Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Dewi Anggreini Puspita Sari | Cakrawala di Ujung Perjuangan

Cerpen Dewi Anggreini Puspita Sari


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Ombak berdesir pelan di bibir pantai, seolah enggan mengusik pagi yang masih engap. Di kejauhan, garis pagar besi berdiri kokoh menembus cakrawala, membelah laut yang dulu bebas diakses siapa saja. Pagar itu bukan sekadar batas fisik; ia adalah simbol luka yang tak kasatmata, mengurung harapan nelayan dan merampas ruang hidup mereka.


Wayan Gatra berdiri di atas perahu tuanya, menatap pagar besi dengan tatapan nanar. Sejak kecil, lautan adalah sahabatnya, sumber kehidupan yang setia memberi tanpa pamrih. Namun kini, laut itu dipagari atas nama pembangunan, demi proyek reklamasi yang katanya untuk kemajuan ekonomi. Kata-kata manis dari orang-orang berjas itu tak pernah mengenyangkan perut anak-anak di kampungnya.

“Gatra, kita melaut ke mana sekarang?” tanya Komang Lodra, sahabatnya sejak bocah.


Gatra menghela napas panjang. “Ke mana saja, asal bukan ke laut yang sudah jadi milik mereka.”


Mereka mendayung perlahan, menjauh dari pagar besi yang mencakar langit. Jaring-jaring ikan yang dulu penuh kini hanya berisi angin dan kekecewaan. Ikan-ikan seolah tahu, mereka pun diusir dari rumahnya sendiri. Laut yang dulu bersahabat kini berubah menjadi ruang asing, penuh larangan dan batasan.


Di darat, para ibu berkumpul di balai adat, membicarakan nasib yang tak kunjung jelas. Ni Luh Sari, istri Gatra, menggendong anak bungsunya sambil sesekali melirik ke arah laut.


“Dulu, Gatra pulang membawa ikan segar. Sekarang, dia pulang membawa lelah,” bisiknya lirih.


Konflik ini bukan sekadar tentang tanah atau laut, melainkan tentang identitas dan warisan. Pagar laut itu merampas lebih dari sekadar ruang fisik; ia mencuri rasa memiliki, memutus ikatan leluhur yang telah terjalin ratusan tahun.


Malam itu, di bawah cahaya temaram lampu minyak, Gatra berbicara di hadapan warga desa.


Suaranya serak, tapi penuh tekad.


“Laut ini bukan milik mereka. Ini warisan nenek moyang kita. Kita harus bersuara, bukan untuk melawan, tapi untuk bertahan.”


Warga mengangguk, mata mereka menyala dengan semangat baru. Esoknya, mereka menggelar aksi damai di tepi pantai. Spanduk-spanduk bertuliskan “Laut Bukan untuk Dipagari” berkibar tertiup angin. Anak-anak berlari-lari kecil, tertawa tanpa memahami betapa berat beban yang ditanggung orang tua mereka.


Namun, suara rakyat kecil seringkali tenggelam di tengah gemuruh mesin-mesin pembangunan. Aparat datang, membawa perintah untuk membubarkan kerumunan. Gatra berdiri paling depan, dadanya tegap meski ketakutan menyelinap di sudut hatinya.


“Kami hanya ingin laut kami kembali,” katanya, lirih tapi tegas.


Ketegangan memuncak. Seorang aparat maju, mencoba menarik spanduk dari tangan seorang ibu. Gatra melangkah cepat, berdiri di antara mereka.


“Jangan sentuh dia!” teriak Gatra, matanya membara.


“Kami hanya menjalankan perintah,” jawab aparat itu dengan datar. “Dan kami hanya ingin hidup,” balas Gatra. “Apakah itu kejahatan?”


Bentrok kecil pecah. Teriakan, tangisan, dan suara kayu patah bercampur menjadi satu. Warga melawan dengan tangan kosong, sementara aparat bersenjata lengkap. Gatra terjatuh, darah mengalir dari pelipisnya, tapi ia bangkit lagi.


“Laut ini rumah kami! Kalian tak bisa mengambilnya begitu saja!”


Di tengah kekacauan, seorang ibu berdiri di atas perahu kecil, suaranya menggema lantang. “Anak-anakku, jangan takut! Kita punya laut, kita punya semangat!”


Nyanyian tradisional mulai terdengar, mengiringi perjuangan mereka. Suara itu seperti pelita di tengah kegelapan, menguatkan hati yang mulai rapuh.


