Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Dewi Sah Fitri Tanjung | Konspirasi Tabir Bambu di Balik Batas Ombak

Cerpen Dewi Sah Fitri Tanjung



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Alkisah, di sebelah selatan Benua Bantenia, terdapat sebuah kerajaan pesisir bernama Tangera yang dikelilingi lautan luas. Di sepanjang garis utara kerajaan ini, ombak menggulung di perairan dangkal, menciptakan tempat ideal bagi para nelayan. Salah satunya adalah Desa Andam, tempat Jaja dan keluarganya tinggal. Kehidupan mereka seolah diayomi oleh Dewa Laut Tala, yang dipercaya menjaga keseimbangan di wilayah pesisir. Namun, kedamaian itu mulai terusik ketika suatu hari mendadak muncul pagar bambu raksasa yang berdiri di tengah laut seperti benteng asing yang menolak disentuh. Banyak warga pesisir terheran-heran menyaksikannya. Para nelayan sulit memahami bagaimana dan kapan pemasangannya. Tak seorang pun mengaku melihat kapal besar atau rombongan pekerja yang menancapkan bambu-bambu raksasa tersebut. Sebuah kelompok yang menamakan diri Aliansi Rakyat Pantai Utara tiba-tiba muncul, mengklaim bahwa merekalah yang memasang pagar untuk mencegah abrasi dan badai laut. Mereka juga bersikukuh membiayai proyek ini secara mandiri. Akan tetapi, Jaja dan kawan-kawan nelayannya ragu. Ukuran bambu yang sangat besar, disertai ukiran simbol-simbol gaib, menimbulkan kesan bahwa pagar ini bukanlah pekerjaan orang biasa.


Sejak kemunculan pagar laut ini, banyak nelayan yang kehilangan akses ke titik-titik penangkapan ikan terbaik. Jaja sendiri sempat berlayar mendekat, tetapi terbentur pagar laut tinggi yang hampir sulit dilewati kapal. Setiap kali perahunya mendekat, angin laut terasa berubah ganjil, seolah ada mantra yang mencegah orang asing mendekat. Gelombang pun beriak tak menentu, membikin perahu berguncang. Anak Jaja, Fikri, yang ikut menemani, mulai ketakutan. “Ayah, tempat ini seperti diselimuti kutukan,” bisiknya. Sejak itu, Jaja bertekad mencari kebenaran tentang pagar laut misterius tersebut.


Desa Anom memang tak jauh dari sebuah kawasan elit yang sedang dibangun: Istana Dagang PIKA, bagian dari Keluarga Ageng Sirayu yang merupakan kaum bangsawan di Kerajaan Tangera. Seorang perwakilan istana dagang, bangsawan bernama Togi, muncul di berbagai pertemuan desa, membantah tuduhan bahwa Keluarga Ageng Sirayu menancapkan pagar bambu untuk mengklaim wilayah laut. Meski demikian, desas-desus tidak mereda. Para tetua desa, termasuk Kakek Suhud yang arif, mengingatkan, “Bukan mustahil ini ulah sihir licik. Bukankah di masa lalu banyak prajurit gelap yang memagari laut untuk kepentingan pribadi?”


Keresahan warga akhirnya sampai juga ke telinga Raja Prabawa, penguasa Kerajaan Tangera. Sang Raja lantas mengutus Penyihir Agung Nasruni, seorang ahli agraria gaib sekaligus Menteri Tata Ruang di kerajaan, untuk datang menyelidiki. Ia tiba dengan rombongan pengawal dan beberapa juru ukur lahan. Begitu sampai di bibir pantai Desa Kahad, Nasruni memejamkan mata, merapal mantera agar bisa merasakan jejak energi di pagar bambu. Ia terhenyak karena menemukan semacam sihir penyegel yang digunakan untuk membentuk penghalang tak kasatmata di sekitar bambu-bambu tersebut. “Ini bukan sekadar pagar fisik,” ujar Nasruni pelan. “Ada konspirasi hitam di baliknya.”


