Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Fatimah Fha | Pagar Laut, Sekat yang Memcekam

Cerpen Fatimah Fha



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di tepi pantai, sekelompok nelayan berkumpul, menatap pagar dengan tatapan getir. Minggu lalu, mereka mendapat kabar terbaru dari pemerintah provinsi.


Isinya tegas: pagar laut tidak akan dibongkar. Proyek ini dianggap sebagai bagian dari kebijakan besar dalam ‘pengelolaan wilayah pesisir’. Sebuah alasan yang terdengar bagus di atas kertas, tetapi di lapangan, yang mereka rasakan hanyalah penderitaan.


"Kebijakan macam apa ini?" seru Roni.


Pak Umar menghela napas panjang.


"Aku dengar," bisik Hasan, "ada perusahaan besar yang mulai mengincar lahan di sekitar pantai. Katanya mau bikin kawasan wisata elite. Hotel, restoran, marina pribadi …"


Roni menoleh tajam. "Jadi, ini bukan soal konservasi atau abrasi? Melainkan soal uang?"


Hasan mengangguk pelan. "Menurutmu, apa lagi?”


Percakapan mereka terhenti ketika sebuah mobil hitam melaju ke arah mereka. Kepala Desa turun dari dalamnya, diikuti dua orang berseragam.


Pak Anton, sang kepala desa, berjalan mendekati mereka.


"Pak Umar, Roni, semua bapak-bapak sekalian, saya datang membawa kabar baik,” sapanya.


Tidak ada yang menjawab. Semua mata memandangnya dengan curiga.


"Kami dari pihak desa dan kecamatan sudah mengupayakan solusi terbaik untuk kalian," lanjutnya. "Akan ada program bantuan bagi nelayan terdampak. Kalian akan mendapat subsidi dan pelatihan keterampilan lain—mungkin budi daya ikan atau usaha rumahan. Pemerintah tidak akan membiarkan kalian kesulitan."


Pak Umar menyipitkan mata. "Jadi, maksudnya, kami harus beralih profesi?"


Pak Anton menghela napas. "Saya paham perasaan kalian, tapi keputusan ini sudah final. Proyek pagar laut ini bagian dari kebijakan pemerintah. Kita tidak bisa melawannya. Lebih baik kita beradaptasi. Kalian harus realistis, menentang proyek ini hanya akan membuat situasi semakin sulit. Saya sarankan, jangan ada yang melakukan hal bodoh."


Peringatan terselubung itu membuat suasana semakin panas.


"Saya tahu, Pak Anton,tapi ingat satu hal. Kami tidak akan tinggal diam. Jika laut ini kami yang rawat selama bertahun-tahun, kami juga yang akan menjaganya,” kata Pak Umar.


Kepala Desa menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk kecil.


"Baik," katanya singkat. "Saya sudah sampaikan. Selebihnya, terserah kalian."


Ia berbalik, berjalan kembali ke mobilnya, lalu pergi meninggalkan mereka.


Tak lama setelah mobil itu menghilang, Roni menoleh ke Pak Umar. "Kita harus melakukan sesuatu."


"Ya, kita harus bertindak,” jawab Pak Umar.


***


Ketika sebagian besar warga mulai beristirahat, suara derap langkah terdengar di jalanan kampung. Roni melihat beberapa pria berpakaian gelap berjalan cepat melewati gang kecil. Mereka berhenti di depan rumah Pak Umar. Salah satu dari mereka mengetuk pintu dengan keras.


Pak Umar keluar. "Ada apa, Pak?" tanyanya.


Salah satu pria itu menyodorkan sebuah amplop. "Pesan dari pihak berwenang. Setiap warga yang mengganggu proyek akan dianggap melanggar hukum."


Pak Umar membuka amplop itu dan membaca isinya. Matanya menyipit.


Di dalam surat itu tertulis ancaman halus: jika mereka terus melawan, konsekuensinya akan jauh lebih besar.


Pak Umar menatap pria-pria di depannya. "Kami hanya memperjuangkan hak kami."


Salah satu dari mereka tersenyum dingin. "Kami hanya menjalankan perintah.”


Roni yang melihat semuanya dari kejauhan, mengepalkan tangannya.


***


Berita tentang ancaman terhadap warga kampung nelayan mulai menyebar. Berkat rekaman dan foto-foto yang sudah disebarkan sebelumnya, beberapa aktivis lingkungan dan jurnalis independen mulai menaruh perhatian.


