Cerpen Dhimas Bima Shofyanto
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Setelah hampir menyaksikan bapaknya bunuh diri pada rangka kayu langit-langit dapur, Musa seringkali diserbu mimpi-mimpi aneh. Trauma yang seharusnya diidapnya seumur hidup terhalangi kerumunan tetangga dan juga wartawan yang tak dikenalinya. Mereka sibuk mengabadikan momen traumatis itu untuk pekerjaan mereka melalui jepretan gambar. Untuk dijadikan topik pembicaraan utama tiap kali menunggu antrian di pasar ikan, atau diunggah di media sosial agar meningkatkan pengunjung yang bisa diubah menjadi pundi-pundi uang digital.
Momen yang hampir menghantuinya seumur hidup itu menjadi samar. Tak ada yang diingatnya mengenai bagaimana bapaknya melakukan perbuatan tabu tersebut. Dia bahkan tak mengetahui apakah mata bapaknya terbuka, lidahnya menjulur, atau lehernya memiliki tanda goresan kasar. Yang dapat diingatnya hanyalah tangis keras ibunya, adiknya yang mematung di dalam kamar tanpa meneteskan setitik pun air mata, dan kerumunan orang yang mendorongnya keluar dari rumah.
Musa bahkan tak mengingat sempat menyibak kain jarik yang menutupi wajah bapaknya sebelum penguburan berlangsung. Pikirannya masih terlalu lamban berjalan, sebab semua terjadi secara begitu tiba-tiba. Seperti kilatan-kilatan cahaya yang hanya bisa membuatnya menutup mata dan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana adanya.
Lubang pada ingatan yang dimilikinya kemudian menjadi reka-rekaan yang terus berubah di tiap hari dalam bentuk mimpi. Informasi sepotong-potong yang diterimanya malah berbuah menjadi kisah-kisah yang sama sekali lain. Sekali waktu, dia bermimpi bahwa bapaknya tidak meninggal dengan menggantung lehernya pada simpul tali tambang, melainkan mengikat dua pergelangan kakinya pada rangka rumah dan bergelantungan dengan kepala di bawah selama semalam. Lain waktu bapaknya tak jadi meninggalkan dunia, karena tali tambang yang tersimpan di gudang semerta-merta berubah jadi sebatang bambu.
Setidak-tidaknya, mimpi yang dialami Musa mengenai bapaknya telah berlangsung sebanyak tiga puluh satu kali. Meski tidak sebanyak itu mimpi-mimpi yang dapat diingatnya, lebih banyak yang terlupa sesaat setelah dirinya bangun dari mimpi; hilang begitu saja seperti debu yang ditiup kencang dari telapak tangan. Beberapa ada yang diingatnya sebagian, dan langsung ditulisnya di catatan telepon pintar.
Dari sekian banyak, hanya ada satu mimpi yang lekat pada ingatannya. Mimpi yang baru dialaminya semalam. Dia melihat bapaknya mengambil tali tambang dari gudang rumah untuk menambat perahunya di dermaga agar tak terseret ombak. Namun sesaat sebelum dipegang, tali tambang itu segera berubah menjadi ular yang menggigit pergelangan tangannya.
Karena tak ingin membangunkan istri dan anak-anaknya, dengan terseok-seok bapaknya berjalan menuju laut. Berniat membasuh bekas gigitan ular dengan air, berharap dengan itu racunnya turut larut. Sialnya, air laut sedang tinggi. Bapaknya mesti naik ke perahu terlebih dahulu agar bisa mendapatkan posisi yang bagus. Namun ketika baru saja naik dan mengambil ancang-ancang untuk mengambil air laut dari atas perahu, perahunya tersapu ombak dan bergerak menjauh dari bibir pantai. Perahu bapaknya yang tak tertambat, terus bergerak ke tengah laut dan tak kembali hingga sekarang.
Mimpi itu mengganggunya. Karena semenjak kematian bapaknya beberapa waktu lalu, perahu yang biasa digunakan bapaknya melaut hilang semerta-merta. Meski ibu dan adiknya tak pernah mempermasalahkan hal itu karena masih larut dalam kesedihan, Musa tak pernah dapat berhenti memikirkannya. Selain karena itu satu-satunya alat keluarganya untuk menyambung hidup, dia yakin benar ada kemungkinan bapaknya masih hidup dan tengah melaut menggunakan perahu itu. Sedang mayat yang menggantung diri di rumahnya adalah mayat orang asing yang tak sama sekali dikenalinya.
***
Hari itu seisi kampung dihebohkan oleh truk-truk besar yang berbaris memanjang menuju laut. Tumpukan batang bambu yang jumlahnya ribuan nampak bergetar-getar tiap kali roda truk terantuk lubang-lubang aspal. Beberapa orang sempat menghentikan laju truk itu dan menanyakan tujuan dari bambu-bambu. Namun jawaban yang dilontarkan oleh sopir tak pernah berhasil memuaskan mereka.
“Sebentar lagi ombak akan naik lebih tinggi ketimbang biasanya, bambu ini nantinya akan ditancapkan di laut agar ombaknya terpecah-belah. Begitu yang dikatakan oleh Pak Lurah.”
Mendengarnya, Musa merasakan adanya kejanggalan. Perasaan sama yang pernah dirasakannya beberapa waktu silam, ketika bapaknya didatangi oleh beberapa aparat desa untuk meminta surat-surat yang menyangkut identitas keluarga mereka. Sekalipun mereka menawarkan sejumlah uang, bapaknya masih menolak. Tolakan yang sebelumnya juga pernah dilakukan oleh bapaknya, ketika disuap agar memilih lurah kampung saat ini sewaktu pilkades dilaksanakan.
