Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Fathia Rizkiah | Dimas Hanya Ingin Mewujudkan Impian Bapak

Cerpen Fathia Rizkiah 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Bertepatan dengan hari ini, Dimas ketauan. Seorang nelayan memergoki kaki tangannya masih mengerjakan misi saat hari sudah terang. Sontak, nelayan itu marah-marah. Akibat proyek gelap Dimas ia dan nelayan lain merugi! Tetapi di sisi lain, berita ini bagai jackpot baginya. Rezeki pagi hari. Ia ingat seminggu lalu pihak berwajib membuat sayembara siapapun yang mengetahui siapa dalang di balik semua proyek gelap ini dan mempunyai bukti yang cukup—bukan asal tuduh—akan dihadiahkan uang 10 juta rupiah.


“Begini saja sih kecil,” gumam Agung, nelayan yang marah-marah di pagi itu.


Ia mengeluarkan ponsel, mengguncangnya beberapa kali bermaksud agar sinyal masuk ke ponselnya. Setelah menunggu terbitnya sebatang dua batang sinyal, Agung lekas menelpon pihak berwajib. Tak lupa ia menyuruh sepupunya untuk merekam video sebagai bukti.


“Bakal dapat duit kita pagi ini,” ujarnya mantap.


Tak semudah perkiraan, kaki tangan Dimas menghampiri perahu kecil Agung dan memberantasnya. Ternyata mereka selalu membawa benda tajam. Pantas saja aksi mereka tidak pernah ketauan. Telepon Agung belum tersambung, namun nyawanya sudah tidak terselamatkan. Hanya butuh waktu beberapa menit nyawa dari tubuh kurus itu sudah lenyap. 


“Jangan sok jadi pahlawan kesiangan,” kecam salah satu tim dari proyek gelap itu, sambil melempar tubuh Agung begitu saja ke laut. Warna darah yang masih segar langsung merebak di perairan sekitar perahu mereka mengapung.


Masih ada 1 orang lagi, sepupu Agung. Dengan tubuh penuh gemetar, ia berusaha melarikan diri. Menyalakan mesin perahu sekencang mungkin, berharap penjahat di perahunya ini akan terjorok ke laut karena hilang keseimbangan. Tetapi sepertinya pikirannya terlalu dangkal, jelas hal itu tidak terjadi. Tubuh orang-orang suruhan Dimas kekar dan berotot. Sekali piting di leher, sepupu Agung megap-megap, merasa udara di sekitarnya habis. Tak butuh waktu lama juga sepupu Agung menyusul pamannya.


Sementara, rekaman video yang menampilkan tim Dimas masih mengerjakan proyek hingga mereka menghampiri dan menghabisi tubuh Agung sudah terunggah di sosial media, video itu langsung melejit. Tak butuh waktu lama juga video itu sampai di telinga para polisi.


Pukul 15.15 mobil polisi bergerak cepat membawa tubuh Dimas. Ya, hanya Dimas yang berhasil ditahan. Saudara-saudaranya yang lain sudah kabur ke luar negeri sejak pagi tadi. Mobil itu terus bergerak membelah jalanan Kabupaten, menuju ke arah kerumunan masa. Sekilas terlihat seperti kumpulan orang-orang yang sedang menunggu idola datang, tapi jelas bukan. Yang Dimas dengar pertama kali—hingga seterusnya saat ia masih berdiri di sana—mereka memaki, menunjuk-nunjuk, mengumpat, merapal doa buruk, bahkan ada yang meludahi wajah.


Dan semua itu ditujukan padanya. Dimas tak paham, kenapa mereka bisa semarah ini? 


Di sisi lain kelap-kelip cahaya kamera menyilaukan pandangannya, lengkap dengan berbondong pertanyaan yang diucap bersamaan. Membuat telinga Dimas kebas, tidak bisa menangkap satu pun pertanyaan mereka. Tapi, di antara suara yang saling sahut menyahut bagai lomba bertanya, indra pendengar Dimas berhasil menangkap 1 pertanyaan dengan sangat jelas.


“Apa motif anda melakukan semua ini?”


Tubuhnya yang hampir limbung terhimpit puluhan orang, cahaya, mic handphone, dan makian, tanpa sadar berucap pelan namun siapapun bisa mendengar suara yang tak sengaja masuk ke microphone salah satu wartawan, “Saya hanya mau mewujudkan impian bapak.”