Sebuah media lokal mengirimkan seorang jurnalis, Farah, untuk datang langsung dan meliput kejadian di lapangan.


"Saya ingin mendengar langsung dari kalian. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Farah.


Pak Umar menceritakan semuanya. Dari awal proyek pagar laut yang dianggap sebagai solusi abrasi, hingga dugaan bahwa proyek ini hanyalah kedok untuk mengambil alih wilayah laut mereka demi kepentingan investor besar.


Farah mencatat setiap detail. "Saya akan coba publikasikan ini di media nasional,” gumamnya.


***


Keesokan harinya, sebuah alat berat berdiri di tepi pantai, bersama puluhan aparat keamanan dan beberapa pekerja proyek.


Pak Umar, Roni, Hasan, dan warga lainnya bergegas ke lokasi.


Seorang pria berseragam maju ke depan. "Kami datang untuk melanjutkan proyek. Silakan minggir."


"Tidak!" teriak Roni.


Semua warga berkumpul menggenggam spanduk dan bendera kain bertuliskan: Laut Bukan Milik Investor!


Namun, Dani bertindak gegabah.


“Kalian pikir kami ini apa? Binatang yang bisa kalian usir seenaknya?” bentaknya sambil melemparkan segenggam pasir ke arah aparat.


Tindakan itu memicu keributan. Beberapa aparat yang lain langsung maju, mencengkeram tangan Dani dan menjatuhkannya ke pasir.


“Lepaskan dia!” teriak seorang ibu sambil menangis.


Namun, mereka tidak peduli. Jeritan terdengar di mana-mana saat beberapa aparat mulai mendorong warga. Sementara di sisi lain, pekerja proyek mulai menurunkan material bambu untuk pagar laut.


Pak Umar berteriak dengan suara lantang, “Semua duduk di tanah!”


Para warga menuruti instruksinya. Mereka duduk bersila di atas pasir, membentuk barisan panjang.


“Kami tidak akan bergerak! Jika kalian ingin membangun pagar ini, kalian harus melakukannya di atas tubuh kami!”


Komandan keamanan tampak kesal. Ia berbicara dengan seseorang melalui radio, lalu memberi isyarat kepada anak buahnya.


“Bubarkan mereka!”


Seluruh kejadian itu, disiarkan langsung oleh seorang aktivis yang datang bersama jurnalis Farah.


Video itu menarik perhatian warganet. Dalam hitungan menit, ribuan orang menonton, berkomentar, dan membagikan rekaman tersebut.


***


Pak Wira, pejabat dari tingkat provinsi, dengan langkah santai, mendekati warga. Ia adalah orang yang selama ini disebut-sebut sebagai dalang di balik proyek pagar laut ini.


“Kami datang untuk berdiskusi,” katanya.


“Kalau begitu, batalkan proyek ini,” jawab Pak Umar.


Pak Wira tertawa kecil. “Tidak bisa begitu, Pak Umar. Ini untuk kepentingan bersama. Pagar laut ini akan melindungi pantai dari abrasi.”


Di belakangnya, Farah baru saja menerima pesan dari sumber anonim. Sebuah dokumen dikirimkan—berisi rencana detail proyek yang menunjukkan bahwa di balik pagar laut itu, sudah ada investor yang siap membangun resort mewah di sepanjang pesisir. Ia segera berbisik kepada rekannya, “Kita punya bukti kalau proyek ini bukan untuk mencegah abrasi, tapi untuk kepentingan bisnis!”


Dengan segera, ia menyebarkan dokumen itu ke berbagai media. Dalam hitungan jam, berita tentang proyek pagar laut viral di media sosial.


"Pagar Laut atau Bisnis Pribadi? Warga Nelayan Kehilangan Akses demi Investor!"


Judul-judul serupa bermunculan di berbagai platform. Video bentrokan yang terjadi sehari sebelumnya juga semakin menyulut amarah publik.


Pak Wira mulai panik. Telepon genggamnya terus berdering.


"Pak Umar, sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik,” katanya.


Pak Umar menatapnya tajam. "Baik-baik? Dari dulu kalian tidak pernah mendengar kami.”