Oleh karena itu banyak yang tidak suka dengan bapaknya. Bapak Musa selalu dianggap sebagai seseorang yang tak mengerti keadaan dan tak bisa hidup mengikuti arus. Sehingga beberapa hari sebelum kematiannya pun, serangan fajar yang juga menyambangi bapaknya ketika hari pemilu ditolaknya mentah-mentah. Sekalipun Musa tau, bapaknya masih memiliki begitu banyak hutang.
Sayangnya, keteguhan yang dimiliki oleh bapaknya tidak semerta-merta terwaris kepada Musa. Matanya segera menampakkan sedikit binar ketika seorang lelaki utusan lurah datang kepadanya, dan mengajaknya bekerja setelah pertanyaan, “Kamu anaknya Pak Amran, kan?” dijawabnya dengan “Iya, benar.”
“Nantinya pekerjaanmu hanya memasang bambu-bambu ke beberapa titik yang sudah ditentukan. Upahnya sepuluh juta tiap minggu. Syarat utamanya, jangan bertanya apapun, dan bereaksi terhadap apapun yang terjadi nantinya. Kau hanya perlu menancapkan bambu-bambu itu ke dasar laut.”
Suara lelaki utusan itu terus bergema di kepalanya. Tumpang tindih dengan hutang-hutang bapak yang diwarisinya, juga desakan kebutuhan keluarga yang membuat ibunya tanpa henti berkeliling kampung untuk menawarkan jasa pembantu rumah tangga.
Sehingga beberapa waktu setelahnya, Musa terus disibukkan oleh pekerjaannya itu. Dengan berjalan kaki melawan gelombang laut dia menancapkan tongkat-tongkat bambu—lewat petunjuk seorang mandor yang mengawasinya dari bibir pantai. Mulanya, dia cukup kesulitan menghunjamkan bambu-bambu itu ke dasar laut, sebab air membuat tenaga yang dikeluarkannya berkurang separuh. Namun karena dalam sehari dia bisa bekerja selama delapan jam penuh, lama-lama tangannya menjadi terampil juga.
Jikalau biasanya dia membutuhkan waktu dua puluh menit dan beberapa hentakan untuk membuat satu batang bambu tertancap, lama-lama dia bisa melakukannya hanya dengan sekali hentakan. Dia biasanya akan mengangkat batang bambu itu tinggi-tinggi hingga melebihi tinggi kepalanya, lalu menghunjamkannya dengan keras. Air laut yang dihunjamnya pun terbelah seperti selongsong kosong peluru. Sehingga batang bambu bisa langsung tertancap di dasar laut dengan kuat.
Semakin lama, tongkat bambu Musa yang dipasangnya telah memanjang dan membuat laut terpetak-petak seperti sawah. Barangkali bila benar-benar diukur, panjang pagar bambu itu bisa mencapai tujuh sampai sepuluh kilometer. Banyak dari tetangga-tetangganya yang harus memutari pagar untuk menjaring ikan. Beberapa dari mereka bahkan mengeluh tak mendapatkan ikan sama sekali, sebab area yang banyak ikannya berada di dalam area pagar bambu dan perahu mereka akan rusak bila memaksa melewati pagar-pagar itu.
Sedang Musa benar-benar menutup telinga akan keluhan yang muncul dari tetangga-tetangganya. Seperti yang disyaratkan oleh utusan lurah itu, dia tak bereaksi apapun, sekalipun yang kemudian mengingatkannya untuk berhenti adalah ibunya sendiri. Dia masih terus memagari laut, menancapkan tongkat-tongkat itu di tiap harinya. Karena beberapa waktu belakangan, kemampuannya dalam memacakkan tongkat-tongkat bambu ke dasar laut semakin bertambah terampil. Ada semacam perasaan senang yang ganjil ketika dia menghunjamkan bambu itu, dan hentakannya berhasil membelah air laut menjadi selongsong kosong peluru.
Hingga suatu hari diketahui bahwa pemagaran laut yang dilakukannya adalah tindakan ilegal. Musa telah diperalat oleh lelaki suruhan Pak Lurah itu. Sehingga tentara berseragam loreng berbondong-bondong turun ke laut untuk mencabuti bambu-bambu yang telah dipasangnya sembari mengendarai tank amfibi dan kapal mesin. Ratusan perahu nelayan turut turun untuk merebut kembali lahan pencaharian mereka.
Melihat Musa yang masih terus menancapkan batang-batang bambu, semua orang yang telah berada di laut meneriakinya untuk menghentikan pekerjaannya. Karena nampak acuh tak acuh atas peringatan yang telah diteriakkan, baik tentara maupun nelayan segera memacu perahu dan tank amfibi mereka ke arah Musa. Melihatnya, Musa hanya tersenyum. Tongkat bambu yang harus ditancapkannya hari itu tersisa satu. Sehingga setelah mengangkat tongkat itu lebih tinggi dari kepala, dihantamkannya tongkat Musa ke arah laut. Air laut tak lagi tersibak membentuk selongsong kosong peluru, melainkan membelah laut di hadapannya hingga menjadi dua ombak besar yang tertahan di udara sembari memercikkan air asin. Laut di hadapannya surut sejauh tiga kilometer.
Semua orang terbelalak melihat pemandangan yang terhampar di hadapan mereka. Beberapa menghentikan kendaraan mereka sembari meneriakkan takbir. Sebagian lainnya tak memperdulikan apapun sebab terlampau dikuasai kekesalan. Musa tak menghiraukan kekacauan yang tengah terjadi di belakangnya. Dengan perlahan dia menapaki dasar laut dengan kerang, ikan, dan biota laut lain yang berserak di sebelah kakinya. Sedang pada ujung laut yang terpecah menjadi dua, Musa melihat bapaknya meringis menahan sakit gigitan ular yang melilit kaki kirinya.