Cerpen Dianisa Shelga Vioneta
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ketika sisa gelombang ombak menyirami pesisir pantai, di sinilah aku bersama teman-temanku berpegang erat satu sama lain, berdiri kokoh di atas fondasi kuat di bawah samudra yang luas dengan tiang-tiang kokoh yang menjulang tinggi, menatap pohon kelapa yang menabrak langit, merasakan sisik ikan-ikan kecil di bawah tempat kami berdiri, dan menyaksikan perahu-perahu yang dipakai seorang nelayan tiap harinya untuk menopang kehidupan, untuk menjadi pilar keluarga. Kami menyaksikan semua kisah kehidupan manusia sudah enam bulan—enam bulan sejak kami dibangun. Kami ingat betul hari saat kami dibangun, hari di mana kami ditetapkan bertugas menjadi pembatas dari daratan yang padat dan samudra yang luas, tepatnya di Pantai Timur Kabupaten Tangerang, di wilayah Teluk Naga dan Kecamatan Kosambi.
Aku dan teman-temanku tidak diciptakan dengan perasaan ataupun emosi seperti manusia, tetapi kami bisa merasakan suatu getaran—getaran yang memberitahu bahwa kami memang dibangun untuk suatu tujuan. Tujuan mulia untuk melindungi dan menjaga batas-batas yang seharusnya tidak dilanggar manusia. Kami dibangun dengan penuh harapan. Mereka berharap kami akan menjadi benteng kokoh yang bisa menghalau segala bahaya di samudra ini. Pembangunan kami dilakukan dengan sangat hati-hati dan melewati perhitungan yang terperinci. Kami dibuat dari kayu terbaik di kota dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi dan baja yang menempel pada tubuh kami agar kami tak mudah rapuh diterjang ombak. Selain itu, kami dipasang sepanjang garis pantai, membentang sejauh tiga puluh kilometer melawan ganasnya ombak yang berusaha menyerbu daratan tempat manusia beraktivitas dalam kehidupan mereka.
Sudah lebih dari lima bulan berlalu, aku sudah mulai mengenali sudut-sudut tempat ini, tak terkecuali warga-warga yang tinggal di sekitar sini. Salah satu yang kukenal adalah anak perempuan yang sedari tadi berdiri tepat di hadapanku, memandang jauh ke samudra di belakang aku dan teman-temanku. Namanya Shella, anak berumur dua belas tahun, ia anak dari seorang nelayan bernama Rudi dan seorang pedagang ikan bernama Gendis. Aku mengenalnya, rumahnya tidak jauh dari pesisir pantai ini. Dia hampir setiap sore datang hanya untuk melihat samudra di belakang kami. Terkadang juga, saat hari libur, ia kerap membantu ayahnya mengerjakan pekerjaannya, menangkap ikan di laut, tapi terakhir kali aku melihatnya menangkap ikan satu bulan yang lalu. Dia bahkan Rudi sudah jarang kembali ke laut lagi. Shella anak yang ceria dan suka membantu orang lain. Tapi hal ini sangat berbeda dengan raut mukanya sekarang. Matanya tampak menunjukkan sorot kebencian dan amarah. Ia seperti mengatakan bahwa kami adalah penghalang. Ia menatap kami seperti kami adalah dinding yang memisahkan dirinya dari kebebasan. Pikiranku langsung memacu pada suatu kejadian, aku mendengarnya, percakapan Rudi dan Shella di hari itu.
“Ayah, kenapa sih ada pagar ini? Kan menghalangi aku melihat luasnya laut?” tanya Shella dengan nada kesal.
“Pagar ini berguna sebagai pelindung bagi kita dari ancaman laut, nak. Pak Kepala Desa yang memberikannya kepada kita,” jawab Rudi dengan tenang.
“Tapi ayah, ombak tidak akan menjadi bencana. Mereka indah, ayah. Pagar itulah bencananya.” Setelahnya, Rudi hanya tersenyum padanya, percakapan yang kudengar sekitar tiga bulan lalu. Apa yang salah dengan kami? Bukankah kami hanya menjalankan tugas kami?
Seiring berjalannya waktu, dua bulan telah berlalu dan selama itu juga semakin banyak yang melihat aku dan teman-temanku dengan sorot kebencian, sama seperti Shella. Mereka menunjukkan bahwa kami seperti penghalang, seperti kami adalah garis yang memisahkan kehidupan di darat dan di laut. Aku tidak mengerti mengapa mereka memberikan tatapan seperti itu, bukankah kami hanya melaksanakan tugas kami? Menjaga mereka, melindungi mereka dari bahaya yang tak terlihat. Aku terkadang merasa lelah atas pekerjaan ini. Mereka tidak bisa melihat dari sisi menjadi diriku dan teman-temanku. Satu catatan yang aku ketahui, mungkin aku tidak mempunyai perasaan seperti mereka, tetapi aku bisa merasakan bahwa ada kisah yang terjadi di daratan sana, sebuah dunia yang bahkan mereka masyarakat tidak bisa menyentuhnya.
Sore itu, aku lagi-lagi mendengar perdebatan manusia, perdebatan antara Gendis dan Rudi.