Sekembalinya ke kerajaan, Nasruni langsung melangkah menuju gedung arsip kerarajaan. Saat melakukan penelusuran, Nasruni menemukan adanya ratusan Akta Kepemilikan Lahan telah terbit di wilayah lautan tempat bambu-bambu raksasa berdiri. Lebih mengejutkan lagi, ternyata sebagian besar akta itu diterbitkan atas nama usaha Keluarga Ageng Sirayu. “Ini jelas menyalahi ketentuan kerajaan,” tegas Nasruni di hadapan warga. “Pantai dan laut adalah milik publik. Tak boleh diklaim pribadi dengan dalih apa pun.” Penduduk pun semakin marah sekaligus resah. Bagaimana mungkin ada pihak yang berani menerbitkan sertifikat kepemilikan di atas laut?


Atas temuan ini, penyihir Agung Nasruni langsung melapor kepada Raja Prabawa. Raja yang geram segera mengerahkan Armada Laut Kerajaan di bawah pimpinan Laksamana Wirda untuk membongkar pagar bambu. Prajurit laut dengan kapal-kapal besar berkumpul di dermaga Tuanjung Tasir. Warga dan nelayan ikut membantu. Pada suatu pagi beberapa hari setelah titah Raja Prabawa turun, operasi pembongkaran dimulai. Kapal penarik menarik bambu satu per satu, namun mereka bertemu halangan: cuaca mendadak memburuk, badai menyerang dari utara, padahal langit sebelumnya cerah. Seakan-akan ada entitas gaib yang berusaha mempertahankan pagar tersebut.


Dalam sebulan, para prajurit kerajaan berhasil mencabut setengah dari pagar laut raksasa tersebut. Sisanya terpaksa dibiarkan karena ombak terlalu ganas dan munculnya keramba-keramba siluman yang diduga menjadi penghalang tambahan. Nelayan yang biasa mencari ikan di area itu bersaksi bahwa keramba tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Tingginya mencapai 2–3 meter, penuh ukiran rumit yang berpendar ketika malam. Sering kali, kapal milik prajurit kerajaan pun kehilangan kendali saat mendekat. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: siapakah pemilik kekuatan mistis yang menciptakan keramba penghalang?


Sementara itu, di ibu kota kerajaan tersiar kabar bahwa Rinamin Salman, pendekar hukum dari kelompok Masyarakat Antikorupsi Istana, mengajukan laporan resmi ke Konsil Penumpas Kejahatan. Tuduhannya: penerbitan akta kepemilikan atas laut mengandung unsur penipuan dokumen dan korupsi tingkat tinggi. Rinamin yakin ada oknum pejabat kerajaan yang sengaja memuluskan langkah Keluarga Ageng Sirayu. Saat Rinamin menghadap Ketua Konsil, ia menyerahkan bukti resmi, termasuk peta magis dan catatan pemalsuan ukuran garis pantai. “Jika tidak diungkap, ini akan jadi aib terbesar dalam sejarah Tangera,” katanya berapi-api.


Pada saat yang sama, Dewan Kerajaan tengah bersidang. Fraksi Partai Keadilan Sejati mengusulkan pembentukan Pasukan Khusus agar pagar laut beserta aktor-aktor di baliknya terungkap tuntas. “Jika kita biarkan, publik akan kehilangan kepercayaan pada keadilan kerajaan,” ujar Rahjat Salih, salah satu anggota dewan. Namun, penolakan datang dari beberapa fraksi, termasuk Komisi yang dipimpin Nyi Agung Hardianti. “Bila Penyihir Agung Nasruni dan armada kerajaan mampu menuntaskannya dengan cepat, kita tak perlu membuang energi membentuk Pasukan Khusus,” kata Hardianti dengan tegas. Pertentangan ini membuat proses pengungkapan kebenaran menjadi terhambat.