***


Hasil persidangan memutuskan Dimas divonis bersalah. Ia dikenakan hukuman 10 tahun penjara. Dan di sinilah ia sekarang, mendekam di jeruji besi bersama 5 orang penjahat lainnya. Sebenarnya, Dimas masih tidak mengerti kenapa bisa ia berakhir di sana. Tinggal bersama penjahat? Sepertinya ia tidak melakukan apapun.


Seseorang memukul kepala Dimas dari belakang. Dimas menghela napas sebelum menoleh tajam.


“Lihat depanmu,” ujar laki-laki bertato penuh di lengan.


Dimas menurut, ternyata depannya sudah kosong 3 langkah, artinya ruang kosong ini bisa diisi 3 orang.


“Jangan melamun saat mengantre, bodoh!” Laki-laki bertato di lengan itu melewati Dimas yang masih terdiam. Dua temannya yang lain mengekor.


Benar, ia sedang berada dalam antrian untuk mengambil sarapan. Sejak semalam perutnya memang tidak lapar, Dimas keluar barisan, berjalan menuju taman belakang. Dua sipir mengikuti dan mengawasinya dari kejauhan.


Tidak ada apa-apa di taman belakang selain pepohonan liar menjulang. Tetapi Dimas suka, sejak menginjakkan kaki di tempat ini, spot inilah yang paling ia suka. Embusan angin yang bertiup lembut, tetapi lincah mempermainkan rambutnya. Dimas memejam, menikmati setiap tiupan angin yang menerpa wajahnya. Ia rindu bapak.


Dimas kecil melompat-lompat kegirangan di atas gerobak yang terus melaju saat bapak berkelok di jalan ini, jalan komplek yang dihuni banyak sekali rumah besar. Tetapi di antara semuanya, bapak tau betul Dimas hanya menyukai 1 rumah. Yang di setiap sisi pagarnya ada patungnya. 


Setiap kali mereka melintasi rumah itu Dimas senang sekali. Ia menatap dengan penuh kagum. Hingga mata bulatnya sama sekali tak berkedip. Lehernya pun berputar 180 derajat mengikuti pergerakan rumah yang setiap detiknya semakin menjauhi tubuh mungilnya. Seperti tak mau menyayangkan sedikitpun waktu untuk tidak memandang bangunan bagus depan matanya itu.


Bapak tersenyum, ikut menatap rumah yang membuat Dimas begitu takjub.


“Bagus ya, Mas, rumahnya. Pasti yang punya orang kaya.”


Dimas mengangguk antusias. “Luarnya saja bagus banget, Pak. Gimana isi dalamnya ya?”


“Pasti dua kali lipat lebih bagus dari luarnya.” Tebak Bapak, asal.


“Pasti ada TV-nya ya, Pak? TV besar.” Dimas berjinjit, kedua tangannya menyibak udara. Seakan mendefinisikan arti besar menurutnya.


Bapak tertawa. “Duduk, Mas, pegangan.” Bapak memelankan jalannya.


“Iya kan, Pak? Pasti ada kan?” Tidak menurut, Dimas justru menatap bapak lekat-lekat. Lebih seperti memaksa untuk menjawab pertanyaannya.


“Iya, Mas. Pasti ada.”


Dimas tersenyum puas. “Tuh kan, ada! Pasti bisa puas nonton kartun. Iya kan, Pak?”


“Iya. Sekarang duduk, ya. Pegangan.” Barulah Dimas menurut, duduk menyender pada salah satu dinding gerobak yang hanya bisa menahan setengah punggungnya saja. 


Mata Dimas masih menatap rumah itu. Sebenarnya ingin sekali ia bertanya tetapi diurungkan, ia sudah tau jawabannya apa.


***


Bapak menghentikan gerobak di depan bangunan usang yang sebagian besarnya terbuat dari triplek. Ia mengambil tubuh mungil Dimas, dan memindahkannya hati-hati ke dalam, takut terbangun. Lalu bapak lanjut membersihkan hasil buruannya hari ini. Seratus meter dari rumah ada kamar mandi umum.


“Wah banyak hasilmu hari ini,” sapa Bang Naim yang sedang memompa air untuk anaknya mandi.


Bapak menyiapkan bak dan menuang puluhan gelas dan botol plastik. “Iya, Bang, lumayan.”


“Bisa makan enak Dimas malam ini, haha.”


Bapak tersenyum. “Alhamdulillah.”


