Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Dian Erha | Nasib Bambu

Cerpen Dian Erha 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Andai manusia mengerti bahasa bambu, sudah lama ia mengutuk para bajingan itu. Ia memang hanya sebatang bambu, walau demikian ia mempunyai impian bahwa suatu hari seseorang akan datang, memisahkannya dari rumpun, lalu membawanya pada seorang seniman atau pengrajin. Di tangan seniman dan pengrajin itu, ia akan diubah menjadi sebuah karya seni yang bisa dipamerkan, tak hanya di dalam negeri, tetapi juga hingga ke mancanegara. Ia bisa menjadi perabot, miniatur rumah dan kapal, atau alat musik, atau apa saja. Sebab, sebatang bambu sejatinya telah ditakdirkan untuk selalu bermanfaat bagi kehidupan.


Hari itu, seseorang memang datang, memotongnya dari rumpun, lalu membawanya pergi. Tetapi, bukan seperti yang ia harapkan. Ia bersama ratusan bambu lainnya tak pernah sampai kepada seniman, atau pengrajin bambu, melainkan dibawa ke tepi laut.


Mau apa ia di tepi laut? Si Bambu bertanya-tanya.


Awalnya, ia pikir, mungkin seseorang ingin mengubah mereka menjadi alat penangkap ikan. Walau tak pernah terlintas dalam pikirannya, namun ide itu tidaklah buruk. Tidak masalah, selama hidupnya masih berguna, menjadi apa pun itu tidaklah penting.


Akan tetapi, sehari kemudian orang-orang itu justru menancapkannya ke dasar laut. Ia tertanam di antara terumbu karang, berjejer bersama ratusan bahkan ribuan bambu lainnya. Selama berbulan-bulan, ia hanya berdiri tegak di sana, membiarkan tubuhnya disapa gelombang laut, dan ikan-ikan yang jadi sebal karena rumahnya tiba-tiba berubah kacau.


Satu hal yang tidak pernah orang-orang itu ketahui, para bambu bisa mendengar setiap perkataan yang keluar dari mulut manusia. Itu sebabnya, setelah berbulan-bulan tertancap di dasar laut, dari obrolan orang-orang yang memasang mereka di sana, si bambu akhirnya memahami, bahwa ia dan ribuan bambu lainnya telah menjadi sebuah pagar sepanjang puluhan kilometer. Entah kapan persisnya, tapi ia tahu suatu hari nanti, laut yang mereka batasi itu akan diubah menjadi daratan.


Manusia memang makhluk paling serakah di muka bumi. Laut yang ingin mereka ubah menjadi daratan itu, akan membuat ikan-ikan semakin sengsara. Apakah terumbu karang dan ikan-ikan tidak punya hak untuk terus berumah di lautan? Apakah daratan telah habis dan tidak cukup lagi untuk ditinggali umat manusia? Apakah seluruh isi semesta harus menjadi milik manusia? Si bambu benar-benar tidak habis pikir.


Ia merasa hidupnya telah sia-sia. Ia seharusnya sudah berada di sebuah rumah, menjadi perabot, atau sebuah hiasan yang bisa dipajang dan membuat siapa pun yang melihatnya berdecak kagum. Tetapi, orang-orang keparat itu sudah membuatnya berakhir di sebuah tempat, yang tidak pernah ia pikirkan selama hidup menjadi sebatang bambu.


Perasaannya semakin bertambah buruk, ketika seorang nelayan mendekat dengan marah-marah. Katanya, pagar bambu itu telah menghalangi mereka mencari ikan. Perahu-perahu nelayan harus memutar lebih jauh. Tak hanya waktu yang terbuang, bahan bakar juga ikut terkuras. Hasil tangkapan menurun sehingga pendapatan nelayan makin berkurang dari hari ke hari.


Hal yang lebih buruk dari hidup sebagai batang bambu yang tak memberi manfaat, adalah menjadi penyebab hidup orang lain susah. Si bambu benar-benar jengkel. Mengapa nasibnya harus berakhir demikian? Tapi, apa kesalahannya? Ia hanyalah sebatang bambu. Ia tak pernah ingin berada di dasar laut, berbulan-bulan tertancap di antara terumbu karang, lalu berdiri sebagai pagar yang menghalangi jalan nelayan mencari nafkah. Ia tak menginginkan semua itu. Orang-orang itulah pelakunya. Orang-orang serakah itu yang membuatnya berada di sana dan menjadi bagian sebuah kejahatan.


