecamatan yang berjarak sekitar 15 menit dari rumah.
Dalam perjalanan menuju agen gas tersebut, aku melewati Kantor Desa Kehed yang cukup ramai dikerumuni warga, terlihat juga motor ayahku terparkir disana. Aku langsung berhenti dan mengamati dari sebrang jalan. Disini aku juga berjumpa dengan Budi, salah satu temanku sejak kecil. Budi sedang mengantar ayahnya mengurus sengketa tanah yang dialamninya. Aku langsung teringat tadi pagi ayahku juga sepertinya membawa sertipikat tanah ke Kantor Desa ini.
Budi bercerita bahwa belakangan ini ramai berita soal sengketa tanah di Desa Kehed, terutama lahan untuk Kawasan tambak, terlebih sebagian besar masyarakat Desa Kehed ini berprofesi sebagai nelayan tambak udang, termasuk ayahku yang sudah menekuni profesi ini puluhan tahun.
Menurut cerita yang aku dengar dari Budi, beberapa hektar lahan tambak yang tidak produktif sudah diurug oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Lahan tambak tersebut memang sudah tidak produktif sejak beberapa bulan lalu dikarenakan tersumbatnya aliran pengairan sehingga menyebabkan banyak bibit udang mati. Akhirnya para nelayan pun untuk sementara meninggalkan tambak-tambak tersebut dan beralih ke profesi lain. Untung saja tambak milik ayahku tidak terdampak, namun tetap saja rasa khawatir selalu menghantui.
Belakangan aku ketahui bahwa aliran pengairan menuju tambak sengaja diputus oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, yaitu PT. POK (Pantai Ogah Kapok) yang sedang mengembangkan proyek hunian elit di Kawasan tersebut. Namun, menurut masyarakat pihak POK telah melanggar aturan, karena sebagian tanah masyarakat yang seharusnya tidak digusur malah ikut terdampak, bahkan beberapa bidang lahan tambak sudah dipagar oleh pihak POK. Padahal, masyarakat yang memiliki tanah di Kawasan tersebut belum menjual tanahnya, bahkan dari Perangkat Desa sekalipun belum pernah ada diskusi maupun negosiasi sama sekali soal jual beli lahan tambak ini. Mungkin ini yang menjadi alasan masyarakat berbondong-bondong menyerbu Kantor Desa, dan mungkin ini juga yang ayah pikirkan beberapa hari ini.
Saking asyiknya ngobrol dengan Budi, aku sampai lupa harus membeli gas, ibu pasti bertanya-tanya dan menungguku di rumah hampir setengah jam belum pulang-pulang. Akhirnya aku sudahi berbincang-bincang dengan Budi, aku lanjutkan pergi ke agen gas dan mengantre sekitar satu jam untuk mendapatkan gas 3 kg, total hampir 2 jam aku pergi semenjak pergi dari rumah tadi pagi untuk membeli gas. Sungguh melelahkan sekali hari ini, selain lelah berpanas-panasan mengantre gas, aku juga lelah memikirkan nasib lahan tambak milik masyarakat, termasuk tambak ayahku yang tidak lama lagi akan panen. Aku khawatir tambak ayanku akan digusur.
Setibanya di rumah, ibu sudah menunggu di depan pintu “Lama amat.. Beli gas di Vietnam ya?” sindir ibu dengan nada kesal. “Maaf bu, gasnya langka, ga ada di warung Bi Ecih. Sekarang harus beli ke agen gas di Kecamatan.” Jawabku dengan nada merendah. Ibu menimpali jawabanku “Iya ibu sudah tahu, yuk makan dulu. Ibu sudah beres masak pakai kayu bakar tadi, tuh ayah juga sudah pulang”. Beruntungnya aku memiliki ibu yang selalu perhatian dan pengertian dengan keluarga.
Kami menyantap makan siang sambil bercengkrama, ku lihat ayah sudah bisa tersenyum dan tidak lesu seperti kemarin. “Kadesnya kabuuurr..” ucap ayah dengan nada agak kesal. “Tapi tanah kita insya Allah aman, ayah sudah bawa semua berkas legalitas tanah kita ke Kantor Desa dan berkasnya asli” Jelas ayah. “Alhamdulillah…” Aku dan Ibu merasa lega mendengarnya.
Namun ada beberapa tetangga yang bermasalah dengan sertipikat tanahnya, bahkan ada satu bidang tanah memiliki tiga sertipikat dengan nama pemilik yang berbeda-beda, sungguh keterlaluan. Sudah dipastikan ini ada permainan mafia tanah yang melibatkan Kepala Desa Kehed yang entah dimana keberadaannya saat ini.
Satu minggu berlalu, isu soal sengketa tanah ini masih menjadi topik perbincangan hangat di tengah masyarakat. Setiap hari Kantor Desa Kehed dipenuhi masyarakat yang ingin meminta kejelasan status tanahnya, namun taka da jawaban pasti dari pihak perangkat Desa, bahkan Kepala Desa pun hingga hari ini masih tidak diketahui keberadaannya.
Beberapa instansi terkait mulai dari Menteri Agraria, hingga penegak hukum sudah bergerak ke lapangan di Kawasan tambak untuk menyelidiki kasus ini, namun hingga saat ini masih belum ditetapkan siapa tersangka atas sengketa ini. Di sisi lain, pihak pengembang PT. POK merasa sudah menguasai lahan tersebut dan memiliki sertipikatnya. Namun, atas rekomendasi Menteri Agraria, bahwa pembangunan yang dilakukan oleh PT. POK di Kawasan tersebut agar dihentikan sementara hingga kasusnya selesai.
Ayahku sudah lama tergabung dalam Kelompok Nelayan Pantura dan semuanya sepakat menolak pembangunan perumahan elit di Kawasan tersebut. Begitu juga dengan seluruh masyarakat Desa Kehed, kami satu suara untuk menolak pembangunan perumahan elit. Kami tidak ingin lahan tambak ikut digusur hanya untuk kepentingan orang-orang berduit, kami sangat khawatir terjadi ketimpangan sosial dan kerusakan lahan tambak sehingga mematikan mata pencaharian masyarakat Desa Kehed.
Selain lahan tambak yang dicaplok, ternyata pihak pengembang juga sudah memagari laut di sekitar Pantai Utara di Desa Kehed, tentu para nelayan yang hendak melaut juga jadi kesulitan mencari ikan. Aku tidak habis pikir betapa rakusnya orang-orang berduit itu hingga berbuat dzholim kepada masyarakat di Desa kelahiranku ini.
Aku hanya berharap Kepala Desa Kehed muncul dan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang sengketa tanah ini, dan jika memang Kepala Desa terlibat, semoga bisa dihukum secara adil karena telah merugikan masyarakat.