Malam itu, ombak memecah sunyi. Suaranya
serupa geram tertahan. Di kejauhan, lampu-lampu kapal nelayan berkedip seperti
bintang yang tenggelam di batas cakrawala. Tetapi batas itu kini tak lagi
seperti dulu. Sebuah pagar besi menjulang, membelah gelombang, menjarakkan laut
dengan mereka yang menggantungkan hidup padanya.
Darma menatap pagar itu dari atas perahu kecilnya
yang terombang-ambing. Tangannya menggenggam jaring yang semakin jarang terisi
ikan. Sejak pagar itu berdiri, laut seperti menutup dirinya, memberi isyarat
bahwa ia bukan lagi milik mereka yang hidup di pesisir. Para nelayan lain tak
beda nasib dengan dirinya—mereka kembali dari laut dengan tangan kosong,
wajah-wajah mereka kusam dalam sinar remang. Suara keluh kesah menggema di
dermaga setiap pagi, seperti doa yang tak pernah dijawab. Sebagian mencoba
peruntungan di tempat lain, sebagian menyerah dan merelakan perahu-perahu
mereka membusuk di tepi pantai. Namun, Darma tak ingin menyerah. Baginya, laut
bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah yang tak boleh dirampas.
“Pagar ini bukan untuk kita, Darma,” kata
Sinta, perempuan yang sejak kecil ia kenal dan kini semakin sulit ia pahami.
“Pagar ini untuk mereka yang tak pernah mengerti laut.”
Darma menoleh. Mata Sinta berkilat dalam redup
bulan, seperti kilatan kecil belati yang tertimpa cahaya. Ia selalu berbicara
dengan nada getir, seakan menahan luka yang tak pernah ia ingin mengungkapkannya.
“Aku harus tahu siapa yang benar,” kata Darma.
“Apakah pagar ini benar-benar untuk melindungi laut, atau sekadar cara untuk
mengurung kita dari kehidupan kita sendiri? Atau mungkin untuk maksud lain. Ada
konspirasi, misalnya.”
Sinta menarik napas panjang. “Apa kau pikir penguasa
atau siapa pun mereka peduli dengan kita, kecuali kita sendiri? Mereka bicara
tentang perlindungan ekosistem, tetapi siapa yang mereka ajak bicara sebelum
memasang pagar itu? Tidak ada. Mereka bertindak seperti dewa, memutuskan nasib
kita dari balik meja-meja mereka. Mereka tak peduli para nelayan mati perlahan,
sama tak pedulinya melihat kelakuan pihak-pihak yang membunuh lautan dengan
limbah-limbah beracun. Yang mereka pedulikan hanya cuan, cuan, dan cuan.”
Darma merekatkan mulutnya rapat-rapat menahan
agar tidak keluar umpatan untuk mengumpati mereka. Ia mengakui ada kebenaran
dalam kata-kata Sinta yang berapi. Tidak ada seorang pun yang datang bertanya
pada mereka. Tidak ada diskusi, tidak ada penjelasan yang memadai. Pagar itu
berdiri begitu saja, seperti sebuah garis yang menarik batas antara mereka dan
laut.
***
Di kantor pemerintah daerah, rapat berlangsung
dalam kebisuan yang menekan. Para pejabat duduk mengelilingi meja panjang,
dokumen-dokumen berserakan di depan mereka.
“Kita harus menenangkan para nelayan,” ujar
seorang di antara mereka dengan suara lelah. “Mereka terus mempertanyakan
kebijakan ini.”
Seorang pria berseragam, yang sejak tadi
bersandar di kursinya, mendahulukan tertawa kecil sebelum berkata. “Mereka
hanya butuh waktu untuk beradaptasi. Seperti biasa, pada akhirnya mereka akan
menerima.”
“Tapi mereka tidak diam. Beberapa sudah mulai
mencuri jalan keluar, memotong pagar di malam hari. Jika kita tidak bertindak,
kita bisa kehilangan kendali.”
Ketua rapat menghela napas. “Kita bisa
menambah patroli. Pastikan tidak ada yang berani merusak pagar itu lagi.”
Tidak ada yang menyebutkan bahwa pasukan
kelautan sendiri pernah membongkar bagian pagar itu tanpa izin dari departemen
terkait atau apa pun yang berhubungan dengan itu. Tidak ada yang ingin membahas
ketidaksepahaman antara lembaga-lembaga yang seharusnya bekerja sama.
Di luar ruangan, Sinta berdiri diam,
mendengarkan percakapan dari celah pintu yang sedikit terbuka. Ia bekerja
sebagai staf administrasi di kantor itu, tetapi hatinya masih bersama para
nelayan yang berjuang.
***
“Kau ingin melakukan apa?” tanya Darma saat
Sinta menceritakan apa yang ia dengar.
