Cerpen Erna Wiyono
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
“Laut memberi, laut mengambil. Jaga ‘pagar laut’ kita.”
Abu-abu. Warna itu menyelimuti Desa Mina Bahari sejak Bapak Yosef ditelan ombak. Sepekan telah berlalu sejak badai menerjang perahu nelayan. Sepekan pula Ibu Tasati dan warga desa menunggu, berharap, berdoa agar Bapak Yosef ditemukan hidup-hidup. Setiap debur ombak, setiap hembusan angin di antara mangrove, seakan berbisik memanggil nama Bapak Yosef. Mereka memanggil, berteriak, namun hanya sunyi yang menjawab.
Desa Mina Bahari, biasanya ramai, kini sunyi. Hanya sesekali terdengar tangis ibu-ibu, termasuk Ibu Tasati yang meratapi kehilangan. Nelayan yang biasanya riang, kini tertunduk lesu, menatap laut yang telah merenggut Bapak Yosef, tulang punggung keluarga, pahlawan yang mengajarkan menanam mangrove sebagai pelindung desa.
Bapak Yosef, lebih dari sekadar nelayan; ia adalah pencinta laut sejati. Kulitnya yang terbakar matahari dan tangannya yang kasar adalah bukti dedikasi seumur hidupnya pada laut. Ia hafal setiap alur arus, setiap perubahan gelombang, setiap tanda cuaca di langit. Laut baginya bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga rumah, sahabat, dan sumber inspirasi. Ia sering bercerita tentang keindahan terumbu karang, keanekaragaman hayati bawah laut, dan misteri yang tersimpan di kedalaman samudra. Ia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menghormati laut, bukan menaklukkannya; untuk mengambil hanya apa yang dibutuhkan, dan selalu menjaga kebersihannya. "Laut memberi kita kehidupan," katanya, "maka kita harus membalasnya dengan kebaikan."
Ia selalu bercerita tentang pentingnya mangrove sebagai pagar laut, benteng Desa Mina Bahari dari terjangan ombak. Ia mengajarkan tentang akar mangrove yang kokoh, meredam gelombang, mencegah abrasi, melindungi pantai, dan menjadi rumah bagi ikan dan kepiting, sumber penghidupan mereka. Kini, Bapak Yosef telah pergi, meninggalkan warisan yang harus terus dijaga. Ironis, laut yang selalu diceritakannya dengan penuh cinta, kini menjadi tempat peristirahatannya yang tragis.
Harapan sirna seiring waktu. Jasad Bapak Yosef tak kunjung ditemukan. Martin, Kei, Lika, dan Sai, empat pemuda desa, terus mencari, menyusuri pantai dengan tekad yang tak pernah padam.
Nenek Matayna datang membawa bekal. Wajahnya yang keriput menyimpan banyak cerita, matanya yang sayu namun tajam mencerminkan kebijaksanaan yang teruji waktu. Rambutnya yang putih terurai sebagian, diikat sederhana di belakang kepala. Ia mengenakan pakaian sederhana namun rapi, kain batik tua yang sudah memudar warnanya, namun tetap terawat dengan baik, seperti dirinya yang tetap tegar menghadapi kerasnya hidup.
“Anak-anakku… istirahatlah sebentar. Makanlah dulu. Tenaga kalian harus tetap terjaga, Saya sudah hidup di desa ini selama lebih dari tujuh puluh tahun. Saya telah melihat banyak badai datang dan pergi, Saya telah melihat banyak nelayan pergi ke laut dan kembali, dan beberapa… tidak pernah kembali.” Nenek Matayna menatap lautan dengan pandangan yang jauh, seakan mengingat masa lalu.
Mereka makan bekal yang dibawa Nenek Matayna. Nenek Matayna kemudian duduk di tepi pantai, berdoa sambil memandang lautan.
“Tasati… ingatlah pesan Bapak Yosef. Laut itu memberi, dan laut itu juga mengambil. Kita harus menerima takdir ini dengan lapang dada. Tapi kita juga harus tetap menjaga laut dan mangrove, sebagai penghormatan terakhir untuk Bapak Yosef. Kearifan leluhur kita mengajarkan kita untuk hidup berdampingan dengan laut, bukan melawannya.”
