Cerpen Edi Warsidi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
SEJAK Pak Gugun membangun kediaman mirip istana di lingkungan permukiman warga biasa di sebuah desa, suasana di sekitar tempat tinggal kami berubah secara drastis dan pasti. Bayangkan apa yang sebelumnya asing bagi kami, seperti pusat hiburan, karaoke, bar, swalayan, dan gemerlap dunia malam, kini menjadi makin akrab. Pokoknya Pak Gugun orang kaya nomor wahid di kampung itu, membuat permukiman Kepak Pantai Indah (KPI) benar-benar komplet. Oleh sebab itu, kelihatan mencolok sekali permukiman itu dibandingkabn dengan rumah warga kebanyakan. Sungguh.
”Jangan beri izin Pak Gugun memborong tanah rakyat ini. Nanti lingkungan kita jadi rusak dan sangat senjang,” ucap Kang Joher kala itu. Tetapi, Kades Kemod tidak menggubrisnya sebab ia diam-diam dapat komisi tidak sedikit. Justru mental budak seperti itulah yang dicari-cari Pak Gugun untuk bisa mengegolkan niatnya. Pak Gugun tahu benar dinamika pembangunan desa sebesar itu.
Ia punya hubungan dekat dengan semua kalangan penting, termasuk perencana pengembangan wilayah di Kantor Bupati. Oleh sebab itu, ia memilih lingkungan dekat pantai, 5 km dari pusat kota. Dengan demikian, harga tanah dapat ditekuk serendah mungkin.Walaupun Pak Gugun sudah sangat kaya, prinsip irit dalam membelanjakan uang tetap dipakainya sebagai sikap filosifis hidup. Sikap ini pula yang ditanamkan pada ketiga orang anaknya.
Lama warga tidak mau bicara dengan Kades Kemod. Saat warga berpapasan dengan sang Kades, mereka membuang muka, pura-pura tidak melihat. Kalau masih sempat mencari jalan lain, mereka memilih jalan lain. Bahkan, ketika Kades Kemod mengundang warga menghadiri rapat di kantor desa, mereka menolak. Hanya segelintir warga yang hadir. Kedatangan mereka bukan karena mau menghormati undangan sang kades, melainkan karena takut kelak urusannya dengan kantor desa dipersulit. Mereka umumnya warga keturunan. Warga lokal lebih kritis, apalagi mereka lebih disepelekan, dikangkangi.
Tidak siapa pun berani menganggu grup perusahaan milik Pak Gugun, termasuk kompleks perumahan yang mirip istana itu. Ia tergolong pengusaha yang cerdas mengambil perhatian masyarakat sekalipun kesalahan yang dilakukannya selama ini sudah banyak serta sulit dimaafkan. Harga tanah rakyat ditekuk.
Ketika kompleks perumahannya sudah siap, Pak Gugun langsung mengundang semua warga setempat dalam sebuah pesta besar merakyat. Pa Gugun juga mengadakan hiburan rakyat untuk memeriahkan pesta memasuk rumah barunya itu. Tujuannya tentu menghilangkan rasa benci warga setempat kepadanya. Sekalian untuk mematahan anggapan bahwa dia bukan seorang pengusaha bersikap egois.
Namun, apa pun dilakukannya sejauh hal ini tidak bersifat tulus, hasilnya tetap akan berdampak kurang baik, Terbukti hubungan dengan warga setempat tetap senjang dan berjarak. Tidak ada yang bisa mempertautkannya, selain sikap saling terbuka disertai ketulusan dan saling peduli.
”Hendaklah yang di atas yang lebih bijak berpartisipasi menjamu yang di bawah. Bukan sebaliknya. Teladan itu berasal dari atasan, baru bisa berwibawa,” ucap mereka. Kang Joher berkomentar lebih keras.
**
Lingkungan permukiman KPI semakin menjadi-jadi. Rumah Kades Kemod, kini dibangun besar dan megah. ”Dari mana uang didapatkan untuk membangun rumah sebesar itu kalau bukan dari hasil kolusi,” kata Kang Joher diakui teman-teman berbicara di warung kopi pinggir jalan desa itu.
”Kalau saja dia dapat uang itu dengan jalan benar, kita tidak akan usil. Ini justru dia dapat dengan memeras tanah rakyat, membeli dengan harga sangat murah. Ini kan jelas serakah dan kita pertanyakan nilai keabsahannya,” sela Pak Alwi.
”Sudahlah terserah mereka. Biar mereka menanggung dosanya. Kita ini apalah. Memang sulit menjadi pemimpin teladan saat ini. Tindakan terpuji malah disebut aneh, sok jujur. Kan keterlaluan,” timpal Pak Dudung tidak puas.
Hujan turun deras seketika. Mereka segera bubar ke rumah masing-masing. Warung kopi sepi seketika. Sementara angin berempus dengan kencang. Para warga segera menutup rapat pintu dan jendela agar air hujan tidak masuk ke rumah. Saat itulah terdengar suara mobil Pak Gugun, diikuti mobil ketiga anak-anaknya. Semua anaknya sudah memegang perusahaan masing-masing. Pak Gugun sengaja mengader ketiga orang anaknya dengan cara bersaing secara wajar. ”Bagi Bapak, tidak ada istilah anak mahkota!” tegas Pak Gugun, suatu hari di tengah acara makan bersama sekaligus rapat keluarga.
