Cerpen Fais Azis Wibowo
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Dahulu kala, di desa Nelayan Sagara, hiduplah seorang gadis bernama Ratih yang selalu mendengar cerita ibunya tentang pagar laut. Ibunya berkata bahwa pagar laut bukan hanya sekadar tumpukan kayu di pantai, melainkan batas antara dua dunia: dunia manusia dan dunia para penghuni laut. Namun, seiring waktu, pagar itu berubah. Bukan lagi penjaga keseimbangan alam, melainkan batas buatan yang memisahkan masyarakat dari laut yang telah menjadi sumber kehidupan mereka selama turun-temurun.
"Ibu, mengapa kita tidak boleh melewati pagar laut?" tanyanya suatu hari.
Ibunya mengusap kepalanya dengan lembut. "Karena tanah dan laut ini bukan lagi milik kita, Nak. Dahulu, kita hidup berdampingan dengan laut, tetapi sekarang, mereka telah mengambilnya atas nama pembangunan. Kita hanya bisa menonton dari kejauhan."
Ratih tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan tidak percaya pada pembatasan yang dibuat tanpa alasan. Ia melihat pagar laut sebagai simbol ketidakadilan yang mengurung kebebasan masyarakat desa. Setiap kali ia duduk di pantai, ia membayangkan kehidupan tanpa pagar itu. Dalam tidurnya, ia sering bermimpi melihat bayangan samar seorang wanita berambut panjang berdiri di antara ombak, memandangnya dengan mata penuh kesedihan. Ia tidak pernah tahu siapa wanita itu, tetapi hatinya selalu merasa terhubung.
Suatu sore, ketika Ratih berjalan di sepanjang pantai, ia melihat para nelayan pulang dengan tangan kosong. Wajah-wajah mereka tampak lelah dan putus asa. Seorang lelaki tua menghela napas panjang. "Dulu, ikan melimpah di sini. Sekarang, kapal-kapal besar telah mengusir mereka dari perairan kita," gumamnya. Ratih merasa hatinya terbakar. Ia tidak hanya ingin memahami misteri pagar laut, tetapi juga ingin berbuat sesuatu untuk desanya.
Saat membantu ibunya di dapur, ia mendengar percakapan para tetua desa. Mereka membicarakan tentang seorang wanita bernama Nyai Laras, nenek buyut Ratih, yang pernah menghilang secara misterius di laut bertahun-tahun lalu. "Dia menolak untuk menyerahkan lautnya kepada mereka yang ingin mengubahnya menjadi properti pribadi. Sejak itu, kita selalu takut hukuman akan datang," kata salah seorang tetua.
Malam itu, Ratih tidak bisa tidur. Ia memandangi pagar laut dari kejauhan. Apakah Nyai Laras benar-benar menghilang? Ataukah ia masih ada di dunia lain? Rasa ingin tahunya semakin besar.
Ia teringat kisah-kisah yang pernah diceritakan neneknya, tentang bagaimana masyarakat desa dulu bisa hidup makmur dari hasil laut, tanpa takut dirampas haknya. Namun, sejak pagar laut dibangun, segalanya berubah. Ratih bertanya-tanya, apakah benar-benar ada kutukan di balik pagar itu, atau hanya ketakutan yang diciptakan oleh mereka yang ingin mengambil laut dari tangan masyarakat desa?
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seorang pemuda misterius bernama Raka, seorang pelaut yang baru datang ke desa.
"Kau percaya cerita pagar laut itu?" tanya Raka dengan nada tajam saat mereka duduk di tepi pantai.
"Aku tak tahu. Aku hanya ingin tahu mengapa kita dilarang melewatinya," jawab Ratih.
Raka tersenyum pahit. "Karena ada orang-orang yang ingin kita tetap diam. Mereka bilang pagar ini untuk perlindungan, tapi sebenarnya untuk membatasi kita dari apa yang seharusnya menjadi hak kita."
