Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Fatimah Novi Hanggrahini | Malapetaka Sang Culas

Cerpen Fatimah Novi Hanggrahini



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


"Wah, ayah lihat kapal-kapal itu. Woooww.. .keren banget," jerit seorang anak menunjuk arah laut.


Sang ayah menurunkan lututnya, menatap dua mata polos putra kesayangannya dengan guratan senyum dibibirnya. "Nak, keindahan itu hanyalah semu, tidak semua hal yang kelihatannya baik adalah hal yang baik, semua tergantung bagaimana memulainya."


Dengan wajah polos dan penuh kebingungan sang anak hanya mengangguk sambil menggaruk kepala.


"Baiklah, coba kamu lihat di bukit pesisir timur itu,"lanjut Ayah sambil menunjuk.


"Ada apa ayah?" tanya Anak kebingungan.


"Yuk, kita jalan-jalan ke sana," ajak ayah bergairag.


"Okelah, lets go!" jerit anak penuh semangat. 


***


Sumiyati, warga Desa Pakupada yang bekerja sebagai buruh tambak garam adalah sesosok tulang punggung keluarga. Suaminya telah lama wafat saat pergi melaut, diterjang oleh badai dan ombak besar ketika cuaca memburuk. Meski pandai berenang, namun dirinya kehabisan tenaga menyelami lautan lepas. Hanya tersisa puing kapal yang mengambang, jasadnya pun masih belum ditemukan.


Fajar mulai menyising dan desa itu sudah riuh dengan warganya yang berniaga, melakukan transaksi hasil tangkapan ikan semalam. Tak terkecuali Bowo, putra Sumiyati yang turut membantu perekonomian keluarga. Setiap malam Bowo ikut dengan pamannya mencari ikan, selepas menyerahkan tangkapan ikan pada pengepul, dirinya bersiap pergi ke sekolah. Meski masih duduk dibangku menengah atas, Bowo memiliki kedewasaan yang lebih dari sebayanya, dirinya menyadari beban ibunya sangatlah berat. Sebagai anak bungsu sudah seharusnya turut membantu meringankan beban ibunya yang kian renta.


Siang usai pulang sekolah, Bowo yang mencangklongkan tas pada bahunya sebelah, berjalan beriringan dengan temannya, Pandu.


"Wo, gimana tangkapanmu tadi malam?"


"Yah, gak banyak Ndu." Bowo berjalan sambil menggarukkan kepala.


"Semalam aku ketemu sama bapak-bapak, bawa borongan bambu sekitar lima truk, mau diapain ya?" tanya Pandu menggerutkan alis.


"Kok tanya saya, ya gak tahu noh. Mungkin mau buat rumah atau gazebo," jawab Bowo menebak-nebak.


"Penasaran aku Wo, kok sebanyak itu. Atau mungkin mau dibuat bangunan megah, jadi wisata gitu Wo."


"Ya bisa jadi."


Hari demi hari berlalu, rasa penasaran Pandu dan Bowo akan bambu tersebut mulai menemukan titik terang. Mereka mengamati dari kejauhan nampak segerombol orang membawa bambu ke arah laut sekitar 500 meter dari bibir pantai. Ditancapkan bambu tersebut ke laut berbaris rapi seolah membentuk sebuah benteng.


"Oh, jadi ditaruh situ, mau dibuat apa ya Wo?" tanya Pandu penasaran.


"Kurang tahu sih Ndu, tapi kalau dibuat kayak gitu terus ya kita bakal susah mau jaring ikan. Lokasinya jadi terbatas," jawab Bowo mengerutkan dahinya.


"Wo, rezeki itu sudah ada yang ngatur, gak usah khawatir. Yaudah yuk pulang, mau sore," ucap Panda sambil menepuk bahu Bowo.


 Pandu dan Bowo bergegas pulang dengan berlari kecil beriringan, mengejar kawanan burung yang hendak kembali ke sarang. Angin sepoi-sepoi, pohon kelapa yang berayun, dengan langit berwarna jingga menggoreskan garis khatulistiwa menambah nuansa pesona panorama desa itu. 


Begitu sampai rumah, Bowo membantu ibunya melipat terpal jemuran garam siang tadi lalu mandi menyegarkan kembali tubuhnya dan bersiap ke masjid. Setelah sholat magrib, Bowo menikmati jamuan makan malam yang telah disiapkan ibunya. Nasi hangat dengan telur dadar adalah menu spesial untuknya, karena biasanya hanya berlauk garam atau sisa ikan tangkapan yang tidak laku terjual. 


"Wo, tadi ibu dapat surat ini dari Pak RT, tolong bacakan ya." Minta Ibu kepada Bowo yang bisa membaca.


Bowo pun membaca surat dengan nyaring. Surat tersebut berisi pernyataan persetujuan migrasi penduduk Desa Pakupada dengan kompensasi 10 juta dan gratis bertempat tinggal di rusun satu tahun pertama. 


