Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Dianisa Shelga (Diana Shelga) | Pagar Laut yang Tak Pernah Bisa Diam

Cerpen Dianisa Shelga (Diana Shelga)



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Ketika sisa gelombang ombak menyirami pesisir Pantai, disinilah aku bersama teman-temanku berpegang erat satu sama lain, berdiri kokoh diatas fondasi kuat dibawah samudra luas dengan tiang tiang kokoh yang menjulang tinggi, menatap pohon kelapa yang menabrak langit, merasakan sisik ikan-ikan kecil dibawah tempat kami berdiri, menyaksikan perahu-perahu yang dipakai seorang nelayan tiap harinya untuk menopang kehidupan, untuk menjadi pilar keluarga, kami menyaksikan semua kisah kehidupan manusia sudah tiga bulan, tiga bulan sejak kami dibangun. Kami ingat betul hari saat kami dibangun, hari dimana kami ditetapkan bertugas menjadi pembatas dari daratan yang padat dan samudra yang luas, tepatnya di Pantai Timur Kabupaten Tangerang, di wilayah Teluk naga dan Kecamatan Kosambi, aku tidak diciptakan dengan perasaan ataupun emosi seperti manusia, tetapi kami merasakan suatu getaran, getaran yang memberitahu kami bahwa kami memang dibangun untuk suatu tujuan, tujuan mulia untuk melindungi dan menjaga batas-batas yang seharusnya tidak dilanggar manusia.


Aku adalah pagar laut, sebuah pembatas antara daratan dan samudera yang luas. Didirikan dengan tujuan melindungi, menjaga batas-batas yang tak seharusnya dilanggar oleh manusia. Aku ada di sini, berdiri tegak dengan tiang-tiang yang kokoh, menjulang tinggi, dan tidak pernah merasa lelah meskipun angin badai datang menerpa tubuhku. Aku tidak punya perasaan seperti manusia, tetapi ada suatu getaran yang kurasakan, yang menyatakan bahwa aku memang ada untuk suatu tujuan.


Dulu, aku dibangun dengan penuh harapan. Manusia berharap aku akan menjadi benteng kokoh yang bisa menghalau segala bahaya. Pembangunanku dipenuhi dengan perhitungan, dengan tiang-tiang yang dihitung satu per satu. Ketebalan setiap bilah kayu dan baja yang menempel pada tubuhku ditentukan agar aku tak mudah rapuh diterjang gelombang. Aku dipasang sepanjang garis pantai, membentang melawan ganasnya ombak yang terus berusaha menyerbu daratan.


Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan perubahan yang tak pernah aku duga. Terkadang, manusia yang dulu menganggapku sebagai pelindung kini mulai menatapku dengan kebencian. Mereka menganggap aku sebagai penghalang, sebagai dinding yang memisahkan mereka dari kebebasan untuk mendekati laut. Beberapa dari mereka bahkan mulai mengeluh tentang keberadaanku. Mereka menginginkan aku dihancurkan, dirobohkan, atau bahkan digantikan dengan sesuatu yang lebih modern, yang katanya lebih efektif.


Aku tidak mengerti mengapa mereka merasa seperti itu. Bukankah aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan? Menjaga mereka, melindungi mereka dari bahaya yang tak terlihat. Tetapi mereka tidak tahu, aku pun merasa lelah. Tidak ada yang bisa melihat sisi lain dari pagar laut sepertiku. Aku bukan hanya sekadar penghalang. Aku adalah garis tipis yang memisahkan kehidupan di darat dan kehidupan di laut. Di balik dindingku, kehidupan di samudera terus bergerak dengan caranya sendiri. Aku tidak bisa merasakannya dengan sepenuh hati, namun aku tahu ada kisah yang terjadi di sana—sebuah dunia yang tak pernah benar-benar bisa mereka sentuh.


Aku mulai mendengar kabar bahwa aku telah menjadi bahan pembicaraan di kalangan manusia. Di Tangerang, ada berita yang berkembang tentang pagar laut yang akan dibangun di sepanjang pantai. Tujuannya sama sepertiku, untuk melindungi daratan dari abrasi dan gelombang pasang. Tapi bukannya menjadi simbol perlindungan, pagar laut itu justru menjadi sumber konflik. Banyak orang yang menentang pembangunan pagar laut tersebut, terutama mereka yang tinggal di sekitar pantai. Mereka merasa bahwa pagar laut itu akan menghalangi akses mereka ke laut, menutup kesempatan mereka untuk menikmati keindahan pantai yang selama ini mereka nikmati bebas.


