Cerpen Endah Humaedah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Terik matahari tampaknya menguapkan semua air di bumi. Saat ini di sebuah saung pinggir pantai duduklah seorang perempuan berseragam anak SMA. Sesekali tangannya mengambil keripik singkong dan memasukannya ke dalam mulutnya.
Dia mengibas-ngibaskan tangannya. “lama sekali sampainya?”
“Biasa Mut, tadi bantuin Ibu angkut air dulu” ucap lelaki yang baru tiba dan duduk disampingnya sambil memasukan keripik ke dalam mulutnya.
“Lantas untuk apa kamu mengajakku bertemu disini, hah?” tanyanya.
“Kemarin sore gue mendengar Pak Damar ngomong dengan seseorang ditelpon.”
“Tentang apa?”
“Soal bambu.”
“Lalu?”
“Nanti malam akan ada truk yang membawa bambu ke pinggir pantai”.
“Baguslah, bukankah itu baik untuk laut kita? Biar tidak terjadi abrasi? Bisa untuk mencegah tsunami juga kan?”
“Tapi menurutku ada hal lain Mut, ini tidak seperti untuk melindungi laut kita.” kilah Bayu.
Dia merasa sesuatu akan dilakukan oleh Pak Damar, dan itu bukan untuk kebaikan lingkungan mereka. Beberapa minggu sebelumnya Pak Damar memerintahkan beberapa nelayan di kampungnya untuk memasang beberapa ikat bambu di laut dekat mangrove. Katanya agar tidak terjadi abrasi dan untuk mencegah tsunami. Tapi, untuk apa dia meminta seseorang ditelfon memasang bambu sebanyak itu nanti malam? Itu menjadi tanda tanya dihati Bayu saat ini.
“Kamu ingat Mut, di mangrove kan sudah dipasang bambu, lalu untuk apa dipasang lagi?” Tanya Bayu.
“Apalagi itu dipasang malem-malem, biar apa coba?” tambahnya.
“Eh Bay, lihat itu Pak Damar!” ucap Mutia sambil berdiri dan menunjuk Pak Damar yang berada di dekat pantai.
Pak Damar tidak hanya sendiri, dia bersama dua orang lelaki berbaju hitam dan memakai topi, satu lagi memakai masker menutupi wajahnya. Keduanya memperhatikan gerak-gerik ketiga orang tersebut. Tampak oleh mereka, pak Damar menunjuk-nunjuk ke arah laut seperti sedang mengarahkan sesuatu.
“Hp-mu mana Mut?”
“Nih, mau apa?”
“Mau gue videoin Mut, mungkin nanti kita butuh ini.” ucap Bayu sambil mengarahkan Handphone tersebut ke arah Pak Damar.
Tak berselang lama, pak Damar menaiki sepeda motornya keluar dari pantai, dan kedua orang berbaju hitam tadi pun menaiki mobil sport hitam keluaran terbaru meninggalkan pantai. Bayu menyudahi aksinya dan memberikan kembali handphone tersebut kepada Mutia.
“Entar malem kita ketemu lagi disini, oke?” ajak Bayu pada Mutia.
“Ogah ah, takut gue, malem-malem kesini.” tolak Mutia sambil menyunggingkan senyumnya dan mengedipkan kedua matanya.
“Oke gue jemput ke rumah, tapi jangan dulu ngorok yahh?” ucap Bayu.
Yaah,, sudah. Bay aku duluan yaa, panas nii pengen ganti baju. Daah… ucap Mutia sambil melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Bayu sendiri di saung.
Tiba di depan rumahnya, Mutia melihat sang ayah sedang menyiapkan peralatan untuk berangkat ke laut mencari ikan. Ayah Mutia adalah seorang nelayan di kampungnya, jika bambu-bambu tersebut dipasang di lautan mungkin itu akan mengganggu aktivitas melaut ayahnya dan para nelayan lainnya.
Assalamua’alaikum ayah… ucap Mutia, sambil menyodorkan tangannya untuk salim kepada ayahnya.