Makan enak yang Bang Naim maksud bukanlah makanan mahal yang biasa dijual di restoran dingin ber-AC. Bagi kami, bisa membeli makan di penjual gerobak yang nangkring di pinggir jalan pun sudah termasuk makan enak. Karena belum tentu kami bisa membeli makanan itu setiap hari. Bisa saja, tetapi sayang uangnya. Urusan perut kami masih bisa membeli Pagpag, yang penting perut tidak kosong.


***


Dimas melompat-lompat kegirangan melihat bapak membawa pulang kardus besar, ia mengikuti langkah bapak.


“Isinya apa, Pak? Baju ya? Ada mainan untuk Dimas ga? Pasti baju kan, Pak? Iya, kan?” Dimas sangat tidak sabar.


Bapak tertawa, mengacak rambut Dimas. “Senang ya, Mas?”


Tidak menyahut, Dimas justru membuka kardus yang sudah diletakkan di lantai beralas tanah. Kesusahan, kardus itu dilakban beberapa kali. Bapak mengambil cutter.


“Wah baju, Pak! Ini baju Dimas ya? Buat Dimas kan, Pak?”


Bapak tertawa lagi. “Iya, semua yang kecil-kecil untuk Dimas.”


“Asiiik.” Dimas makin semangat mengobrak-abrik isinya. Ada buku bacaan berwarna dan mainan juga.


Tak lama seseorang memberi salam di depan rumah, mereka orang kaya yang memberi sumbangan ke seluruh rumah di wilayah kumuh ini.


Bapak menggelar terpal, men-double-nya dengan karpet, mempersilakan mereka masuk.


Sementara Dimas asyik dengan dunianya, sudah mengenakan baju baru Dimas mencoba mobil-mobilan remot. Ternyata susah, mobil Dimas terus menabrak. Bapak memberi isyarat agar Dimas tenang, tetapi tidak bisa mulutnya terus berceloteh kemana pun mobilnya melaju.


Kedua orang kaya berkulit sangat putih itu tertawa melihat Dimas. Tak banyak basa-basi mereka langsung mengutarakan niat. “Sayang anak seaktif ini kalau tidak sekolah, Pak.”


Bapak mengangguk, betul juga.


“Kalau boleh kami mau membiayai sekolah Dimas.”


“Sekalian mengangkat Dimas menjadi anak, sudah tujuh tahun menikah kami belum dikasih rmomongan,” sambung lelaki berambut pirang, penampilannya seperti bule.


Entah harus merasakan apa dulu, bapak sangat bersyukur, anaknya akan mendapat kehidupan yang layak, atau bahkan lebih. Namun, ia pun sedih harus berpisah dengan Dimas. Pasti rumah akan sangat sepi.


Sore itu bapak setuju, Dimas akan diadopsi, semua demi masa depannya. Dimas tetap boleh mengunjungi Bapak setiap Minggu, saat tidak ada jadwal les tambahan.


Pernah suatu hari bapak sakit, asam lambungnya naik. Beberapa tetangga bergantian mengurus bapak. Dimas yang tak tega, membujuk agar ikut tinggal bersamanya di rumah orang tua angkat Dimas. Namun bapak menolak.


“Sejak awal ini rumah Bapak, Mas. Bapak ga mau ninggalin rumah ini.”


“Tempat ini bisa digusur pemerintah kapan saja, Pak,” ujar Momma, begitu panggilan Dimas pada ibu angkatnya. Betul juga, rumah-rumah mereka berdiri di atas tanah pemerintah yang jarang diperhatikan. Tak menutup kemungkinan suatu waktu sang pemilik tanah akan mengambil kembali haknya.


“Kalau begitu kita buatkan rumah saja, mau, Pak?” tanya Papa—bapak angkat Dimas.


Bapak menggeleng. “Ga usah, merepotkan. Membesarkan Dimas saja sudah menghabiskan banyak biaya.”


“Ngga kok, Pak. Biar Bapak tenang juga di rumah, ga khawatir diusir suatu saat.”


Bapak menghela napas. 


“Mau ya, Pak.” Mata Dimas berbinar, “biar rumah Dimas lebih dekat sama Bapak.”


Terharu, sejak kapan anaknya berpikiran sedewasa itu? Akhirnya bapak mengangguk. “Ya sudah, tapi yang murah saja tanah untuk Bapak, ya.”


Momma dan Papa saling tatap, kemudian mengangguk. “Kalau jadinya 10 tahun lagi, gapapa, Pak?”