Cerpen Fadli Abdul Izzati
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Angin laut yang kencang berhembus, menyapu wajah Rini dengan tarian ombak yang bergulung-gulung. Ia berdiri mematung di tepi pantai, memandangi cakrawala yang bergradasi jingga-ungu kala matahari perlahan tenggelam. Suara gemuruh ombak yang menghantam pagar berbatu seolah menjadi senandung kesepian yang menyayat hati.
Sepuluh tahun yang lalu, di tempat inilah Rini menemukan cinta sejatinya, bersama Andi, pemuda yang selalu mengajaknya menjelajah keindahan pantai dan menikmati alunan melodi ombak. Namun, takdir berkata lain. Andi harus pergi untuk selamanya, dalam sebuah kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya.
Rini masih ingat jelas saat-saat terakhir mereka bersama. Andi berbisik lirih di tengah deburan ombak, “Jika aku tiada nanti, ingatlah aku di sini. Di balik tirai ombak yang tak kan pernah berhenti.”
Air mata Rini mulai mengalir perlahan, membasahi pipinya yang pucat. Ditatapnya sekali lagi hamparan laut yang membentang, berharap bisa menemukan sosok Andi di sana. Namun, yang terlihat hanyalah kelam malam yang perlahan-lahan menyelimuti cakrawala.
“Andi...” bisiknya lirih, “Andai saja waktu bisa berputar kembali.”
Rini teringat akan hari-hari indah bersama Andi, saat mereka berkeliling menjelajahi pesisir yang dipenuhi batu karang. Andi selalu tertawa riang saat Rini terkejut oleh ombak yang tiba-tiba menyapu kaki mereka. Betapa bahagianya hari-hari itu, ketika mereka saling berbagi mimpi dan bertukar kasih.
Namun, semua itu hanyalah kenangan yang terkubur dalam luka yang tak pernah sembuh. Hari itu, ketika Andi harus pergi, Rini merasa dunianya runtuh seketika. Ia terpuruk dalam jurang keputusasaan, tak sanggup menerima kenyataan bahwa separuh jiwanya telah terenggut.
“Andi, kumohon kembalilah...” Rini terisak, menatap lautan yang seakan menelan segala harapannya. ”Aku tak sanggup hidup tanpamu.”
Tiba-tiba, angin laut yang kencang seakan berbisik di telinganya, “Aku di sini, Rini. Aku selalu ada di sini, di balik tirai ombak yang tak kan pernah berhenti.”
Rini tersentak, merasa seolah mendengar suara Andi yang begitu familiar. Diedarkannya pandangan ke sekeliling, mencari-cari sosok yang begitu dirindukannya. Namun, hanya hamparan laut dan langit malam yang menyambutnya.
Perlahan, Rini merasakan ada sesuatu yang menyentuh hatinya. Sebuah kehangatan yang membuatnya merasa tidak sendirian. Ia memejamkan mata, mencoba mendengarkan dengan seksama.
“Andi...” bisiknya lirih. “Aku di sini, menunggumu. Di balik tirai ombak yang tak kan pernah berhenti.”
Rini membuka mata, menatap lautan yang bergelombang. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Seakan-akan Andi ada di sana, menyaksikan dirinya dari balik tirai ombak yang tiada henti. Rini tersenyum tipis, menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya.
“Tunggu aku, Andi. Suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi. Di sini, di balik tirai ombak yang abadi.”
Rini berbalik, melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Sebelum pergi, ia menoleh sekilas, berbisik lirih, “Aku di sini, Andi. Selalu ada di sini, di balik tirai ombak yang tak kan pernah berhenti.”