Ajakan itu menyalakan semangat Ratih. Malam itu, dengan penuh keberanian, ia dan Raka menyelinap ke pantai. Dengan hati-hati, mereka melewati celah di antara kayu-kayu besar dan melangkah ke sisi lain. Pada awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, saat mereka menapakkan kaki di pasir basah, angin bertiup kencang. Dari dalam laut muncul sosok pria bertubuh perak dengan mata biru berkilauan.
"Manusia telah melanggar janjinya," katanya dengan suara dalam. "Dan kini, aku datang untuk menagihnya."
Ratih terkejut. "Siapa kau?"
"Aku Naga Samudra, penjaga dunia laut. Dulu, manusia berjanji untuk hidup selaras dengan alam, tetapi mereka melanggarnya. Sebagai gantinya, desa kalian akan menerima hukuman."
Saat itu juga, Raka berubah. Tubuhnya memancarkan cahaya biru, dan ia tertawa kecil. "Akhirnya, aku bisa membawa manusia kembali ke dalam perjanjian lama mereka. Kalian lupa bahwa kalian berutang kepada laut. Aku hanya memanfaatkan rasa penasaran gadis ini."
Ratih terbelalak. "Jadi kau bukan manusia?"
Raka mengangguk. "Aku adalah utusan mereka yang telah kehilangan haknya. Aku adalah suara mereka yang dibungkam. Aku adalah bayangan yang menunggu seseorang cukup berani untuk membuka mata."
Ratih panik. Ia berlari kembali ke desa, tetapi angin berubah menjadi badai, dan ombak mulai menghantam pantai dengan keras. Desa Nelayan Sagara yang tenang berubah menjadi lautan kekacauan. Ratih berteriak meminta pertolongan, tetapi semuanya sudah terlambat.
Di tengah kepanikan, muncul seorang lelaki tua bernama Ki Lurah, orang tertua di desa. "Ada satu cara untuk memperbaiki ini, Ratih," katanya. "Kau harus membawa kembali suara nenek moyangmu dan memperjuangkan hak kita."
Dengan air mata menggenang, Ratih mengangguk. Ia berjalan kembali ke pagar laut dan berdiri di hadapan Naga Samudra. "Aku yang bersalah. Tapi bukan aku sendiri yang melakukannya. Kami semua melupakan janji ini. Jika kau ingin hukuman, biarlah kami semua menghadapinya."
Naga Samudra tersenyum tipis. "Kau akhirnya memahami bahwa ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang semua yang telah diambil."
Sekejap mata, Ratih merasa dirinya tenggelam ke dalam laut, tetapi tidak hilang. Ia menyatu dengan ombak, mendengar suara Nyai Laras yang memanggilnya. "Kau telah menemukan keberanianmu, cucuku. Sekarang, kembali dan lawan mereka."
Badai berhenti, laut kembali tenang, dan desa Nelayan Sagara selamat. Tapi kali ini, mereka tidak lagi diam. Mereka membakar pagar laut yang telah lama membatasi mereka dan berdiri bersama, melawan mereka yang ingin mengambil laut mereka.
Sejak saat itu, legenda tentang Ratih dan pagar laut terus diceritakan dari generasi ke generasi. Penduduk desa tidak lagi takut, karena mereka tahu bahwa laut bukanlah milik segelintir orang yang memiliki kekuasaan, tetapi milik mereka yang telah lama menjaganya.
Beberapa nelayan mengaku pernah melihat cahaya biru berpendar di dasar laut saat mereka melaut di malam hari. Mereka percaya bahwa itu adalah tanda bahwa Ratih dan para leluhur mereka masih ada, menjaga hak mereka. Tidak ada lagi yang bisa menindas mereka, karena kini mereka tahu bahwa pagar laut bukanlah takdir, melainkan sesuatu yang bisa dihancurkan.
Ratih mungkin telah kehilangan kehidupannya sebagai manusia, tetapi ia menemukan makna yang lebih besar dalam perjuangannya. Ia menjadi penjaga yang tak terlihat, memastikan bahwa desanya tidak akan lagi mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Dan di setiap hembusan angin laut, namanya terus bergema, bukan lagi sebagai mitos, tetapi sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Dan di kejauhan, suara angin dan ombak menyanyikan lagu tentang kebebasan yang akhirnya direbut kembali.