Terletak di pinggiran pantai Tangerang, terdapat sebuah desa kecil, yang
kerap disebut Bojong Rawa. Pantai itu dihiasi pasir putih dan deburan ombak
yang dapat menenangkan siapapun yang mendengarnya dan karena itulah pantai ini
menjadi tempat yang damai, jauh dari keramaian kota besar. Namun, ketenangan
itu mulai terganggu dengan munculnya berita besar tentang “Pagar laut” yang
mengundang perhatian banyak pihak.
Azo, seorang wanita muda yang bekerja sebagai jurnalis, mendapat tugas
untuk meliput berita tersebut. Ia baru saja dipindahkan dari Jakarta ke
Tangerang, dan tugas pertama yang diberikan Pak Yudi kepadanya adalah meliput
kontroversi seputar kawasan pesisir yang dipenuhi dengan klaim sengketa tanah.
Perhatian Azo mulai tertarik dengan adanya sebuah proyek besar yang dikenal
dengan nama “Pagar Laut.” Pagar ini bukan sekadar pemagaran yang biasa
dilakukan warga setempat, tetapi sebuah proyek besar yang melibatkan banyak
pihak, termasuk perusahaan besar yang diduga memiliki hubungan dengan
konglomerat ternama, Sugianto Kusuma, atau dikenal dengan nama Aguan.
Azo merasa ada yang tidak beres dengan proyek ini, dan dia pun memutuskan
untuk menggali lebih dalam informasi tentang kontroversi sengketa tanah ini.
Keesokan harinya Ia bertemu dengan Nalar, seorang pemuda yang bekerja di salah
satu lembaga hukum lokal, dan meminta bantuan kepada Nalar untuk menemaninya
mengungkapkan kebenaran apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut
tersebut.
“Ini lebih dari sekadar proyek properti,” kata Nalar ketika mereka bertemu
di sebuah kedai kopi kecil. “Ada banyak hal-hal besar yang dipertaruhkan di sini.
Kami menaruh curiga ada mafia tanah yang terlibat dalam proyek ini. Banyak
orang yang merasa tanah mereka diambil secara paksa, tapi tidak ada yang berani
melawan.”
Azo menatap Nalar dengan serius, perasaan rasa khawatir dan ingin tahu
mulai menjalar ke pikirannya. "Aku akan ikut membantu kamu, Nalar.
Aku juga harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut ini."
Seiring berjalannya waktu, semenjak itu pula Azo dan Nalar semakin dekat.
Mereka menghabiskan banyak waktu bersama,dimulai dari menggali informasi, saat
bertemu dengan warga setempat, dan mencari tahu lebih banyak tentang perusahaan
yang memiliki hak atas tanah di pesisir pantai itu. Meski mereka tidak pernah
mengungkapkan perasaan mereka, kedekatan itu mulai berubah menjadi sesuatu yang
lebih dalam. Azo merasa nyaman dengan Nalar, dan Nalar pun merasakan hal yang
sama. Ada semacam ketertarikan yang hanya bisa dirasakan dan tak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Namun, sebuah kejadian tak terduga membuat semuanya berubah. Suatu malam, Azo
menerima pesan misterius yang berasal dari nomor yang tidak ia kenal. Pesan itu
singkat hanya berisikan alamat sebuah rumah di daerah terpencil dekat pantai,
serta sebuah peringatan singkat: “Jangan percaya dengan siapa pun. Kamu sedang
dipantau.”
Setelah membaca pesan tersebut Azo merasa cemas. Ia menghubungi Nalar dan
meminta tolong untuk menemaninya pergi ke rumah tersebut. Sepanjang perjalanan,
perasaan cemas semakin menguasai hati Azo. Sering kali, Nalar melihat Azo
menautkan tangannya dengan resah. Hal itu membuat Nalar merasa empati. Sambil
menyetir, ia mengelus tangan Azo yang berkeringat dengan lembut. Sesampainya di
lokasi, mereka melihat sebuah rumah tua yang tampak tak terawat namun kokoh.
Azo memberanikan diri untuk mengetuk pintu, tanpa menunggu lama pintu pun
terbuka, terlihat seorang pria tua dengan wajah yang tegas.
“Ada apa?” tanya pria itu, matanya tajam dan penuh tanda tanya.
“Kami kemari karena ada nomor yang tak dikenal mengirimkan saya alamat
rumah ini, pak,” jawab Azo datar, berusaha untuk menenangkan dirinya
dengan raut wajah yang lebih bersahabat pria tua itu menjawab. “Oh kamu,
kamu yang ingin mencari kebenaran, iya?” tanya
Azo kaget, dan berusaha untuk tersenyum.“Bagaimana bapak
mengetahuinya?”tanya Azo hati-hati. Pria tua itu hanya tersenyum “Benar bukan?”
tanpa pikir panjang Azo menjawab. “Benar, kami datang kemari karena ingin tahu
kebenaran apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut itu.”