“Sampai kapan, Rudi? Pagar itu berdiri di situ! Dia hanya penghalang untuk kita! Sudah satu bulan semua akses ke laut ditutup, kita kekurangan kebutuhan, Rudi! Kamu tahu itu kan, ini semua hanya rekayasa Kepala Desa licik itu! Kapan kamu akan membongkarnya, Rudi? Aku lelah atas semua kebohongan ini!” Gendis berteriak penuh amarah.
“Iya, Gendis, kamu sabar ya. Minggu depan aku bersama warga lain akan membuktikan kebohongan Kepala Desa itu,” jawab Rudi dengan nada yang lelah.
Ada apa dengan percakapan di sore itu? Mereka membahas tentang Kepala Desa. Aku sedikit mengenal Kepala Desa, karena dialah aku dan teman-temanku berdiri kokoh di sini sekarang. Tapi mengapa mereka menyebutnya licik? Aku tidak tahu maksud tentang perbincangan mereka di hari itu.
Satu minggu telah berlalu, dan semua telah terungkap. Ternyata aku dan teman-temanku adalah sumber konflik. Sudah sekitar delapan bulan sejak kami berdiri, kami menjadi konfliknya. Alasan mereka semua menatap kami dengan sorot kebencian, berita beredar di sekeliling pesisir pantai. Mereka bilang kami dibangun tidak hanya sebagai simbol pelindung dan harapan, kami dijadikan kambing hitam Kepala Desa. Kepala Desa menggunakan kami untuk memanipulasi hak kepemilikan tanah. Kepala Desa hanya menatap kami sebagai simbol kekayaan. Aku merasa malu dengan perilaku Kepala Desa tersebut. Jika aku manusia, aku ingin berlari menjauhi orang-orang yang sedang menatapku. Mereka sekarang menatap kami dengan sorot kecewa. Banyak dari mereka menganggap bahwa kami hanya sebagai alat kapitalisme yang hanya menguntungkan pihak tertentu dari suatu golongan masyarakat.
Aku tahu benar apa yang mereka pikirkan sekarang. Mereka merasa kami hanya penghalang, merasa kami merampas kebebasan mereka untuk berinteraksi dengan laut selama delapan bulan lebih. Aku bisa merasakan itu. Aku tahu mereka sedang berjuang untuk apa yang mereka anggap sebagai hak mereka. Tetapi, apakah mereka tahu bahwa semua ini di luar kendali kami?
Di tengah gejolak itu, badai datang dengan sangat cepat. Ombak yang besar, lebih besar dari sebelumnya, menggulung garis pantai dengan ganas. Aku bisa merasakan getaran itu meresap ke dalam diriku. Gelombang pasang yang tak tertahankan semakin mendekat. Saat itu, aku tahu, banyak orang yang masih belum bisa menerima pentingnya pagar laut. Mereka masih menganggapku hanya sebagai pembatas, bukan pelindung.
Akhirnya, datanglah ombak besar yang menghantam tubuhku dengan kekuatan yang luar biasa. Kayu-kayu terbaik yang dibuat untuk kami berderak, tiang-tiangku bergetar. Namun aku bertahan. Aku sudah cukup kuat untuk menahan goncangan itu. Tetapi, seiring dengan terus berkembangnya badai, aku tahu bahwa kali ini, aku harus melawan kekuatan alam yang sangat kuat. Aku mulai goyah.
Di saat yang sama, aku melihat Shella. Dia tampak cemas, berlari menuju ke arahku dengan langkah terburu-buru. Ada ketakutan dalam langkahnya. Dia tahu, ombak ini bukanlah ombak biasa. Aku, pagar laut, adalah satu-satunya pelindung yang tersisa. Shella berlari ke arahku dengan harapan aku masih bisa bertahan, meskipun aku merasa kekuatanku semakin hilang. Di sisi lain, Rudi dan Gendis meneriaki Shella agar menjauhi aku.
Ketika gelombang yang terakhir datang menghantamku, tubuhku yang terbuat dari kayu kokoh itu mulai pecah dan terbelah, menyebar ke seluruh laut. Rudi dan Gendis berlari menjauh, mereka tak bisa lagi menyaksikan kehancuranku. Hati mereka remuk, mereka hanya bisa menangis melihat apa yang terjadi pada anak mereka yang begitu berani berlari mendekat.
Shella berjuang dengan segenap tenaganya untuk tetap bertahan, tetapi aku tahu tak ada yang bisa menghentikan kekuatan alam yang begitu besar. Aku merasa getir dalam keheningan, meskipun aku hanyalah sebuah struktur yang tidak bisa merasakan hal seperti manusia, tetapi aku bisa merasakan kesedihan yang meresap di sekitar pantai. Aku tahu ini akan menjadi akhir dari tugas kami.
Shella tenggelam bersama badai yang datang begitu cepat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, dan tidak ada yang bisa kembali lagi ke keadaan semula. Semuanya runtuh dalam sekejap, semua yang dibangun, semua yang dipertaruhkan untuk melindungi, kini menghilang begitu saja. Aku mungkin adalah pagar laut, namun aku tahu, peran kami jauh lebih dari sekadar pembatas. Kami adalah saksi bisu bagi perjuangan mereka yang berusaha bertahan dalam dunia yang sering kali tidak adil. Kami tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi yang pasti adalah banyak orang yang kehilangan segalanya di sepanjang jalan ini.