Setelah bentrokan itu, Gatra dan beberapa perwakilan warga dipanggil untuk menghadiri perundingan dengan pihak perusahaan dan pemerintah. Ruangan itu dingin, penuh dengan orang- orang bersetelan rapi yang memandang mereka seperti gangguan kecil.


Seorang eksekutif perusahaan berkata, “Kami memahami perasaan Anda, tetapi ini untuk kepentingan bersama. Pembangunan ini akan membawa kemajuan.”


Gatra menahan amarah, suaranya bergetar. “Kemajuan untuk siapa? Bagi kami, ini adalah akhir dari kehidupan yang kami kenal.”


Perundingan berlangsung berjam-jam. Tekanan psikologis datang dari berbagai arah, namun Gatra tetap tegar. Ia berbicara tentang laut sebagai rumah, bukan sekadar sumber daya ekonomi. Tentang bagaimana setiap nelayan mengenal arus dan ombak seperti mengenal denyut nadinya sendiri.


Di sela-sela perundingan, Gatra memandang wajah-wajah dingin di hadapannya. Ia melihat ketidakpedulian yang menusuk lebih dalam daripada pagar besi di laut.


“Apakah kalian pernah merasakan asin air laut di bibir kalian karena mencari ikan semalaman? Apakah kalian tahu bagaimana rasanya pulang dengan tangan kosong, sementara anak-anak menunggu dengan harapan di mata mereka?”


Namun, meski kata-katanya menyentuh, keputusan tetap tak berpihak pada mereka.


Bulan berganti. Warga tak menyerah. Mereka mengadakan demonstrasi besar, melibatkan ratusan orang dari berbagai desa pesisir. Laut dipenuhi perahu-perahu kecil yang berbaris membentuk simbol perlawanan. Dari udara, tampak seperti lukisan raksasa di atas kanvas biru laut.


Pada puncak demonstrasi, Gatra berdiri di atas perahunya, mengangkat tangannya tinggi. “Ini bukan hanya tentang kami. Ini tentang masa depan kita semua!”


Aksi itu menjadi sorotan nasional. Dukungan mengalir deras, tetapi proyek tetap berjalan. Pagar besi semakin tinggi, menancap lebih dalam di jantung laut mereka.


Namun, sebuah titik balik terjadi saat Mahkamah memutuskan untuk meninjau ulang izin proyek tersebut setelah desakan publik yang masif. Warga berkumpul di balai desa, menunggu hasil putusan dengan napas tertahan.


“Kita sudah berjuang sejauh ini. Apa pun hasilnya, kita tidak pernah menyerah,” ujar Gatra. Keputusan akhirnya berpihak pada mereka. Mahkamah membatalkan izin proyek dengan alasan pelanggaran hak masyarakat pesisir. Tangis haru pecah di antara warga. Mereka berpelukan, merayakan kemenangan kecil mereka. Namun bagi Gatra, kemenangan sejati adalah pelajaran yang mereka dapatkan: bahwa suara kecil pun bisa menggema jika diucapkan bersama.


Tahun berlalu. Gatra duduk di tepi pantai, menatap lautan yang kini bebas dari pagar besi. Di sampingnya, Lodra berkata lirih, “Kita sudah berjuang, Gatra.”


Gatra mengangguk pelan. “Iya, dan laut ini tetap milik kita.”


Anak-anak berlari di pantai, tawa mereka mengisi udara. Laut itu tetap biru dan luas, bebas dari batasan. Meski perjalanan mereka penuh luka, satu hal tetap abadi: semangat untuk menjaga warisan mereka.


Gatra memandang jauh ke cakrawala. “Kebebasan bukan hanya tentang memiliki laut tanpa pagar. Kebebasan adalah ketika hati kita tak bisa dipagari oleh ketidakadilan.”


Dan ombak pun terus berbisik, membawa cerita tentang mereka yang pernah berjuang, bukan hanya untuk menang, tetapi untuk tetap hidup dalam kebenaran.


Keputusan Mahkamah Agung bagai angin segar bagi Gatra dan warga desa. Semangat mereka berkobar, menyala lebih terang dari sebelumnya. Pagar besi yang telah lama menjadi simbol penindasan akhirnya diruntuhkan. Potongan-potongan besi itu, yang dulunya angkuh mencakar langit, kini teronggok tak berdaya di tepi pantai, menjadi saksi bisu atas kegigihan mereka.


