Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Fauzan Murtadho | Pagar Laut Konglomerat

Cerpen  Fauzan Murtadho



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Malam ini, aku hanya bisa menatap langit yang penuh dengan bintang di depan gubuk yang aku sebut rumah. Berbaring di atas rerumputan sambil berangan-angan bahwa akan ada perubahan besar yang terjadi pada hidupku. Memiliki rumah mewah. Pekerjaan yang nyaman. Uang yang banyak. Ya, kira-kira begitu. Seperti orang-orang kaya pada umumnya. Menjalani hidup sebagai nelayan bukanlah hal yang mudah. Aku harus pergi ke laut untuk bertaruh nyawa. Apalagi, hasil yang aku dapat tidak seberapa.


Aku memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Berharap, angan-angan itu akan terbang kepada Tuhan dan menjadi kenyataan. Saat aku membuka mata, terlihat dua sosok berdiri tepat di hadapanku. Tubuh mereka kekar dan tinggi. Salah satunya berkumis tebal seperti pagar, satunya lagi botak. Mata mereka menatap ke arahku yang masih terbaring.


“Kamu mau ikut kami bekerja?” ujar pria yang berkumis. Suaranya dalam dan tegas.


Aku berdiri, merapikan pakaian, dan membersikan rerumputan yang menempel di punggungku. Aku menatap mereka dengan penuh keraguan. Tapi, mereka nampak serius.


“Memang kerja apa?” tanyaku kepada mereka.


“Hanya hal mudah. Menancapkan bambu ke laut,” jawab pria botak. Suaranya datar.


Namun, menunjukkan ketegasan.


“Menancapkan bambu? Di mana tempatnya?” tanyaku lagi, masih belum mengerti. “Dekat dermaga. Di sekitar sini,” jawab pria berkumis.


Aku terdiam sejenak. Menancapkan bambu ke laut. Apa maksudnya? Tapi, sepertinya tidak ada yang sulit dengan pekerjaan itu. Aku menatap mereka bergantian. Bagaimana kalau ini jebakan? Atau hanya cara mereka mencari korban? Namun, hati kecilku yang lelah dan resah mulai memikirkan uang yang akan didapatkan.


“Apa ada upahnya?” tanyaku, sambil mengernyitkan dahi.


Pria botak itu tersenyum tipis, lalu berkata, “Seratus ribu per hari.”


Angka itu membuatku terkejut. Seratus ribu? Itu lebih besar dari hasil tangkapanku selama dua hari. Aku masih merasa ragu. Namun, keinginanku berubah menjadi lebih besar daripada keraguanku. Tapi, masih ada pertanyaan yang harus aku tanyakan.


“Berapa lama pekerjaan ini berlangsung?” tanyaku, berharap ada kepastian.

 

“Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama,” jawab pria berkumis.


Suaranya berat dan meyakinkan.


“Jika kamu bersedia, kami akan memasukkan namamu ke dalam daftar pekerja. Ada sekitar empat puluh lima orang yang siap bekerja di kampung ini.”


Aku menatap laut yang gelap dari kejauhan. Berpikir sejenak. Semua pekerjaanku sebagai nelayan hanya bergantung pada musim, cuaca, dan hasil tangkapan. Ini lebih pasti, dan tidak butuh modal.


“Baiklah” suara itu dengan lantang terucap dari mulutku. “Aku ikut bekerja. Kapan dimulainya?”


“Sekitar satu minggu dari sekarang,” jawab pria botak sambil tersenyum lebar.


Aku mengangguk dan kami pun bersalaman. Setelah itu mereka pergi, meninggalkanku pada malam itu.


***


Hari terus berganti seiring berjalannya waktu. Aku masih menunggu kabar dari orang- orang yang waktu itu mendatangiku. Mengajak aku untuk bekerja. Bukan hal yang sulit. Hanya menancapkan bambu ke laut. Diupahi seratus ribu. Lumayan.


Tapi, untuk apa bambu-bambu itu ditancapkan ke laut? Apakah mereka mau budi daya kerang hijau? Entahlah, yang penting kehidupanku membaik setelah bekerja sama dengan mereka.


***


Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku berbaring di halaman rumah sambil berandai-andai. Tapi, malam ini berbeda. Suara keramaian terdengar dari jauh. Orang- orang pergi ke arah dermaga.


