Cerpen Faatimatuz Zahroh
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Suara tawa anak-anak yang bermain di pantai menarik perhatiannya. Ia tersenyum, mengenang masa kecilnya yang penuh dengan berenang di laut, mengejar perahu ayahnya, dan bercita-cita lebih tinggi dari ombak yang bergulung. Kini, Bahari Lantaro kembali, membawa impian baru. Bukan lagi untuk dirinya sendiri, tetapi untuk desanya. Ia berdiri di tepi pantai, menatap pagar laut besar yang membentang di hadapannya. Sejak ia kecil, pagar itu menjadi batas antara desanya dan laut lepas yang tak pernah mereka jamah. Besi-besi raksasa itu berkarat di beberapa bagian, tetapi tetap kokoh, berdiri seperti tembok yang menjaga mereka dari sesuatu yang tak terlihat. Ia masih ingat bagaimana kepala desa suku meyakinkan warga bahwa di balik pagar itu ada makhluk besar dan buas, sesuatu yang tidak boleh mereka dekati. Warga percaya. Tak ada yang berani melaut terlalu jauh, tak ada yang mempertanyakan. Dan Bahari, seperti anak-anak lainnya, tumbuh dengan ketakutan akan apa pun yang bersembunyi di sana.
Namun sekarang, setelah bertahun-tahun belajar tentang laut di kota, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Benarkah ada sesuatu di balik pagar itu? Ataukah pagar ini hanyalah cara untuk menahan mereka di sini, di desa kecil yang tak pernah berubah?. Ombak berdebur di bawah kakinya, membawa bisikan yang sama seperti dulu. Namun kali ini, Bahari tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Bahari berdiri di tepi pantai, menyaksikan nelayan-nelayan yang kembali dengan wajah letih dan perahu kosong. Setiap hari, mereka berjuang untuk menangkap ikan, namun hasilnya selalu kurang. Bahari tahu apa yang menghalangi mereka, pagar laut yang terbentang di perairan lepas, sebuah pemisah yang sulit mereka lewati. Itu menciptakan zona yang semakin sempit bagi para nelayan.
Bahari melihat seorang nelayan tua yang sedang menarik jala kosong. Wajahnya murung, tangan-tangannya lelah. “Kami hanya bisa melaut di sekitar sini, Bahari,” kata nelayan itu, suaranya lemah. “Pagar itu yang menutupi bagian laut yang, membuat kami tak bisa mencari ikan lebih jauh.”
Bahari mengepalkan tangannya. Ia muak dengan ketakutan yang diwariskan turun-temurun, muak dengan batas yang dibuat tanpa alasan yang jelas. Ia telah belajar tentang laut, tentang ekosistem, tentang makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya. Ia tahu, tak ada alasan bagi mereka untuk tetap hidup dalam ketakutan tanpa pernah mempertanyakan kebenarannya. Pagar laut itu harus dijelajahi. Entah ada hewan buas besar atau tidak, ia akan mencari tahu. Ia akan mengarungi perairan yang selama ini hanya bisa ia lihat dari celah-celah pagar. Ia akan membuka kebenaran yang terkunci di balik batas itu. Dengan napas berat, Bahari mengangkat wajahnya, tekadnya bulat. Apapun yang menunggu di balik pagar laut, ia akan menemukannya.
Malam itu, langit gelap tanpa bulan, hanya bintang-bintang kecil yang berkelip samar di atas lautan. Angin malam berembus pelan, membawa aroma asin yang pekat. Desa sudah sunyi, hanya suara ombak yang berdebur lembut di kejauhan. Di tepi pantai, Bahari berdiri di samping perahu kecilnya. Ia memastikan barang-barangnya siap, peta lipat yang digenggam erat di tangannya, kamera tua tergantung di lehernya, dan sebilah pisau terselip di pinggangnya. Ia tak tahu apa yang menunggunya di balik pagar laut, tapi ia harus siap untuk segala kemungkinan. Dengan hati-hati, ia mendorong perahunya ke air, lalu naik dan mulai mendayung.
Semakin dekat, semakin ia bisa melihat detail pagar itu. Besi-besi raksasa yang dulunya kokoh kini dipenuhi karat, beberapa bagian bahkan berlubang, meninggalkan celah-celah kecil yang cukup untuk mengintip ke baliknya. Tapi tetap saja, pagar ini masih berdiri tegak, seakan menjadi dinding terakhir yang memisahkan desa dari sesuatu yang lebih besar.
Bahari mendekatkan wajahnya ke lubang kecil pada pagar besi yang kropos, mata berusaha menembus gelap malam yang menyelimuti lautan di baliknya. Angin malam terasa semakin dingin, membawa aroma logam dan garam yang pekat. Melalui lubang itu, ia melihat sesuatu yang tak pernah ia duga. Cahaya-cahaya kecil berkerlap-kerlip di kejauhan, seperti bintang yang terpantul di permukaan laut. Namun, sumber cahaya itu bukanlah perahu nelayan sederhana seperti milik desanya.
Ia menyipitkan mata, fokus pada bayangan gelap yang bergerak. Kapal-kapal besar, jauh lebih besar dari perahu nelayan biasa, berjejer di atas air. Suara dentingan logam dan dengungan mesin terdengar samar, bersatu dengan debur ombak yang mengiringi malam. Dari salah satu kapal, Bahari melihat derek besar yang mengangkat sesuatu dari dalam laut. Logam berkilauan di bawah cahaya lampu yang kuning dan temaram. Beberapa orang dengan pakaian gelap tampak sibuk, mengatur dan memindahkan muatan. Hatinya berdebar lebih kencang. Apa yang sedang mereka lakukan di balik pagar ini?