Seorang jurnalis lain, Aditya, maju ke depan sambil memegang mikrofon. "Pak Wira, bisa Anda jelaskan soal dokumen ini?" tanyanya, menyodorkan layar ponselnya yang menampilkan skema proyek resort yang akan dibangun setelah pagar laut selesai.


Wajah Pak Wira memucat. "Itu … itu tidak benar. Jangan percaya informasi hoaks!"


Namun, sebelum ia bisa melanjutkan, seorang warga dari barisan depan berteriak, "Jangan bohong! Kami sudah melihat orang-orang asing datang ke desa, mengukur tanah, membicarakan investasi. Kalian kira kami tidak tahu?"


Pak Wira semakin terpojok.


Saat itulah mobil polisi mendekat. Beberapa pejabat dari kota turun, bersama seorang pria tua yang dikenal sebagai Wakil Bupati.


Ia melangkah maju, menatap Pak Wira dengan tajam. "Saya baru saja menerima laporan tentang proyek ini, dan saya ingin mendengar langsung dari warga. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"


Di hadapan para pejabat, warga dengan lantang menjelaskan semua penderitaan yang mereka alami.


"Dulu, kami bisa melaut kapan saja," kata Hasan. "Sekarang, kami harus mencari celah di antara pagar bambu yang kalian bangun. Kalian bilang ini untuk melindungi pantai, tapi kenyataannya kalian justru mengusir kami!"


Pak Umar menambahkan, "Kalian ingin bicara soal abrasi? Kami punya solusi lain! Penanaman mangrove! Itu jauh lebih alami dan tidak merampas hak kami!"


Farah maju dan menyerahkan dokumen digital yang ia dapatkan. "Kami sudah menelusuri jejak proyek ini, Pak. Ada indikasi korupsi dan penyalahgunaan lahan."


Pak Wira menegang. "Pak, ini hanya tuduhan tak berdasar—"


"Saya yang akan menentukannya," potong Wakil Bupati. "Kalau terbukti ada penyalahgunaan lahan, proyek ini harus dihentikan!"


***


Seminggu setelah kedatangan Wakil Bupati, Pak Umar dan beberapa perwakilan warga dipanggil ke kantor kecamatan untuk rapat terbuka bersama pejabat pemerintah dan investor. Jurnalis juga diizinkan hadir, menandakan bahwa kasus ini sudah terlalu besar untuk disembunyikan.


“Bapak-bapak sekalian,” Wakil Bupati membuka rapat dengan suara tegas. “Hari ini, kita akan mendengar langsung dari warga tentang dampak proyek ini dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak.”


Pak Wira duduk di ujung meja. Di sampingnya, ada seorang pria berjas hitam, seorang pengacara dari pihak investor.


Pak Umar berdiri, tangannya menggenggam selembar kertas yang sudah kusut karena terlalu sering diremas. “Sejak proyek ini dimulai, nelayan kehilangan akses ke laut. Mata pencaharian kami terganggu, anak-anak kami kekurangan makan, dan kalian bilang ini demi kebaikan?”


Seorang pejabat kecamatan mencoba menyela, tetapi Hasan berdiri dan berseru, “Kami bukan orang bodoh! Kami tahu ada yang bermain di belakang proyek ini! Pagar laut ini hanya alasan untuk mengambil tanah kami!”


Sorakan dari warga yang hadir menggema di ruangan itu.


Pengacara investor, pria berjas hitam itu, akhirnya angkat bicara. “Kami memahami keresahan warga. Namun, proyek ini dirancang dengan tujuan yang baik. Jika ada kesalahpahaman, mari kita bahas bersama.”


Farah, yang duduk di belakang bersama para jurnalis, tiba-tiba berdiri dan mengangkat ponselnya. “Kesalahpahaman? Kami sudah memiliki bukti bahwa tanah di sekitar pantai ini sedang ditawarkan kepada investor asing untuk resort mewah. Kalian pikir kami tidak tahu?”


Ruangan menjadi riuh.


Wakil Bupati menghela napas. “Saya sudah melihat dokumen itu, proyek ini tidak bisa dilanjutkan.”


Pak Wira membanting tangannya ke meja. “Pak! Ini proyek strategis! Jika dihentikan, kita kehilangan investasi besar!”


“Lebih penting kepercayaan rakyat, daripada investasi itu!” balas Wakil Bupati.


Seminggu kemudian, keputusan resmi dikeluarkan: proyek pagar laut dihentikan!