“Wa’alaikumussalam Mut, baru pulang?” Balas ayah mutia.
“Iya yah, tadi abis ketemu Bayu dulu”. Jawabnya
“Memangnya Bayu tidak ke sekolah hari ini?” Tanya ayah mutia lagi.
“Sekolah yah, tapi tadi abis curhat ya si Bayu.” jawab mutia tertawa.
“Bisa curhat juga si Bayu?” Sindir ayah.
“Atuh bisa yah,” ucapku sambil membuka sepatu.
“Yah, nanti pulang jam berapa?” perasaanku hari ini seperti tidak rela melepas kepergian ayah. Aku berfikir akan ada sesuatu yang terjadi terhadap ayah. Segera kutepis bayangan buruk itu dan meyakinkan hati tidak akan terjadi apa-apa terhadapa ayah.
“Hmm, kenapa tanya seperti itu? Kan biasanya juga ayah berangkat sore pulang sore lagi”. Ucapnya melirik ke arahku lalu tak seperti biasanya memeluk dan mengusap rambutku.
“Ayo berangkat, Asep, Udin sudah siapkan perahunya” Ajak Mang Kardi yang tiba-tiba saja nongol di depan pagar.
“Peluk-pelukan segala kaya mau pergi jauh aja” Ucapnya lagi.
“Apa sih Mang Kardi sirik aja” jawabku.
“Bu, Ibu, ayah mau berangkat nih” teriakku memanggil ibu yang sedang berada di dapur. Aku masuk ke kamarku, merebahkan tubuhku di atas ranjang bernuansa biru laut.
Terdengar langkah ibu yang tergopoh-gopoh sambil memegang dasternya yang sudah lusuh keluar dari rumah.
“Nadia mana Bu?” tanya ayah.
“Tidur yah” jawab Ibu lalu menyodorkan tangan kepada ayah dan mencium punggung tangan ayah.
“Ayah ke laut dulu ya Bu, jaga anak-anak.”
“Iyah yah”.
“Mutia, ayah pergi dulu yah!” teriak ayah
“Iyah yah.” jawabku di dalam kamar, karena sedang berganti baju aku tidak menemuinya langsung. aku berlari ke jendela dan melihat ayah bersama mang Kardi berjalan keluar pagar membawa peralatan tempurnya.
“Semoga ayah baik-baik saja” ujarku dalam hati.
Langit menghitam, si empunya cahaya sudah memasuki peraduannya. Tampak di kediaman Bayu sebuah mobil terparkir. Beberapa orang laki-laki sedang berbincang di teras depan rumah. Mereka adalah pak Damar dan dua orang laki-laki yang sebelumnya bertemu di pinggir pantai. Ada pak Kades, pak Sugih sebagai tuan rumah yang tak lain adalah ayah kandung Bayu. Dan satu lagi merupakan sekretaris desa, pak Ridwan yang merupakan tangan kanannya pak Sugih.
“Saya ingin semuanya selesai malam ini!” ucap Pak Sugih. Dia tidak ingin warganya mengetahui kejadian tersebut.
“Saya pastikan beres malam ini.” ucap laki-laki berambut gondrong yang memakai topi hitam.
“Dimana yang lain?” tanya pak Damar
“Aman pak, mereka sedang menuju ke pantai langsung”. jawab lelaki satunya yang memakai masker.
Sementara itu Bayu mendengarkan obrolan mereka di dalam kamarnya. Dia tidak menyangka ayahnya sebagai kepala desa yang harusnya melindungi warganya ternyata bekerja sama dengan orang luar yang tidak tahu tujuannya untuk apa memasang pagar ditengah laut. Bayu mendengarkan dengan seksama pembicaraan ayahnya. Dia tidak ingin ayahnya terlibat ke dalam hal-hal yang mencurigakan seperti ini.
Dengan berhati-hati Bayu keluar dari dalam kamarnya, sementara waktu yang semakin malam dia memilih untuk pergi menjemput Mutia di rumahnya.
