Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Fatimah | Laut yang Terperangkap


Terletak di pinggiran pantai Tangerang, terdapat sebuah desa kecil, yang kerap disebut Bojong Rawa. Pantai itu dihiasi pasir putih dan deburan ombak yang dapat menenangkan siapapun yang mendengarnya dan karena itulah pantai ini menjadi tempat yang damai, jauh dari keramaian kota besar. Namun, ketenangan itu mulai terganggu dengan munculnya berita besar tentang “Pagar laut” yang mengundang perhatian banyak pihak.

Azo, seorang wanita muda yang bekerja sebagai jurnalis, mendapat tugas untuk meliput berita tersebut. Ia baru saja dipindahkan dari Jakarta ke Tangerang, dan tugas pertama yang diberikan Pak Yudi kepadanya adalah meliput kontroversi seputar kawasan pesisir yang dipenuhi dengan klaim sengketa tanah. Perhatian Azo mulai tertarik dengan adanya sebuah proyek besar yang dikenal dengan nama “Pagar Laut.” Pagar ini bukan sekadar pemagaran yang biasa dilakukan warga setempat, tetapi sebuah proyek besar yang melibatkan banyak pihak, termasuk perusahaan besar yang diduga memiliki hubungan dengan konglomerat ternama, Sugianto Kusuma, atau dikenal dengan nama Aguan.

Azo merasa ada yang tidak beres dengan proyek ini, dan dia pun memutuskan untuk menggali lebih dalam informasi tentang kontroversi sengketa tanah ini. Keesokan harinya Ia bertemu dengan Nalar, seorang pemuda yang bekerja di salah satu lembaga hukum lokal, dan meminta bantuan kepada Nalar untuk menemaninya mengungkapkan kebenaran apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut tersebut.

“Ini lebih dari sekadar proyek properti,” kata Nalar ketika mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil. “Ada banyak hal-hal besar yang dipertaruhkan di sini. Kami menaruh curiga ada mafia tanah yang terlibat dalam proyek ini. Banyak orang yang merasa tanah mereka diambil secara paksa, tapi tidak ada yang berani melawan.”

Azo menatap Nalar dengan serius, perasaan rasa khawatir dan ingin tahu mulai menjalar ke pikirannya. "Aku akan ikut  membantu kamu, Nalar. Aku juga harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut ini."

Seiring berjalannya waktu, semenjak itu pula Azo dan Nalar semakin dekat. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama,dimulai dari menggali informasi, saat bertemu dengan warga setempat, dan mencari tahu lebih banyak tentang perusahaan yang memiliki hak atas tanah di pesisir pantai itu. Meski mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka, kedekatan itu mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Azo merasa nyaman dengan Nalar, dan Nalar pun merasakan hal yang sama. Ada semacam ketertarikan yang hanya bisa dirasakan dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Namun, sebuah kejadian tak terduga membuat semuanya berubah. Suatu malam, Azo menerima pesan misterius yang berasal dari nomor yang tidak ia kenal. Pesan itu singkat hanya berisikan alamat sebuah rumah di daerah terpencil dekat pantai, serta sebuah peringatan singkat: “Jangan percaya dengan siapa pun. Kamu sedang dipantau.”

Setelah membaca pesan tersebut Azo merasa cemas. Ia menghubungi Nalar dan meminta tolong untuk menemaninya pergi ke rumah tersebut. Sepanjang perjalanan, perasaan cemas semakin menguasai hati Azo. Sering kali, Nalar melihat Azo menautkan tangannya dengan resah. Hal itu membuat Nalar merasa empati. Sambil menyetir, ia mengelus tangan Azo yang berkeringat dengan lembut. Sesampainya di lokasi, mereka melihat sebuah rumah tua yang tampak tak terawat namun kokoh. Azo memberanikan diri untuk mengetuk pintu, tanpa menunggu lama pintu pun terbuka, terlihat seorang pria tua dengan wajah yang tegas.

“Ada apa?” tanya pria itu, matanya tajam dan penuh tanda tanya.

“Kami kemari karena ada nomor yang tak dikenal mengirimkan saya alamat rumah ini, pak,” jawab Azo datar, berusaha untuk menenangkan dirinya

dengan raut wajah yang lebih bersahabat pria tua itu menjawab. “Oh kamu, kamu yang ingin mencari kebenaran, iya?” tanya

Azo kaget, dan berusaha untuk tersenyum.“Bagaimana bapak mengetahuinya?”tanya Azo hati-hati. Pria tua itu hanya tersenyum “Benar bukan?” tanpa pikir panjang Azo menjawab. “Benar, kami datang kemari karena ingin tahu kebenaran apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut itu.”

Pria tua itu menganggukkan kepalanya dan mengundang mereka masuk. Di dalam rumah, ia menunjukkan sebuah peta besar yang menggambarkan kawasan pesisir yang dibangun pagar laut. "Ini bukan hanya soal proyek properti, anak muda. Ini tentang pengambilalihan wilayah yang sangat penting. Pagar laut itu bukan hanya pemagaran biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang tersembunyi di baliknya," kata pria itu, suaranya berat dan penuh peringatan.