“Kita harus membuka pagar itu,” bisik Sinta.
“Aku bisa mendapatkan rencana strukturnya. Kita bisa mencari titik terlemah.”
“Ini gila, Sinta. Jika kita tertangkap….”
“Lalu kau ingin diam saja? Menunggu mereka
menutup laut sepenuhnya? Menunggu kita semua mati perlahan?”
Darma ingin membantah, tetapi kata-katanya
tertelan ombak yang menggulung di kejauhan. Sinta benar, tetapi keberanian
seperti ini bisa membawa mereka ke dalam bahaya yang lebih besar.
“Kau tidak harus ikut,” kata Sinta pelan. “Aku
hanya ingin kau tahu.”
Darma menatapnya lama. Ada sesuatu di mata
Sinta, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah atau kepedulian. Sesuatu
yang membuatnya sadar bahwa perempuan ini telah melangkah lebih jauh dari yang
ia kira. Diam-diam dia semakin heran sekaligus kagum dengan wanita ini. Entah
dari mana mendapatak keberingasan itu. Karena keadaankah?
***
Malam itu, Sinta pergi sendiri ke pagar itu.
Di tangannya, ia membawa peralatan yang cukup untuk melonggarkan baut-baut yang
menahan pagar di dasar laut. Jika ia bisa melemahkan strukturnya, mungkin satu
bagian akan roboh saat diterjang ombak.
Tapi ia tidak akan membiarkan wanita itu sendirian.
“Aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini sendirian,”
bisik Darma yang tiba-tiba muncul dari balik semak-semak.
Sinta menatapnya dalam keheningan. Lalu ia
tersenyum samar. “Terima kasih.”
Mereka mulai bekerja dalam diam. Setiap bunyi
logam beradu terdengar seperti detak jantung yang berdebar lebih cepat. Ombak
naik perlahan, menyentuh ujung kaki mereka.
Lalu suara itu datang. Sirene. Lampu-lampu
menyala di kejauhan.
“Mereka datang!” bisik Sinta.
Darma menarik tangannya. “Kita harus pergi!”
Tetapi sebelum mereka bisa berlari, suara
tembakan ke udara menggema. Darma merasakan cengkraman di lengannya. Sinta
ditarik oleh seseorang yang datang dari arah yang berlawanan.
“Tangkap mereka!”
Di bawah cahaya lampu sorot, wajah Sinta
tampak datar. Ia sama sekali tidak menunjukkan ketakutan.
“Lihatlah pagar itu,” katanya dengan suara
keras, menantang mereka yang menangkapnya. “Kalian pikir ini akan bertahan
selamanya? Laut lebih tua dari kita semua. Laut lebih kuat dari pagar ini.
Kalian bisa menangkap kami, tapi laut akan terus menyerang pagar ini sampai ia
tumbang! Kalau pun tidak, ketahuilah, kalian semua dan semua yang kalian kejar
akan musnah cepat atau lambat. Semua akan dimusnahkannya. Ia akan
menenggelamkan daratan. Tidakkah kalian melihat gejala yang sudah
ditunjukkannya dengan permukaannya yang terus naik setiap tahun? Penyebabnya
jelas orang-orang yang tak peduli dengan darat dan laut.”
Darma terkesima. Ia tidak pernah melihatnya
seberani ini. Ia ingin bicara, ingin membela Sinta, ingin berteriak. Tetapi
suara ombak menelan segalanya.
Sementara, orang-orang itu hanya menatap
tajam. Jelas, matanya menyiratkan bahwa mereka sedang menahan emosi.
***
Sinta ditahan. Tidak ada yang tahu berapa
lama. Darma berusaha mencari cara untuk membebaskannya, tetapi setiap pintu
yang ia datangi hanya memberi jawaban yang sama: “Kami hanya menjalankan
tugas.”
Sementara itu, pagar tetap berdiri. Tetapi
ombak terus menerjangnya, tanpa henti, tanpa ampun.
Suatu malam, badai besar menghantam pesisir.
Darma berdiri di dermaga, menatap laut yang menggila. Detak di dadanya terasa
lebih jelas. Ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Esok paginya, kabar tersebar ke seluruh
pesisir.
Bagian pagar itu runtuh.
Beberapa hari kemudian, entah oleh alasan apa,
Sinta dibebaskan. Mereka bertemu di tepi laut, di tempat yang dulu hanya diisi
keheningan.
“Aku sudah bilang,” kata Sinta dengan senyum
lelah. “Laut akan menang. Meski mungkin orang-orang tak bersalah juga menjadi
korban.”
Darma menatapnya, lalu menggenggam tangannya
erat. “Dan aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian lagi.”
Di kejauhan, laut berbisik. Pagar memang bisa
dibangun lagi. Tetapi laut, seperti cinta yang telah menemukan jalannya, tidak
bisa dikurung selamanya.