“Saya mengerti, Nek. Saya akan selalu mengingat pesan Bapak, ujar ibu Tasati sambil berurai air mata.”
Nenek Matayna kemudian memimpin doa bersama Ibu Tasati, memohon agar Bapak Yosef ditemukan dan semoga Desa Mina Bahari tetap terlindungi. Doa mereka terbawa angin, bercampur dengan deburan ombak. Di tengah kesedihan, sebuah berita di radio menarik perhatian mereka. Berita tersebut membahas tentang pentingnya mangrove sebagai "pagar laut" alami, benteng pertahanan pantai dari abrasi dan badai.
Berita itu juga menyebutkan maraknya kerusakan mangrove di berbagai daerah pesisir, dan dampak buruknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Suara reporter di radio menyebutkan angka-angka statistik yang mengejutkan tentang hilangnya area mangrove dan peningkatan bencana pesisir.
Ibu Tasati tertegun. Ia teringat pesan Bapak Yosef tentang pentingnya menjaga mangrove. Ia teringat bagaimana Bapak Yosef selalu mengajarkan tentang akar mangrove yang kokoh, yang mampu meredam gelombang, mencegah abrasi, dan melindungi pantai. Ia teringat bagaimana Bapak Yosef selalu menanam mangrove baru, mengganti yang rusak, merawatnya dengan penuh kasih sayang. Kini, pesan Bapak Yosef itu terasa lebih bermakna, lebih mendesak. Air matanya mengalir lagi, kali ini bukan hanya karena kesedihan kehilangan, tetapi juga karena kesadaran akan tanggung jawab yang besar.
Berita di radio terus berlanjut, menayangkan gambar-gambar kerusakan mangrove di berbagai tempat. Gambar-gambar itu membuat Ibu Tasati semakin sedih dan marah. Ia merasa bahwa kematian Bapak Yosef, selain merupakan kehilangan pribadi, juga merupakan kehilangan besar bagi Desa Mina Bahari. Kehilangan seorang pahlawan lingkungan. Ia bertekad untuk mengubah kesedihan menjadi tindakan.
Keesokan harinya, Ibu Tasati, dengan semangat yang membara, mengajak warga desa untuk melakukan aksi penanaman mangrove di area yang rusak akibat badai. Ia juga mengajak Martin, Kei, Lika, dan Sai untuk bergabung. Mereka tidak hanya mencari jenazah Bapak Yosef, tetapi juga meneruskan perjuangannya. Mereka ingin menjadikan Desa Mina Bahari sebagai contoh bagi desa-desa lain, sebagai contoh bagaimana menjaga mangrove sebagai "pagar laut" yang efektif.
Berita tentang aksi penanaman mangrove di Desa Mina Bahari kemudian viral di media sosial. Banyak orang yang terinspirasi oleh semangat warga desa, dan banyak pula yang menawarkan bantuan. Aksi mereka tidak hanya menjadi penghormatan terakhir untuk Bapak Yosef, tetapi juga menjadi gerakan nasional untuk pelestarian mangrove. Gerakan yang dimulai dari sebuah desa kecil, dengan semangat yang besar, dan dengan tekad untuk melindungi "pagar laut" mereka.
Nenek Matayna, dengan kebijaksanaan dan pengalamannya, menjadi pemimpin spiritual gerakan ini. Ia selalu mengingatkan warga desa tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam, hidup berdampingan dengan laut, dan menghormati warisan leluhur. Ia mengajarkan bahwa menjaga mangrove bukan hanya untuk melindungi desa dari badai, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan kehidupan mereka. Ia memimpin upacara adat sebelum penanaman mangrove, memohon berkah kepada laut dan leluhur.
Beberapa minggu kemudian, jenazah Bapak Yosef ditemukan. Ia dimakamkan dengan penghormatan yang tinggi, di tengah hutan mangrove yang rimbun. Di atas makamnya, ditanam pohon mangrove baru, sebagai simbol kehidupan yang terus berlanjut. Kisah Bapak Yosef dan Desa Mina Bahari menjadi inspirasi bagi seluruh Indonesia, mengingatkan kita semua tentang pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan alam. Upacara pemakaman dihadiri oleh banyak orang, termasuk perwakilan dari pemerintah dan LSM lingkungan.