Aku tahu betul bagaimana perasaan mereka. Aku, yang berdiri tegak sebagai pagar laut, sering mendengar keluhan yang sama. Mereka yang merasa aku adalah penghalang, merasa aku merampas kebebasan mereka untuk berinteraksi dengan laut. Seperti yang terjadi di Tangerang, pagar laut yang dulu dipandang sebagai penyelamat kini menjadi simbol dari jarak dan batas yang tak diinginkan.


Pembangunan pagar laut yang baru di Tangerang sempat diprotes keras. Ada yang merasa bahwa biaya yang dikeluarkan terlalu besar untuk sesuatu yang pada akhirnya hanya memperburuk akses mereka ke laut. “Apa gunanya melindungi kita jika kita tak bisa lagi merasakan kebebasan yang sama?” keluh beberapa orang yang aku dengar.


Bahkan ada yang menyebut aku sebagai alat kapitalisme yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan bukan masyarakat luas. Mereka mengatakan aku hanya diperuntukkan bagi kepentingan segelintir orang yang ingin membangun properti mewah di sekitar pantai, dan bukan untuk kepentingan warga biasa. Aku bisa merasakan itu. Aku tahu mereka sedang berjuang untuk apa yang mereka anggap sebagai hak mereka. Tetapi, apakah mereka tahu betapa kerasnya aku berjuang untuk menjaga mereka tetap aman?


Di tengah gejolak itu, badai datang dengan sangat cepat. Ombak yang besar, lebih besar dari sebelumnya, menggulung garis pantai Tangerang dengan ganas. Aku bisa merasakan getaran itu meresap ke dalam diriku. Gelombang pasang yang tak tertahankan semakin mendekat. Saat itu, aku tahu, banyak orang yang masih belum bisa memahami pentingnya pagar laut. Mereka masih menganggapku hanya sebagai pembatas, bukan pelindung.


Akhirnya, datanglah ombak besar yang menghantam tubuhku dengan kekuatan yang luar biasa. Kayu-kayuku berderak, tiang-tiangku bergetar. Namun aku bertahan. Aku sudah cukup kuat untuk menahan goncangan itu. Tetapi, seiring dengan terus berkembangnya badai, aku tahu bahwa kali ini, aku harus melawan kekuatan alam yang sangat kuat. Aku mulai goyah.


Di saat yang sama, aku mendengar suara seorang anak muda berteriak. Dia tampak cemas, berlari menuju ke arahku dengan langkah terburu-buru. Aku tak bisa melihat wajahnya, namun aku bisa merasakan ketakutan dalam langkahnya. Dia tahu, ombak ini bukanlah ombak biasa. Aku, pagar laut, adalah satu-satunya pelindung yang tersisa. Anak itu berlari ke arahku dengan harapan aku masih bisa bertahan, meskipun aku merasa kekuatanku semakin hilang.


Namun, perlawanan itu sia-sia. Tiang-tiangku patah satu per satu, dan aku mulai roboh. Ada sebuah suara keras yang memecah keheningan, sebuah bunyi yang menandakan akhir dari perjuanganku. Badai yang lebih besar datang, menghancurkan tubuhku yang telah rapuh.


Saat aku hampir benar-benar tenggelam ke dalam lautan, aku mendengar kembali suara anak itu, berteriak untuk meminta pertolongan. Dalam kesendirianku yang semakin dalam, aku mulai menyadari satu hal: aku mungkin tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengerti kenapa manusia membenciku, atau mengapa mereka merasa aku adalah penghalang. Tapi aku tahu, aku tetap ada untuk memberi mereka kesempatan untuk bertahan.