Sesampainya di samping rumah Mutia, Bayu mengetuk jendela kamarnya.
“Mut?” panggilnya dengan suara pelan agar orang lain tidak mendengarnya. Sesekali dia melirik ke kanan dan ke kiri khawatir ada orang yang mengawasinya atau ada warga lewat depan rumah Mutia.
“Iya Bay, sabar dikit napa.” Ujar Mutia dari dalam kamarnya.
Tak lama ia membuka jendela, ia mengangkat tubuhnya, kemudian meloncat keluar jendela kamarnya.
“Dikira ngorok Mut,”sindir bayu
“Malem ini aku enggak bisa tidur Bay, kepikiran ayah terus yang lagi melaut”. Ujar mutia
“Enggak usah dipikirkan, insyaAllah ayahmu baik-baik saja.”
“Ayo jalan, orang-orang itu ada di rumah gue Mut.” ucap Bayu.
“Siapa?”
“Pak Damar, orang yang kita lihat kemaren di laut. Mereka sedang ngobrol dengan Bapak di rumah.”
“Jadi maksudmu? Bapakmu tahu orang-orang ini?”
“Iya.”
Tak terasa mereka sudah sampai di saung pinggir pantai. Mutia merebahkan tubuhnya di saung, melirik ke kanan kiri lalu bergidik ngeri.
“Kok aku takut ya Bay.” ucapnya pada Bayu.
“Kenapa?”
“Sepi bener di sini.”
“Yah kan namanya juga di laut Mut, apalagi di sini jauh dari rumah-rumah warga.”
“Iya sih, tapi biasanya enggak sesepi ini.”
“Mungkin karena tengah malem aja Mut.” Jawab Bayu lagi meyakinkan Mutia agar tidak merasa takut. Sesekali ia melirik jam tangannya, sudah tengah malam pantas saja sepi, yakinnya dalam hati.
Tak berselang lama rombongan mobil truk yang membawa bambu-bambu tiba di pinggir pantai. Terlihat Pak Damar, pak Sugih dan lainnya tiba juga menggunakan kendaraaannya masing-masing. Beberapa orang keluar dari truk tersebut dan langsung membuka pintu penghalang bambu tersebut. Dan tak berselang lama dua buah mobil van berhenti di dekatnya, keluarlah beberapa lelaki sekitar 30 orang dari dalam mobil tersebut. Orang-orang itu langsung menuju laut dan membawa bambu yang sudah berserakan itu.
Kejadian itu tak luput dari pandangan Bayu dan Mutia. Saking banyaknya orang membuat Mutia ketakutan dan bersembunyi di balik saung, hanya Bayu yang sibuk merekam kejadian tersebut menggunakan kamera yang dibawanya.
Malam semakin pekat, awan hitam mulai membumbung di langit. Angin yang semula menyejukkan mulai bergerak riang menggoyangkan pepohonan yang dilewatinya. Ombak yang bergulung lemah mulai terlihat ganasnya. Sunyinya desa itu serasa mencekam. Tak ada warga desa yang keluar di malam itu, dan tak ada yang mengetahui peristiwa itu.
**
Pagi itu matahari tak menampakan diri, awan hitam masih setia mengurung sang mentari. Hujan rintik -rintik masih menemani sisa-sisa air yang menggenangi jalanan.
Seseorang berlari menuju sebuah rumah lalu menggedor-gedor pintu rumah tersebut dengan tak sabaran.
Dokk dok dok
“Teh, dok-dok-dok Teh?” panggilnya
Terdengar seseorang berlari menuju pintu yang diketuk secara keras itu.
“Siapa sih pagi-pagi enggak sabar amat?” tanya Mutia sambil berlari membuka pintu depan rumahnya.
“Mang Kardi?” tanya Mutia
“Mana Ibu kamu Mut? Gawat ini gawat ini… ucap mang Kardi gelisah.
“Ada mang, ada apa? Ayah mana?” tanya Mutia mulai khawatir melihat mang Kardi dengan penampilannya yang berantakan, baju yang sobek dan basah.