Azo semakin dibuat bingung,apa yang sebenarnya pria tua ini bicarakan, namun sebelum ia bisa bertanya lebih banyak, pria itu melanjutkan, “Perusahaan yang terlibat dalam proyek ini bukan hanya milik Aguan. Ada orang lain yang berkuasa dan lebih kuat di belakangnya—orang yang ingin menguasai tanah ini untuk tujuan yang jauh lebih besar jika dibandingkan oleh Aguan.”

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar rumah. Mereka bertiga terkejut. Pria tua itu segera mengunci pintu depan dan memberikan kepada Azo Sebuah dokumen penting. “Bawa ini. Saya yakin ini akan menjawab apa yang kau pertanyakan selama ini dan mengungkap semuanya,” katanya. “Tapi hati-hati, ada mata-mata yang mengawasi di setiap langkahmu.”

Azo dan Nalar keluar dari rumah itu lewat pintu belakang dengan langkah tergesa-gesa. Ketika mereka tiba di pangkalan ojek untuk melanjutkan jalan ke arah mobil, tiba-tiba Azo merasa cemas dan bingung. "Apa yang pria tua itu maksud, Nalar? Mengapa ia tahu kita sedang diawasi? Jadi siapa yang bisa kita percayai? Apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini?"

Nalar menatap Azo dengan serius. Haruskah aku memberitahu Azo sekarang? Di situasi seperti ini?. Nalar menghela nafas berat. “Aku ingin kamu tahu sesuatu, Azo. Aku bukan hanya seorang pegawai hukum biasa. Aku terlibat dalam perkara ini lebih dalam dari yang kamu bayangkan.”

Azo memandang Nalar dengan raut wajah bingung. “Apa maksudmu?”

Nalar menarik napas dalam-dalam. “Aku adalah bagian dari kelompok yang berjuang untuk menghentikan proyek ini. Aku bekerja dengan orang-orang yang berusaha untuk melindungi tanah ini dari pengambilalihan ilegal. Dan aku juga… aku juga sudah lama jatuh cinta padamu, Azo.”

Azo terdiam. Apa yang baru saja ia dengar begitu, entahlah ia pun susah untuk menjelaskannya. Selama ini, ia tidak pernah tahu bahwa Nalar memiliki perasaan yang sama padanya. Ia hanya menganggap perasaannya akan bertepuk sebelah tangan karena ia rasa semua waktu yang mereka habiskan bersama, semua perasaan yang mulai tumbuh, tiba-tiba terasa begitu rumit.

Namun, perasaan bingung itu segera digantikan oleh rasa takut. Mereka tiba-tiba diserang oleh sekelompok orang yang datang dengan mobil hitam. Dalam kekacauan itu, Nalar menyuruh Azo untuk berlari dan bersembunyi. Mereka pun terpisah. Azo berlari, bersembunyi di sebuah rumah kayu yang tak terawat dan gelap, sementara Nalar yang tak berpikir secara jangka panjang, ia melawan para penyerang.

Ketika Azo akhirnya berhasil keluar dari tempat persembunyiannya, ia menemukan Dimas terluka parah. Ia segera membawanya ke rumah sakit, tetapi dalam perjalanan, Nalar mengungkapkan hal yang lagi-lagi membuat kepalanya pusing.

“Ada hal besar yang selama ini aku sembunyikan dari kamu, Azo. Aku bukan hanya bagian dari kelompok yang menentang proyek ini. Aku… aku adalah anak dari Aguan.”

Azo terdiam. Ini adalah kenyataan yang sangat sulit diterima. Nalar, yang selama ini ia percayai, ternyata memiliki hubungan dengan orang yang sangat terlibat dalam proyek pagar laut yang penuh kontroversi itu.

“Nalar, kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?” tanya Azo dengan suara bergetar.

Nalar menghela napas. “Karena aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku hanya memanfaatkanmu untuk tujuan pribadi. Aku mencintaimu, Azo. Aku tidak ingin kamu terjebak dalam konflik ini. Aku memilih untuk melawan ayahku demi melindungi perairan ini, demi melindungimu.”

Dengan penuh kebingungan, Azo berusaha untuk memahami semua yang telah terjadi. Ia harus memutuskan apakah akan mempercayai Nalar dan perjuangannya, atau memilih meninggalkan Nalar karena tahu ia anak dari Aguan dan melupakan apa yang akhir-akhir ini terjadi pada hidupnya.

Setelah lama berpikir, Azo memutuskan untuk tetap mendampingi Nalar, meskipun jalan yang mereka hadapi penuh dengan risiko. Pagar laut yang dulunya tampak seperti pemisah kini menjadi simbol dari perjuangan mereka, dan hari ini perjuangan mereka terbayarkan karena Pagar laut telah dibongkar oleh TNI Angkatan Laut (AL) sesuai perintah Presiden Prabowo Subianto.