Pagar laut yang baru di Tangerang itu mungkin akan berdiri lebih kuat, lebih modern, namun aku tahu bahwa masalah yang lebih besar masih akan muncul. Ketika manusia tidak melihat lebih dalam, mereka tidak akan mengerti betapa besar perjuangan yang harus kulakukan untuk menjaga mereka. Aku bukan hanya pagar, aku adalah garis tipis antara kehidupan dan kehancuran. Tanpa aku, mereka mungkin tak bisa bertahan menghadapi gelombang yang begitu besar.


Pada akhirnya, aku terbaring di sana, hancur oleh kekuatan alam. Tetapi aku tahu, aku telah melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Aku, pagar laut, akan selalu ada, meskipun hanya dalam kenangan mereka yang pernah hidup bersamaku. Aku bukan hanya sekadar penghalang, aku adalah pelindung. Dan meskipun aku kini sudah runtuh, aku tahu bahwa tugasku telah selesai.


Aku adalah pagar laut, sebuah pembatas antara daratan dan samudera yang luas. Didirikan dengan tujuan melindungi, menjaga batas-batas yang tak seharusnya dilanggar oleh manusia. Aku ada di sini, berdiri tegak dengan tiang-tiang yang kokoh, menjulang tinggi, dan tidak pernah merasa lelah meskipun angin badai datang menerpa tubuhku. Aku tidak punya perasaan seperti manusia, tetapi ada suatu getaran yang kurasakan, yang menyatakan bahwa aku memang ada untuk suatu tujuan.


Dulu, aku dibangun dengan penuh harapan. Manusia berharap aku akan menjadi benteng kokoh yang bisa menghalau segala bahaya. Pembangunanku dipenuhi dengan perhitungan, dengan tiang-tiang yang dihitung satu per satu. Ketebalan setiap bilah kayu dan baja yang menempel pada tubuhku ditentukan agar aku tak mudah rapuh diterjang gelombang. Aku dipasang sepanjang garis pantai, membentang melawan ganasnya ombak yang terus berusaha menyerbu daratan.


Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan perubahan yang tak pernah aku duga. Terkadang, manusia yang dulu menganggapku sebagai pelindung kini mulai menatapku dengan kebencian. Mereka menganggap aku sebagai penghalang, sebagai dinding yang memisahkan mereka dari kebebasan untuk mendekati laut. Beberapa dari mereka bahkan mulai mengeluh tentang keberadaanku. Mereka menginginkan aku dihancurkan, dirobohkan, atau bahkan digantikan dengan sesuatu yang lebih modern, yang katanya lebih efektif.


Aku tidak mengerti mengapa mereka merasa seperti itu. Bukankah aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan? Menjaga mereka, melindungi mereka dari bahaya yang tak terlihat. Tetapi mereka tidak tahu, aku pun merasa lelah. Tidak ada yang bisa melihat sisi lain dari pagar laut sepertiku. Aku bukan hanya sekadar penghalang. Aku adalah garis tipis yang memisahkan kehidupan di darat dan kehidupan di laut. Di balik dindingku, kehidupan di samudera terus bergerak dengan caranya sendiri. Aku tidak bisa merasakannya dengan sepenuh hati, namun aku tahu ada kisah yang terjadi di sana—sebuah dunia yang tak pernah benar-benar bisa mereka sentuh.


Suatu malam, ketika angin kencang bertiup dan laut pun mulai menggulung ombak-ombaknya, aku merasakan getaran yang aneh. Sesuatu sedang terjadi. Ada suara gemuruh yang terdengar jauh di dasar laut, dan aku tahu bahwa badai kali ini bukanlah badai biasa. Aku bisa merasakan getaran itu meresap melalui tubuhku yang terbuat dari kayu dan baja. Aku, pagar laut, tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang datang. Peringatan angin kencang datang dari arah laut, namun manusia yang ada di pantai tampaknya tidak mempedulikannya.


Badai datang begitu cepat. Ombak-ombak yang sebelumnya tampak tenang tiba-tiba berubah menjadi ganas. Aku merasakan getaran semakin keras, dan tak lama setelah itu, ombak pertama menghantam tubuhku dengan kekuatan yang luar biasa. Kayu-kayuku berderak, tiang-tiangku bergetar. Namun aku bertahan. Aku sudah cukup kuat untuk menahan goncangan itu.