“Ada apa mang?” Tiba-tiba ibu sudah berada diantara kami.
“Itu teh, bang Fandi di bawa ke puskesmas.” jawab mang Kardi merasa bersalah.
Seketika tubuh ibu luruh ke bawah, dan ku peluk tubuh ibu.
“Ayah kenapa mang?” ucapku pelan
“semalem kami pulang melaut karena ombak dan angin yang kencang, tapi sesampainya kami di pinggir laut perahu yang ditumpangi menabrak pagar bambu yang entah kapan itu bisa ada dilaut itu.” jawab mang Kardi.
“sekarang kita ke Puskesmas aja hayu teh!” ajaknya
Lalu semuanya bergegas menuju puskesmas di desa itu.
Hati Mutia hancur seketika sampai di puskesmas. Ayahnya sudha menghembuskan nafas terakhirnya tanpa didampinginya olehnya dan keluarga, bahkan ibunya Mutia sampai tak sadarkan diri melihat suami yang dicintainya telah pergi untuk selamanya. Tidak hanya keluarga Mutia, ternyata ada keluarga mang Asep tetangganya yang bersedih karena kehilangan mang Asep. Hari ini, di desa ini dua orang nelayan meninggal karena melaut. Terlihat pak kepala desa sedang berbicara dengan mang kardi, ia menanyakan bagaimana kronologis kejadiannya. Mang Kardi menceritakan bahwa adanya pagar laut di tengah laut tersebut membuat perahu yang ditumpanginya tidak bisa melewatinya. Cuaca yang tak mendukung disertai angin kencang dan ombak yang bergulung membuat perahu yang menabrak bambu-bambu tersebut akhirnya terbalik. Ia dan yang lainnya sudah berusaha berenang ke daratan tetapi karena terhalang bambu tersebut membuat kami terombang-ambing di atas laut. Ia pun heran karena sewaktu berangkat melaut kemarin sore tidak ada bambu-bambu tersebut.
Semua warga ricuh membicarakan bambu-bambu tersebut. Ada yang tidak percaya dengan apa yang diceritakan mang Kardi, sampai seseorang ditunjuk untuk memeriksanya. Pak Sugih hanya bisa mendengarkan dan diam. Dia merasa cemas dengan kejadian ini.
“Tidak perlu memeriksanya Bapak-Ibu!” seseorang berjalan melangkah ke tengah warga.
Bayu berjalan melewati ayahnya dan berdiri di samping mang Kardi.
“Saya punya buktinya, orang-orang itulah yang menancapkan bambu-bambu di tengah laut.”
Tunjuk Bayu kepada pak Damar dan pak Sugih, kepala desa yang tak lain adalah ayahnya.
“Bayu, apa yang kamu katakan?” Tanya pak Sugih
“Bayu hanya ingin mengungkapkan kebenarannya yah. Bayu tidak mau ayah terlibat dengan hal kotor seperti ini bersama dengan orang-orang itu.” jawab Bayu.
Silakan Bapak-bapak, kalian lihat videonya. Ucap Bayu dengan tegas.
Semua warga melihat video yang ditunjukkan oleh Bayu. Beberapa warga merasa geram setelah melihat video tersebut.
Beberapa warga mulai memaki pak Sugih dan pak Damar, beberapa lagi yang geram dan emosi menghajar pak Damar dan meringkus pak Sugih, semuanya menjadi kacau dan ricuh. Tak menunggu lama akhirnya beberapa polisi setempat tiba dan menengahi kericuhan tersebut. Para polisi mengamankan beberapa orang yang terlibat. Dan mengadakan musyawarah mencari solusinya. Dari hasil musyawarah yang alot tersebut akhirnya semua warga sepakat akan mencabut bambu-bambu yang menghalangi aktivitas warga tersebut. Laut merupakan milik semua warga dunia. Tidak ada yang berhak mengklaim atau menyatakan itu miliknya. Lautan di Indonesia milik semua warga Indonesia, dan bukan milik segelintir orang yang memiliki perusahaan atau kekuasaan.