Pria tua itu menganggukkan kepalanya dan mengundang mereka masuk. Di dalam
rumah, ia menunjukkan sebuah peta besar yang menggambarkan kawasan pesisir yang
dibangun pagar laut. "Ini bukan hanya soal proyek properti, anak muda. Ini
tentang pengambilalihan wilayah yang sangat penting. Pagar laut itu bukan hanya
pemagaran biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di
baliknya," kata pria itu, suaranya berat dan penuh peringatan.
Azo semakin dibuat bingung,apa yang sebenarnya pria tua ini bicarakan,
namun sebelum ia bisa bertanya lebih banyak, pria itu melanjutkan, “Perusahaan
yang terlibat dalam proyek ini bukan hanya milik Aguan. Ada orang lain yang
berkuasa dan lebih kuat di belakangnya—orang yang ingin menguasai tanah ini
untuk tujuan yang jauh lebih besar jika dibandingkan oleh Aguan.”
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar rumah. Mereka bertiga
terkejut. Pria tua itu segera mengunci pintu depan dan memberikan kepada Azo
Sebuah dokumen penting. “Bawa ini. Saya yakin ini akan menjawab apa yang kau
pertanyakan selama ini dan mengungkap semuanya,” katanya. “Tapi hati-hati, ada
mata-mata yang mengawasi di setiap langkahmu.”
Azo dan Nalar keluar dari rumah itu lewat pintu belakang dengan langkah
tergesa-gesa. Ketika mereka tiba di pangkalan ojek untuk melanjutkan jalan ke
arah mobil, tiba-tiba Azo merasa cemas dan bingung. "Apa yang pria tua itu
maksud, Nalar? Mengapa ia tahu kita sedang diawasi? Jadi siapa yang bisa kita
percayai? Apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini?"
Nalar menatap Azo dengan serius. Haruskah aku memberitahu Azo sekarang? Di
situasi seperti ini?. Nalar menghela nafas berat. “Aku ingin kamu tahu sesuatu,
Azo. Aku bukan hanya seorang pegawai hukum biasa. Aku terlibat dalam perkara
ini lebih dalam dari yang kamu bayangkan.”
Azo memandang Nalar dengan raut wajah bingung. “Apa maksudmu?”
Nalar menarik napas dalam-dalam. “Aku adalah bagian dari kelompok yang
berjuang untuk menghentikan proyek ini. Aku bekerja dengan orang-orang yang
berusaha untuk melindungi tanah ini dari pengambilalihan ilegal. Dan aku juga…
aku juga sudah lama jatuh cinta padamu, Azo.”
Azo terdiam. Apa yang baru saja ia dengar begitu, entahlah ia pun susah
untuk menjelaskannya. Selama ini, ia tidak pernah tahu bahwa Nalar memiliki
perasaan yang sama padanya. Ia hanya menganggap perasaannya akan bertepuk
sebelah tangan karena ia rasa semua waktu yang mereka habiskan bersama, semua
perasaan yang mulai tumbuh, tiba-tiba terasa begitu rumit.
Namun, perasaan bingung itu segera digantikan oleh rasa takut. Mereka
tiba-tiba diserang oleh sekelompok orang yang datang dengan mobil hitam. Dalam
kekacauan itu, Nalar menyuruh Azo untuk berlari dan bersembunyi. Mereka pun
terpisah. Azo berlari, bersembunyi di sebuah rumah kayu yang tak terawat dan
gelap, sementara Nalar yang tak berpikir secara jangka panjang, ia melawan para
penyerang.
Ketika Azo akhirnya berhasil keluar dari tempat persembunyiannya, ia
menemukan Dimas terluka parah. Ia segera membawanya ke rumah sakit, tetapi
dalam perjalanan, Nalar mengungkapkan hal yang lagi-lagi membuat kepalanya
pusing.
“Ada hal besar yang selama ini aku sembunyikan dari kamu, Azo. Aku bukan
hanya bagian dari kelompok yang menentang proyek ini. Aku… aku adalah anak dari
Aguan.”
Azo terdiam. Ini adalah kenyataan yang sangat sulit diterima. Nalar, yang
selama ini ia percayai, ternyata memiliki hubungan dengan orang yang sangat
terlibat dalam proyek pagar laut yang penuh kontroversi itu.
“Nalar, kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?” tanya Azo dengan suara
bergetar.
Nalar menghela napas. “Karena aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku hanya
memanfaatkanmu untuk tujuan pribadi. Aku mencintaimu, Azo. Aku tidak ingin kamu
terjebak dalam konflik ini. Aku memilih untuk melawan ayahku demi melindungi
perairan ini, demi melindungimu.”
Dengan penuh kebingungan, Azo berusaha untuk memahami semua yang telah terjadi.
Ia harus memutuskan apakah akan mempercayai Nalar dan perjuangannya, atau
memilih meninggalkan Nalar karena tahu ia anak dari Aguan dan melupakan apa
yang akhir-akhir ini terjadi pada hidupnya.
Setelah lama berpikir, Azo memutuskan untuk tetap mendampingi Nalar,
meskipun jalan yang mereka hadapi penuh dengan risiko. Pagar laut yang dulunya
tampak seperti pemisah kini menjadi simbol dari perjuangan mereka, dan hari ini
perjuangan mereka terbayarkan karena Pagar laut telah dibongkar oleh TNI
Angkatan Laut (AL) sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto.