Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Faezya Sharletta | Nelayan Tanpa Laut

Cerpen Faezya Sharletta



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Langit senja memantulkan warna jingga keemasan di atas perairan yang tenang. Emir melangkah perlahan di jalanan desa menikmati angin laut yang biasa ia rindukan setiap kali berada di kota. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti.


Di hadapannya, deretan pagar bambu tinggi berdiri kokoh, membentang sepanjang garis pantai. Laut yang seharusnya terbuka kini tersembunyi di balik bilah-bilah bambu yang terikat rapat.


Alis Emir berkerut. "Apa ini?" gumamnya.


Dengan langkah cepat, Emir menuju rumah. Di depan teras, Pak Karman, ayahnya, duduk di atas bangku kayu sambil menatap kosong ke arah pagar itu. Jaring ikan yang biasanya digulung rapi kini teronggok di sudut, tampak tak lagi digunakan.


"Ayah..." panggil Emir.


Pak Karman menoleh, menyambut anaknya dengan senyum tipis. "Emir, sudah pulang, Nak?"


"Iya,Yah.Tapi sejak kapan ada pagar itu?" tanya Emir menunjuk pagar bambu di kejauhan. 


Pak Karman menghela napas panjang, matanya kembali menerawang. "Sudah beberapa bulan ini. Mereka mulai membangun sedikit demi sedikit. Katanya, sudah ada pemiliknya."


Emir mengerutkan dahi. "Pemiliknya?"


Pak Karman terkekeh pahit. "Itulah yang kami  tak mengerti. Tiba-tiba ada orang-orang datang dengan surat-surat , berkata kalau laut ini sudah mereka beli. Kami protes, tapi siapa yang mau dengar? mereka punya uang dan punya kekuasaan. Sementara kami hanya nelayan kecil yang dianggap tak punya hak atas tempat kami mencari makan."


Emir mengepalkan tangannya. Pemandangan ini tak masuk akal. Bagaimana mungkin akses nelayan ke laut bisa dirampas begitu saja?


****


Emir duduk di pinggir dermaga kecil bersama Affera dan Silmi datang ke desa setelah mendapat kabar tentang pagar laut. Malam itu, angin berhembus pelan, membawa aroma asin laut yang semakin terasa asing.


Pak Jono, salah satu nelayan tua, berdiri tak jauh dari mereka. Ia menatap lautan yang kini terhalang pagar dengan mata sendu.


"Dulu, sekali melaut, bisa membawa pulang cukup ikan untuk makan sekeluarga dan untuk dijual. Sekarang?" Ia terkekeh pahit. 


Affera menatap laut yang tenang di balik pagar. "Dari informasi yang didapatkan, ini bukan sekadar soal akses. Pembangunan pagar dan reklamasi ini mengubah ekosistem laut. Arus air terganggu, terumbu karang rusak, dan ikan-ikan kehilangan habitatnya."


 "Kami sudah merasa ada yang salah. Bahkan sebelum pagar ini selesai, tangkapan kami sudah mulai berkurang. Airnya juga mulai aneh. Kadang ada bau yang nggak biasa," jelas Pak Jono menambahi.


"Air laut di sekitar proyek ini juga tercemar logam berat dan bahan kimia. Bisa dari limbah konstruksi atau aktivitas lain," sambung Silmi.


"Logam berat itu berbahaya kan?" tanya Pak Jono memastikan.


"Betul sekali Pak, dapat meracuni ikan dan jika terkonsumsi dapat menyebabkan  penyakit berbahaya," jawab Silmi menggebu-gebu.


Emir mengepalkan tangan. "Jadi ini bukan sekadar soal hak nelayan yang diambil, tapi juga ancaman bagi lingkungan dan kesehatan."


***


Malam itu, Emir, Affera, dan Silmi berkumpul di rumah Pak Karman. Kertas,  dan beberapa dokumen yang mereka temukan berserakan di meja kayu tua. Lampu redup menerangi ruangan, sementara di luar, suara deburan ombak terdengar samar melewati pagar bambu yang masih berdiri kokoh.


"Aku sudah cari tahu tentang perusahaan yang membangun pagar laut ini," ujar Emir sambil membuka laptopnya. "Namanya PT Lautku Milikku. Pemiliknya seorang pengusaha bernama Parmo."


Pak Karman menyipitkan mata. "Parmo? Nama itu tidak asing..."


"Dia sering muncul di berita. Bisnisnya di mana-mana, terutama di properti dan wisata. Tapi yang bikin aneh, sejak kapan laut bisa dimiliki perusahaan?"


Silmi menggeser beberapa kertas ke tengah meja. "Itu dia masalahnya. Aku cek di data pertanahan, ternyata mereka punya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) untuk kawasan ini. Setelah aku telusuri, sertifikat ini dikeluarkan oleh pihak tertentu di desa ini. Dan coba tebak siapa?"


"Pak Karyo," gumam Emir, matanya menyipit.


Silmi mengangguk. "Benar. Kepala Desa Koko, Pak Karyo, terlibat dalam penerbitan sertifikat ini. Diduga dia menerima imbalan besar untuk meloloskan izin dan mengalihkan hak tanah desa ke perusahaan itu."


Pak Karman mengepalkan tangan. "Pantas saja dia selalu membela proyek ini! saat kami protes, dia bilang proyek ini buat kemajuan desa. Tapi nyatanya, kami justru sengsara!"


"Lebih parah lagi," lanjut Affera, "warga yang menolak dipaksa diam. Ada yang diancam, ada yang diberi uang supaya mereka tutup mulut. Beberapa nelayan yang mencoba melaut tanpa izin katanya didatangi orang-orang suruhan Parmo."


"Jadi sekarang kita tahu siapa dalangnya," kata Emir akhirnya. "Tapi masalahnya, kita bisa apa? Parmo itu pengusaha besar, dan Pak Karyo punya kuasa di desa ini."


Affera menatapnya tajam. "Kita cari cara untuk membongkar ini ke publik. Kita punya bukti, kita bisa bawa ke media atau langsung ke hukum!"


Silmi mengangguk. "Kalau kita bisa membuktikan bahwa sertifikat ini ilegal dan proyek ini merusak lingkungan, mereka tidak bisa sembunyi lagi."


Pak Karman tersenyum tipis, matanya mulai menyala dengan harapan. "Kalau kalian butuh dukungan, para nelayan akan berdiri bersama kalian. Kami sudah terlalu lama diam."


***


Pagi itu, suasana di Desa Koko lebih ramai dari biasanya. Di tepi pantai, ratusan warga berkumpul dengan wajah penuh semangat. Para nelayan berdiri di barisan depan, memegang jaring dan dayung beserta spanduk bertuliskan: “Laut Hak Kami!”


Di antara kerumunan, Emir, Affera, dan Silmi berdiri di atas perahu kecil, menyiapkan aksi yang telah mereka rancang selama beberapa hari terakhir.


"Kita sudah kirim laporan ke media dan organisasi pecinta  lingkungan," ujar Affera sambil memeriksa ponselnya. "Beberapa jurnalis sudah dalam perjalanan ke sini. Kita harus pastikan mereka melihat apa yang terjadi."


"Kita juga sudah mengumpulkan bukti bahwa SHGB dan SHM itu ilegal," tambah Silmi. "Beberapa pengacara lingkungan yang kita hubungi siap membantu kalau ini sampai ke ranah hukum."


Emir mengangguk. Ia menatap pagar bambu yang berdiri angkuh di hadapannya. "Tapi hari ini, kita tunjukkan bahwa laut ini bukan milik mereka."


Pak Karman melangkah ke depan dan mengangkat suaranya. "Saudara-saudara! Kita sudah cukup lama diam! laut ini bukan hanya tempat kita mencari nafkah, tapi juga bagian dari hidup kita!"


Sorak sorai menggema. Tanpa menunggu lebih lama, para nelayan mengangkat jaring mereka dan mulai berjalan menuju pagar. Emir dan beberapa pemuda ikut membantu. Mereka mencabut beberapa bagian pagar bambu yang menghalangi jalan ke laut.


"Kami hanya ingin melaut! kami  bukan pencuri di daerah sendiri!" teriak para nelayan bersamaan.


Beberapa pria berbadan tegap tiba-tiba muncul. Mereka adalah orang-orang suruhan PT Lautku Milikku. Salah satu dari mereka, pria bertubuh kekar dengan kemeja hitam, melangkah mendekati Emir.