Andai manusia mengerti bahasa bambu, sungguh, ia sangat ingin mengutuk para bajingan itu.


***


Jika ada yang paling ia inginkan saat ini, itu adalah datangnya keajaiban. Ia berharap, ada seseorang yang bisa membawanya pergi dari tempat itu. Mungkin seorang nelayan tiba-tiba membutuhkan sebatang bambu, lalu dengan berani, dan didasari rasa kesal terhadap pagar laut yang terus menghalanginya, nelayan itu memilih mencabut si bambu dari dasar laut dan membawanya ke daratan. Ia tak peduli jika harus berakhir menjadi penopang tali jemuran istri nelayan, atau akhirnya mengering di tepi pantai, lantas berakhir menjadi bahan bakar di perapian dapur warga. Sebagai bambu yang ditakdirkan memberi banyak manfaat, ia tak akan keberatan. Setidaknya, hidupnya masih tetap berguna.


Tetapi, ia pun tahu, sejak orang-orang itu menancapkan mereka ke dasar laut hingga menjadi sebuah pagar puluhan kilometer, tak ada satu pun nelayan yang berani mengusik. Mungkin, memang begitulah nasib hidupnya. Ia akan selamanya berada di sana, sampai akhirnya suatu hari nanti, tubuh si bambu rusak dengan sendirinya.


Lalu, hal tak terduga datang di suatu siang yang terik, di tengah keputusasaan si bambu akan nasibnya, keadaan mendadak berubah. Entah mengapa orang-orang ramai berkunjung, berlalu-lalang di sekitar pagar laut. Kali ini tak hanya nelayan, orang-orang berseragam juga datang. Dari cerita orang-orang tersebut, si bambu mendengar bahwa telah terjadi keributan di daratan. Semua orang sedang mempertanyakan, siapa dalang pembuatan pagar bambu di lautan.


Si bambu tertawa sinis. Bagaimana bisa mereka tak tahu? Ia sudah berada di dalam laut itu selama berbulan-bulan. Ia dan ribuan bambu lainnya bukanlah benda kecil tak kasatmata, hingga butuh perlakuan khusus hanya untuk menyadari keberadaan mereka di sana. Bukankah seharusnya manusia sudah tahu sejak lama? Sungguh menyebalkan.


Satu hal yang sangat ia syukuri – saat berpikir akan menghabiskan hidupnya di tengah lautan – orang-orang berseragam itu menariknya keluar dari dasar laut dan membawa si bambu ke tepi pantai. Seperti sebuah keajaiban yang sudah lama ia impikan.


Di tepi pantai, ia bersama bambu-bambu lainnya diletakkan. Tergeletak begitu saja. Tetapi, berbaring di tepi pantai seperti itu jauh lebih baik, daripada harus menghabiskan seluruh hidupnya di dalam lautan sebagai sebuah pagar, yang setiap hari hanya menyusahkan hidup nelayan.


Hari-hari berlalu, dan di tepi pantai itu, tubuhnya telah mengering. Kabar baiknya, beberapa bambu yang kemarin tergeletak bersamanya, kini telah diambil nelayan untuk dijadikan keramba apung. Ia pun sedang menunggu giliran, kapan kiranya seseorang akan datang dan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna. Setidaknya, di tepi pantai itu, impian yang dulu sering ia harap-harapkan saat masih berada di rumpun para bambu, perlahan kembali hadir.


Jika ada yang bisa membuat hatinya sedikit senang saat ini, itu adalah berita tentang kepala desa, dan beberapa orang bawahannya yang akhirnya menjadi tersangka. Ia sudah mendengar dari masyarakat pesisir, bahwa kepala desa itulah yang harus bertanggung jawab, karena telah membuat dokumen palsu terkait penggunaan lahan di wilayah lautan.


Sakit hati si bambu atas perlakuan orang-orang keparat itu sedikit terbayarkan. Walau sebenarnya ia cukup prihatin. Sebab, semua bambu di tepi lautan tahu, kepala desa itu hanyalah tumbal dari sekelompok manusia serakah yang ingin tangannya tetap bersih, meski telah berbuat begitu banyak kejahatan.


Paling tidak, kali ini ada yang bertanggung jawab atas nasib ribuan bambu yang menjadi sia-sia.**