Sementara pertentangan sengit berlangsung di kerajaan, Jaja melihat secercah cahaya harapan di Desa Andam dan Kahad. Setidaknya, sebagian pagar bambu sudah berhasil dibongkar, sehingga nelayan bisa mulai menembus area tangkapan lebih luas. Namun, masih ada pagar-pagar yang tegak berdiri, menyebabkan hasil tangkapan tetap berkurang. Banyak nelayan kini menggantungkan harapan pada kebijakan tegas kerajaan. Mereka menginginkan pengusutan tuntas agar tidak ada lagi lahan laut yang diklaim. Di satu sisi, warga juga khawatir: jika ternyata Keluarga Ageng Sirayu terlalu kuat, bisakah mereka kembali menancapkan pagar yang lebih kokoh?


Menanggapi situasi genting, Nasruni kembali ke pesisir dengan membawa Genta Pantai, sebuah artefak kuno warisan Kerajaan Bantenia yang konon bisa menetralkan sihir air. Ia mengundang para tetua desa agar melakukan ritual permohonan perlindungan kepada Dewa Laut Tala. Pada subuh yang temaram, mereka berkumpul di pantai, menyalakan lentera, dan membunyikan Genta Pantai. Suara nyaringnya menggema di udara pagi, menembus kabut. Perlahan, kabut menghilang, menyibak pemandangan pagar bambu yang menjulang di hamparan laut. Kini, tanpa perlindungan sihir kegelapan, bambu-bambu itu tampak lebih rapuh dan rentan untuk dicabut.


Dengan semangat baru, tim armada laut dan para nelayan bergerak. Kapal-kapal dilengkapi tali-temali kuat, sementara Nasruni melantunkan mantra pembatalan sihir. Badai yang semula kerap muncul perlahan mereda. Gelombang masih besar, namun tak lagi mematikan. Begitu tali-tali melingkar di tiang bambu, prajurit dan warga menarik sekuat tenaga. Satu per satu bambu terlepas dan roboh. Terkadang, terdengar pekikan mirip jeritan roh jahat yang melepaskan diri. Hingga di penghujung hari kesepuluh, sisa pagar telah dilenyapkan. Anak-anak di pantai bersorak, orang dewasa berpelukan. Perlahan, tabir yang mengungkung laut Tangera pun buyar.


Seiring tumbangnya pagar, Nasruni mengumumkan di hadapan media kerajaan: “Semua akta kepemilikan yang berada di bawah garis pantai ini saya batalkan. Laut bukan milik siapa pun, ia milik semesta dan rakyat.” Tak lama, Konsil Penumpas Kejahatan memanggil para petinggi dari Biro Pengukuran Negeri yang menandatangani akta-akta tersebut. Desas-desus santer beredar bahwa beberapa pejabat kunci dibayar mahal oleh agen rahasia Keluarga Ageng Sirayu. Walau Togi tetap bersikeras tak terlibat, rumor keterlibatan klannya sulit dibendung. Di jalan-jalan pusat kerajaan, rakyat menyanyikan yel-yel menuntut keadilan. Meskipun Pasukan Khusus tak terbentuk, tekanan publik dan kerja Konsil Penumpas Kejahatan perlahan menyingkap simpul-simpul korupsi.


Pagi itu, Jaja kembali berlayar dengan Fikri. Kapal mereka melaju mulus, tanpa ada pagar laut penghalang. Matahari memancar di ufuk timur, seperti memberi restu baru. Laut Tangera terlihat lebih biru dan bersahabat. Meski proses hukum masih berjalan, rakyat pesisir setidaknya telah mendapatkan haknya kembali: kebebasan untuk berlayar dan menangkap ikan. Di kejauhan, tampak sisa-sisa bambu menepi di pantai, menjadi saksi bisu bahwa keserakahan, bahkan ketika bersekutu dengan sihir kegelapan, pada akhirnya bisa dikalahkan oleh kegigihan dan kebenaran. Di situlah harapan bersemayam, menegaskan bahwa laut adalah warisan bersama, bukan mainan segelintir penguasa. Selama masih ada keberanian melawan ketidakadilan, maka keindahan pantai utara Tangera akan tetap lestari untuk generasi yang akan datang.