Namun, aku tahu bahwa itu baru permulaan. Ombak-ombak itu terus menggulung, semakin besar, semakin menakutkan. Setiap kali aku merasa aku bisa bertahan, ombak yang lebih besar datang. Dalam setiap hantaman, aku bisa merasakan sedikit demi sedikit tubuhku mulai melemah. Kadang-kadang aku merasa ingin menyerah, ingin runtuh dan biarkan laut itu datang merasuk ke daratan, menenggelamkan semuanya dalam keheningan.


Aku merasa bimbang. Apakah aku masih dibutuhkan lagi oleh manusia? Aku sudah lama berdiri, menjalankan tugas yang diberikan kepadaku. Aku bukan hanya sekadar pagar. Aku adalah simbol dari harapan, dari perlindungan, dari rasa aman. Tetapi semakin lama aku merasa semakin kesepian. Aku melihat mereka, para manusia, berlalu-lalang di sekitar tubuhku tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sedang terjadi. Mereka bahkan tidak tahu bahwa badai yang mereka anggap biasa ini adalah ancaman besar bagi mereka.


Namun, ada saat ketika aku merasakan harapan yang datang. Di tengah badai yang mengguncang, ada seorang anak muda yang berlari menuju ke arahku. Dia terlihat panik, dan dia melihat ke arah laut dengan wajah penuh kecemasan. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, tetapi ada satu hal yang aku tahu pasti: dia datang untuk sesuatu yang lebih besar dari sekadar tempat bermain atau menikmati angin laut. Dia tahu bahwa aku adalah garis pertahanan terakhir.


Anak itu berdiri di depan tubuhku yang mulai goyah. Dia memandang ke arah laut, lalu menatapku sejenak. Aku merasa dia mencoba mengerti, berusaha menemukan cara agar aku bisa tetap tegak. Tetapi aku tahu, meskipun dia ingin aku bertahan, aku tidak bisa menahan ombak ini selamanya. Aku tidak bisa melawan kekuatan alam.


Akhirnya, datanglah ombak besar yang menghantam tubuhku dengan kekuatan yang memecah semua harapan. Tiang-tiangku patah satu per satu, kayuku retak, dan aku mulai roboh. Rasanya seperti hidupku yang telah selesai, bahwa aku tidak lagi dibutuhkan. Aku telah melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan, tetapi itu tidak cukup.


Namun, sebelum aku benar-benar tenggelam ke dalam lautan, aku mendengar suara anak itu lagi. Dia berteriak meminta bantuan. Teriakan itu menyadarkanku. Meskipun aku hanyalah sebuah pagar laut, aku bisa memberi kesempatan bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Dengan sisa kekuatanku, aku berusaha menahan ombak terakhir yang datang, agar anak itu bisa berlari ke tempat yang lebih aman.


Waktu terasa begitu panjang dan berat, tetapi akhirnya, ombak itu pun surut. Keheningan datang menggantikan keganasan yang baru saja melanda. Aku terbaring di sana, rusak dan tak lagi tegak, tetapi aku tahu aku telah melakukan tugasku.


Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyadari sesuatu. Pagar laut bukan hanya tentang membatasi, tentang menjaga jarak. Pagar laut juga bisa menjadi saksi bisu dari keberanian, pengorbanan, dan harapan. Aku mungkin sudah runtuh, tetapi aku tahu bahwa aku telah melindungi mereka dalam sekejap terakhir, bahkan jika mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku.


Saat fajar menyingsing, aku bisa merasakan kehadiran manusia yang datang kembali ke pantai. Mereka memandang ke arah tubuhku yang hancur. Mereka berbicara, mereka memperbaiki apa yang rusak. Mungkin mereka mulai mengerti, bahwa aku bukan hanya pagar yang harus dihancurkan atau diganti. Aku adalah bagian dari mereka. Aku telah berjuang untuk melindungi mereka, dan meskipun aku kini hanya sebuah puing, aku tahu aku telah memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar batas. Aku telah memberikan mereka waktu untuk bertahan.


Dan aku? Aku, pagar laut, akan selalu ada di sana, meskipun hanya dalam kenangan mereka. Aku tidak butuh pengakuan, tidak butuh pujian. Karena aku tahu satu hal: tanpa aku, mereka mungkin tidak akan bertahan.