"Kalian mundur sekarang juga! Ini lahan perusahaan, tidak  ada yang boleh masuk tanpa izin!" bentaknya.


Emir maju selangkah, menatap pria itu tajam.


 "Sejak kapan laut bisa dimiliki perusahaan? kami punya bukti bahwa sertifikat ini ilegal! media sedang menuju ke sini. Mau tindakan kalian tersebar luas ke publik?!"


Pria itu terdiam. Dari kejauhan, beberapa jurnalis mulai berdatangan, mengangkat kamera mereka untuk merekam kejadian.


Pak Karyo, kepala desa yang selama ini membela proyek, muncul dengan wajah panik. "Emir! Pak Karman! jangan berbuat  kegaduhan, tindakan kalian dapat membahayakan desa."


"Yang berbahaya adalah membiarkan perusahaan merampas laut kita!" seru Emir.


Seorang jurnalis mendekat, menyodorkan mikrofon ke arah Emir. "Apa yang terjadi di sini?"


Emir menarik napas dalam, lalu berkata dengan lantang, "Hari ini, kami para nelayan Desa Koko mengambil kembali hak kami. Proyek ini ilegal! Kami punya bukti bahwa sertifikat kepemilikan laut ini cacat hukum, dan kami menuntut keadilan!"


Sorak sorai kembali menggema. Para nelayan mulai mendayung perahu mereka melewati celah pagar yang telah dirusak. Sementara itu, dari  kejauhan, sirene mobil kepolisian mulai terdengar. 

 

Berita tentang pagar laut dan kasus perampasan lahan mulai ramai di media. Rekaman aksi warga yang menerobos pagar, laporan investigasi, serta wawancara para nelayan memenuhi layar televisi dan media sosial.


“Berdasarkan bukti yang kalian serahkan,kami menemukan indikasi kuat adanya korupsi dalam penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di laut," ujar penyelidik.


"Jadi artinya proyek ini memang ilegal?” tanya Emir memastikan.


“Benar. Lebih dari itu, kami menemukan bukti bahwa Pak Karyo, kepala desa kalian, menerima suap dari PT Lautku Milikku untuk memuluskan perizinan.”


“Bagaimana dengan pemilik perusahaan?”


“Parmo dan beberapa petinggi perusahaan juga terbukti menyuap pejabat pertanahan untuk menerbitkan sertifikat ilegal. Selain itu, proyek ini melanggar aturan lingkungan karena dilakukan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang benar.”


“Jadi, mereka tidak akan lolos begitu saja?” 


“Hari ini, kami akan menangkap Pak Karyo dan beberapa orang dari PT Lautku Milikku, termasuk Parmo," jawab penyelidik.


 Berita penangkapan itu pun tersebar. Polisi menggelandang Pak Karyo dan Parmo keluar dari kantor perusahaan dengan tangan diborgol.


***


Di desa, warga berkumpul di tepi pantai, menyaksikan dengan mata berkaca-kaca ketika polisi mulai membongkar pagar bambu yang selama ini menghalangi mereka.


Pak Jono menepuk bahu Emir. “Terima kasih, Nak. Kalau bukan karena kalian, mungkin kami sudah menyerah.”


Emir tersenyum. “Ini bukan perjuangan kami saja, Pak. Semua warga desa ikut berjuang. Laut ini milik kita bersama, dan tak seorang pun boleh merampasnya.”


Di belakang mereka, perahu-perahu nelayan mulai bergerak bebas di atas air, melanjutkan kehidupan yang hampir saja direnggut oleh kerakusan segelintir orang.


Pak Karman berdiri di tepi pantai, tangannya menggenggam erat jaring ikan yang sudah lama tak digunakan. Matanya berkaca-kaca melihat laut yang akhirnya kembali menjadi milik mereka.


“Kita bisa melaut lagi, Pak,” ujar Pak Jono dengan senyum lebar. “Tapi perjuangan kita belum selesai.”


Silmi tersenyum kecil. "Tapi setidaknya, kita sudah membuktikan bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam. Mereka pikir nelayan kecil tidak memiliki kekuatan, tapi kita tunjukkan bahwa bersatu itu lebih kuat dari uang dan kekuasaan."


Pagar dapat  dibangun untuk membatasi, tapi suara rakyat tak akan pernah dapat dibungkam. ~ Faezya Sharletta