"Demi Allah, Ibu gak akan menyerahkan tanah ini sejengkalpun kepada mereka," sahut ibu lantang, wajah memerah, guratan otot nampak menonjol di keningnya yang keriput sambil mengepalkan jemarinya. Bagaimana mungkin Sumiyati menyerahkan rumahnya, karena baginya bukan hanya kehilamgan rumah akan tetapi juga mata pencahariaan. Dirinya bersikeras untuk menetap di desa itu.


Siangnya warga berduyun-duyun ke rumah Pak RT untuk memprotes hak mereka. 


"Tenang Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, saya hanya menyampaikan surat dari pemerintah desa," ucap pak RT.


"Tapi kami tidak terima, kompensasi itu tidak sebanding dengan kami yang kehilangan mata pencahariaan!" teriak salah seorang warga dengan lantang.


"Baik Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, saya sebagai RT akan berusaha menengahi permasalahan ini. Besok saya akan berdiskusi dengan pemerintah desa mengenai dana tersebut. Mohon semuanya bersabar dulu," ucap Pak RT menenangkan warga.


Siang hari ditengah cuaca terik, namun terasa sejuk dengan pendingin ruangan. Pak RT, pemerintah desa, dengan orang-orang berdasi dan berjas rapi duduk melingkar mendiskusikan keluhan warga. Mereka sepakat memberi kompensasi dua kali lipat dengan syarat dalam seminggu ini warga harus meninggalkan lokasi karena proyek akan segera dimulai. 


"Tapi pak, gimana ya ngomongnya... keamanan saya siapa yang menjamin Pak? saya pasti akam diamuk warga," keluh Pak RT.


"Tenang Pak RT. Pak RT bisa pindah dahulu seolah memberi contoh dengan mereka," jelas pria berdasi.


"Ya uang saya pas-pasan Pak kalau buat pindah sekarang," ucap Pak RT.


"500 juta cukup Pak?" ujar Pria berdasi sambil mengedipkan matanya.


Suara terdengar sunyi, hanya bibir yang tampak menyeringai dan anggukan perlahan disusul jabatan tangan antar dua orang tersebut.


Hari demi hari berlalu, para warga mulai meninggalkan rumahnya. Namun Sumiyati dan anaknya, Bowo tetap bersikeras tak mau meninggalkan kediamannya. Hingga ekskavator pun mulai berdatangan, satu per satu rumah dirobohkan. Sekuat tenaga Sumiyati berdiri seakan menantang aparat. Namun apalah daya, tubuhnya yang renta tak sekuat aparat yang berbadan bugar. Sumiyati berteriak dengan air matanya yang mulai kering sembari memeluk Bowo melihat rumahnya dirobohkan.


"Nak, ibu bersumpah, suatu saat kau akan jadi orang berpendidikan tinggi yang mampu menyingkirkan ego penguasa bengis," bisik Sumiyati kepada Bowo dengan suara bergetar.


Sumiyati kini tinggal di rumah rusun, sembari berjualan makanan ringan dengan modal seadanya. Uang kompensasi sebagian besar ia tabung untuk pendidikan Bowo. 


Sepuluh tahun berlalu. Bowo kini telah tumbuh dewasa, lulus sarjana hukum dan bekerja sebagai staff Komisi Pemberantas Korupsi. Dirinya memiliki keinginan yang kuat untuk menelusuri rekam jejak proyek bedebah pagar laut yang merenggut ribuan hak warga. Dikabarkam mega proyek tersebut telah menghabiskan puluhan triliun anggaran negara. Bambu-Bambu yang ditanam kala itu dijadikan sebuah jembatan megah serta tempat bermuara kapal elite. Pesisir pantai dibangun gedung-gedung tinggi sebagai tempat penginapan. Akan tetapi, hanyalah orang berduit yang mampu menyewa dan menikmati panorama. 


Bowo tampak teliti dan berhati-hati melakukan crosscheck keuangan proyek tersebut. Benar saja dirinya menemukan banyak kejanggalan termasuk kompensasi yang diberikan warga tidak sesuai fakta. Satu per satu mulai terkuak, banyak pejabat yang terseret dalam skandal ini, tak terkecuali kepala desa dan ketua RT-nya sendiri. 


Sesekali Bowo mengajak putranya masuk dalam gerbang penguasa elite. Anaknya yang masih berusia tiga tahun terkagum-kagum dengan keindahannya. Hingga akhirnya Bowo sadarkan bahwa keindahan tersebut hanyalah pemandangan semu yang mengorbankan keringat dan air mata banyak insan demi memenuhi ambisi sang culas. Masyarakat lokal hanyalah menjadi penonton pesta-pesta diorama para penggila dunia.


Tak berselang lama, terjadilah musibah besar di kawasan tersebut. Langit gelap gulita, ombak menggulung tinggi dengan badai dan petir bersahutan. Suasana sangat mencekam, orang-orang berlarian tanpa tahu arah dan tujuan. Hingga beberapa saat kemudian, ombak tersebut menghantam gedung-gedung tinggi dan roboh seketika. 


Betapa terkejutnya Bowo melihat berita itu di televisi sembari memeluk anaknya.


“Mungkin itulah doa-doa orang terdzolimi yang selama ini telah bersabar, hingga akhirnya Tuhanlah yang membalas kecongakan hati para bedebah negeri.” Suara Sumiyati memecah keheningan malam itu .