Bahari tidak tahu pasti, tapi pemandangan ini tidak seperti aktivitas nelayan biasa. Terlalu besar, terlalu terorganisir, dan terlalu tersembunyi. Jika benar ini hanya tentang melindungi desa dari makhluk buas, mengapa ada kapal sebesar itu?. Keningnya berkerut, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Apa sebenarnya
yang sedang terjadi di sini? Dan kenapa kepala suku tetua tidak pernah menyebutkan hal ini?.
Dulu, saat masih kecil, ia percaya pada cerita itu. Ia tak pernah meragukan kata-kata kepala suku tetua nya, yang mengisahkan sosok hewan buas yang lebih besar dari perahu, yang bersembunyi di kedalaman laut. Itu semua terdengar begitu nyata. Namun, di hadapannya sekarang, ia hanya melihat aktivitas manusia biasa yang tak ada kaitannya dengan legenda itu. Pikirannya mulai kacau. Jika itu semua hanya dongeng, jika makhluk buas itu tidak pernah ada, apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar ini? Apa yang disembunyikan dari mereka selama ini?
Bahari mundur sedikit, merasa bingung dan sedikit kecewa. Ia tahu ia tak bisa hanya berdiri di sini dan terdiam. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang disembunyikan. Ia harus menggali lebih dalam, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut yang selama ini mengekang mereka. Apapun yang sedang mereka lakukan, Bahari tahu ini bukan sesuatu yang boleh disembunyikan. Ia harus mencari tahu lebih banyak. Dan lebih dari itu, ia harus memberitahukan pada semua orang di desa tentang apa yang tersembunyi di balik pagar laut tua ini. Bahari menunduk, menyembunyikan kameranya di balik bajunya dan dengan hati-hati mengarahkan lensa ke kapal-kapal besar yang sedang sibuk mengangkut muatan. Ia menahan napas, mengatur jarak, dan mengambil beberapa foto dengan cepat namun tenang. Gambar- gambar itu menangkap semua yang tidak pernah ia lihat sebelumnya: derek besar yang mengangkat barang dari laut, pekerja yang bergerak tergesa-gesa, dan perahu-perahu yang berlabuh dengan muatan berat. Setiap jepretan terasa seperti membuka sebuah rahasia yang lebih besar. Sebuah dunia yang selama ini tersembunyi di balik pagar laut yang menghalangi mereka.
Bahari kembali ke desa saat fajar mulai merekah, dengan hati penuh keresahan. Akhirnya, kebenaran terungkap. Ketika Bahari berhasil mengumpulkan bukti dan membagikan foto-
fotonya kepada warga, mereka mulai menyadari kebohongan yang telah diterima selama ini. Setelah beberapa hari mencari informasi dan bertanya-tanya, warga mulai merangkai potongan-potongan cerita yang selama ini disembunyikan. Kepala desa, yang selama ini menakut-nakuti mereka dengan cerita tentang makhluk buas, ternyata terlibat langsung dalam aktivitas ilegal di balik pagar laut. Dia memiliki kepentingan besar dalam tambang itu, yang secara diam-diam mengeruk kekayaan laut tanpa sepengetahuan warga.
Marah dan kecewa, seluruh warga desa bersatu untuk membongkar kebohongan yang telah mengikat mereka. Mereka mulai bergerak bersama, dengan tekad yang bulat. Pagar laut yang selama ini membatasi mereka, yang seolah menjadi pembatas antara dunia mereka dan lautan luas, akhirnya dirubuhkan. Dengan alat seadanya, mereka merobohkan besi-besi tua itu, membuka jalan bagi masa depan yang lebih jujur dan bebas. Setelah pagar itu runtuh, mereka berani melangkah maju, mengungkapkan tambang ilegal yang selama ini tersembunyi, dan membawa masalah ini ke pengadilan. Semua yang mereka miliki kini, selain laut yang luas, adalah tekad untuk mengubah nasib mereka.
Dengan robohnya pagar laut yang selama ini membatasi mereka, warga desa merasakan kebebasan yang belum pernah mereka rasakan. Setelah tambang ilegal yang disembunyikan di balik pagar itu terbongkar, mereka melaporkan semua yang mereka temukan kepada pihak berwajib. Proses hukum dimulai, dan kepala desa yang selama ini menjadi figur yang dihormati, akhirnya dijerat dengan hukuman yang setimpal atas keterlibatannya dalam eksploitasi ilegal dan pembohongan terhadap warga desa.
Warga desa merasa lega dan bangga. Mereka tidak hanya berhasil mengungkapkan kebenaran, tetapi juga meraih kembali hak mereka atas laut yang telah lama mereka anggap tabu untuk dijelajahi. Laut kembali menjadi sumber kehidupan yang bebas untuk mereka gali, tanpa ketakutan yang dulu membelenggu.
Bahari berdiri di tepi laut, merasakan angin yang menyegarkan setelah perjuangan panjang. Pagar laut yang selama ini menghalangi mereka akhirnya roboh, dan kebenaran yang tersembunyi di baliknya terungkap. Warga desa kini bebas dari kebohongan yang telah lama mengekang mereka, dan laut yang dulu dianggap berbahaya kini kembali menjadi sumber kehidupan. Dengan hati penuh harapan, Bahari tahu bahwa perjuangannya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan desanya yang lebih baik dan terbuka.