Gatra, dengan tangannya yang kokoh, memimpin warga untuk membersihkan sisa-sisa proyek reklamasi. Perahu-perahu nelayan kembali berlayar, mengarungi lautan yang telah kembali menjadi milik mereka. Jaring-jaring kembali terisi ikan, membawa harapan dan kemakmuran bagi desa.


Namun, perjuangan mereka tidak berhenti di situ. Gatra menyadari bahwa mereka perlu membangun kembali kehidupan mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan spiritual. Trauma akibat konflik masih membekas di hati sebagian warga. Rasa tidak percaya pada pihak luar masih menghantui.


Maka, Gatra menggagas sebuah program pemulihan trauma bagi warga desa, terutama anak- anak. Ia mengundang para psikolog dan pekerja sosial untuk membantu warga mengatasi rasa takut dan cemas yang mereka alami. Gatra juga memprakarsai program pendidikan lingkungan, mengajarkan anak-anak tentang pentingnya menjaga kelestarian laut dan ekosistemnya.


Di sisi lain, Gatra juga aktif menjalin komunikasi dengan pemerintah dan pihak swasta. Ia ingin memastikan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang kembali. Ia mendorong pemerintah untuk lebih memperhatikan hak-hak masyarakat pesisir dan melibatkan mereka dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan laut.


Gatra juga bekerja sama dengan LSM dan aktivis lingkungan untuk mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian laut. Ia menjadi ikon perjuangan masyarakat pesisir, suaranya didengar dan dihormati.


Suatu malam, Gatra duduk di beranda rumahnya, memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ni Luh Sari, istrinya, datang menghampiri, membawa secangkir teh hangat.


"Kau tampak lelah, Gatra," ucap Ni Luh Sari lembut.


Gatra tersenyum. "Aku hanya sedang berpikir, Sari. Perjuangan kita memang berat, tapi kita berhasil melewatinya."


"Ya, Gatra. Kita berhasil," sahut Ni Luh Sari, matanya berkaca-kaca.


Gatra menatap lautan yang terbentang luas di hadapannya. Ombak bergulung tenang, memecah keheningan malam. Di kejauhan, lampu-lampu perahu nelayan berkelap-kelip, bagai kunang-kunang di tengah kegelapan.


"Laut ini telah mengajarkan kita banyak hal, Sari," ucap Gatra lirih. "Ia mengajarkan kita tentang arti kebebasan, keberanian, dan persatuan."


Ni Luh Sari mengangguk. "Dan ia juga mengajarkan kita tentang arti pentingnya menjaga warisan leluhur kita."


Gatra memejamkan mata, membayangkan masa depan desanya. Ia melihat anak-anak bermain riang di pantai, nelayan melaut dengan gembira, dan laut tetap lestari, menjadi sumber kehidupan bagi generasi mendatang.


"Aku bermimpi, Sari," bisik Gatra. "Aku bermimpi tentang laut yang bebas, desa yang makmur, dan anak-anak kita yang tumbuh dengan bahagia."


Ni Luh Sari menggenggam tangan Gatra. "Mimpi itu akan menjadi kenyataan, Gatra. Aku yakin."


Gatra membuka mata, menatap wajah Ni Luh Sari yang penuh keyakinan. Ia tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur dan harapan.


"Terima kasih, Sari," ucap Gatra tulus. "Terima kasih telah selalu mendampingiku."


Mereka berpelukan, di bawah langit berbintang, di tepi laut yang telah mereka perjuangkan. Laut yang telah menjadi saksi bisu perjuangan mereka, kini menjadi simbol kebebasan dan harapan bagi mereka.


Bertahun-tahun kemudian, Wayan Gatra telah menjadi tetua desa yang dihormati. Ia tetap menjadi sosok yang rendah hati, bijaksana, dan peduli pada lingkungan. Kisah perjuangannya menjadi legenda yang diceritakan turun-temurun.


Laut tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Anak-anak desa tumbuh dengan mencintai laut, menghormati alam, dan menghargai warisan leluhur mereka.


Dan ombak pun terus berdesir, mengalunkan kisah tentang seorang nelayan sederhana yang berani bermimpi dan berjuang untuk kebebasan. Kisah tentang Wayan Gatra, sang penjaga laut.


10 comments