Seminggu sekali mereka berkumpul untuk bertukar pendapat tentang kemajuan usaha masing-masing, tentu dipimpin oleh Pak Gugun. Dalam rapat keluarga seperti itulah mereka diberi kesempatan untuk saling mengevaluasi diri, baik dari sisi kesuksesan maupun berbagai kendala untuk eraih kesuksesan menjalankan perusahaan masing-masing. Sang ayah menantang ketiga anaknya untuk saling bersaing menunjukkan keunggulan masing-masing.
”Itu dia si raja tanah lewat dengan mobil mewahnya!” sindir Pepep. Istrinya hanya mengangguk-angguk. Kemudian, terus mengepulkan asap rokok di tangannya. Dari tadi keduanya asik menonton siaran televisi dengan anak-anaknya. Tidak jarang sambil menonton televisi pun sering menceritakan aib orang lain. Meskipun begitu, mereka hampir tidak pernah menceritakan aib sendiri.
”Untuk apa?” kata mereka seraya memperbaiki posisi duduknya masing-masing. Saking sukanya menceritakan aib orang lain, mereka lupa mengerjakan tugas kesehariannya sebagai keluarga pembantu nelayan.
”Kunci sukses mengusahakan sesuatu tidak lain dengan memiliki etos kerja penuh disiplin dan kerja keras. Kemudian, jangan bersifat boros membelanjakan uang. Berhematlah untuk hari esok!” petuah Pak Gugun pada ketika anaknya.
Ketiga anak perempuan Pak Gugun menikah dengan pengusaha dari tempat jauh di luar pulau. Setelah menikah, mereka tidak pernah datang lagi ke rumah ayahnya. Mungkin mereka cukup sibuk dengan urusan bisnisnya masing-masing sehingga tidak ada kesempatan untuk saling mengunjungi. Hidup mereka satu sama lain cukup terasing. ”Hidup adalah cari makan!” pernah demikian Pak Gugun pada anak-anaknya.
”Kita ini orang perantau dari jauh. Tidak ada harta warisan kita di negeri ini. Maka modal kita satu-satunya adalah keuletan bertarung mendapatkan kemapanan!” tegas Pak Gugun penuh kobar semangat. Nasihat sang benr-benar dicamkan oleh semua anaknya. Mereka tergolong pekerja keras. Tidak ada yang pemalas. Semuanya gila kerja dan tahu diri pada warisan budaya nenek moyang mereka.
**
LINGKUNGAN KPI yang dibangun Pak Gugun—dalam perkembangannya—bukannya membentuk masyarakat menjaga adat dan susila, melainkan sebaliknya. Semakin biasa terjadi tindak asusila di situ. Masyarakat yang sebelumnya punya rasa berbuat bejat, kini sebaliknya. Mereka cenderung putus urat malunya.
Semakin banyak orang kaya tinggal di tempat itu, tetapi yang paling kaya tetaplah Pak Gugun bersama anak-anaknya. Warga yang sebelumnya hidup bersahaja, tetapi karena disiplin dan kerja keras, akhirnya kaya juga. Soal cara tidak usaha ditanya. Bermacam-macamlah seperti lazimnya orang hidup cari makan di kota. Semua pekerjaan dilakukan, baik yang halal maupun sebaliknya. Yang penting uang dapat digapai sebanyaknya.
Kaum nelayan ditindas dengan barikade pagar bambu. Mereka sulit bergerak mencari ikan. Sialnya, sukses juga akhirnya. Bar, kafe, pusat kebugaran, karaoke, dan hotel-hotel mesum kian menjamur di tanah urugan laut. Singkat kisah, tempat itu menjelma menjadi kota satelit, kota impian masa depan.
Orang-orang kecil penduduk setempat hanya mengeluh dan mengumpat para pendatang yang membeli rumah mewah kompleks milik Pak Gugun. Jumlah penduduk setempat makin berkurang satu satu. Tanah dan rumah mereka dijual, lalu pindah ke tempat lain. Sebagian orang yang tinggal di dekat kompleks mewah itu makin terdesak. Nelayan sudah kehilangan banyak modal untuk cari ikan. Ujungnya jual tanah dan rumah. Yang paling senang justru Kades Kemod. Ia makin mapan sebab sudah menjadi kaki tangan Pak Gugun.
Namun, yang mengejutkan pagi itu, kompleks rumah mewah Pak Gugun kedapatan hangus dibakar massa yang tiba-tiba menggamuk. Di halaman rumahnya, jasad Pak Gugun tergeletak bersimbah darah. Menurut selentingan, kerusuhan itu dipimpin oleh Kang Joher, orang yang dinilai barisan sakit hati.
Berbagai media massa menumpahkan jurnalisnya meliput berita besar itu. Sementara api masih berkobar menjulang dengan asap tebalnya ke udara. Dari cerita orang-orang yang bekerumun di tempat kejadian, Kang Joher sebagai penggerak kerusuhan bukannya lari. Ia justru menyerahkan diri ke kantor polisi. ”Saya penggeraknya, Pak Polisi! Saya sudah bosan melihat tingkah laku mereka!” ucap Kang Joher dengan semangat berapi-api.**