“Ada apa, Pak?” tanyaku kepada salah seorang yang lewat.


“Katanya sih, warga yang diajak kerja diminta datang ke dermaga,” jawabnya sambil terus berjalan.


Aku langsung bergegas. Mengikuti arus orang-orang yang pergi ke sana. Langkahku terasa ringan. Ada kegembiraan yang tumbuh di dadaku.


“Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu datang juga,”gumamku dalam hati. Sesampainya di dermaga, suasana sudah ramai. Banyak orang yang sudah berkumpul, menunggu, seperti aku yang baru datang. Kami menunggu sebentar, hingga beberapa truk besar membawa bambu-bambu besar.

 

Ada satu unit mobil komando yang parkir di tengah kerumunan. Dari dalam mobil itu, suara lantang terdengar, memberi perintah. “Silakan mulai bekerja!” suaranya menggema ke udara.


Kami semua bergerak, mengambil bambu, dan membawanya ke tengah laut, dan mulai menancapkannya. Pekerjaan yang sangat sederhana. Hatiku masih menimbun pertanyaan. Tapi, aku tidak berani untuk mengatakannya.


Kami bekerja hampir tiga jam, tanpa henti. Bambu-bambu itu sudah terpasang di tengah laut. Membentang panjang. Pekerjaan hari ini selesai. Kami pulang membawa uang seratus ribu yang pernah dijanjikan.


Hatiku berbunga-bunga. Cukup bekerja beberapa jam, sudah dapat uang seratus ribu. Tidak perlu lagi panas-panasan di laut, atau memikirkan solar untuk perahu. Ah, senangnya!


“Jangan lupa. Besok datang lagi ke sini!” suara pria berkumis itu mengingatkan kami “Siap!” jawab kami serempak. Suara semangat itu bergema.


***


Pagi harinya, aku terbangun dengan perasaan campur aduk. Aku merasa senang karena mendapatkan uang. Tapi, ada rasa tidak nyaman yang menyelimuti pikiranku. Aku belum tahu untuk apa bambu-bambu itu dipasang. Namun, perasaan itu bukanlah apa-apa. Dibandingkan kesenanganku mendapatkan uang seratus ribu.


Hari ini aku tidak berniat untuk mencari ikan. Toh, nanti malam juga pasti dapat uang.


Jadi, aku akan tidur saja. Menunggu waktu malam tiba.


***


Sudah enam bulan berlalu. Setiap malam, orang-orang pergi ke arah dermaga, termasuk aku. Ada pertanyaan yang masih mengganjal dalam benakku. Jadi, aku beranikan diri untuk bertanya kepada seseorang yang berada di sampingku.


“Hei, kira-kira bambu-bambu itu buat apa, ya?” tanyaku dengan wajah yang masih bingung.


“Yang pernah aku dengar sih, katanya buat pagar laut,” jawab pria yang berada di sekitarku. Wajahnya meyakinkan.


“Pagar laut? Laut dipagar?” aku menatapnya, dengan air muka yang masih bingung. “Sepertinya akan dilakukan pengurugan,” sahut seseorang yang berada di sekitarku.


Situasi mulai berubah. Dalam perjalanan menuju dermaga, semua orang mulai kisruh membicarakan pagar laut. Di antara kerumunan yang hendak pergi ke dermaga, ada yang mengeluh karena akses ke laut tertutup oleh proyek ini. Sejak bekerja untuk memasang bambu di laut, aku tidak pernah lagi mencari ikan di laut. Jadi, aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.


“Apa selama kalian kerja tidak tahu proyek ini untuk apa?” tanya seseorang yang lain. “Memang kamu tahu?” tanyaku balik.


“Tentu saja. Ini kan untuk proyek reklamasi konglomerat terkenal,” jawabnya dengan penuh keyakinan.


“Berarti, area yang kita tancapi bambu itu akan menjadi tanahnya si konglomerat itu?” tanya seseorang yang mendengarkan perbincangan ini.


“Sudah pasti. Dia pasti memiliki surat tanahnya.”


“Tapi, laut itu tidak bisa menjadi milik siapapun. Bisa kena pidana.”


“Kalau yang melakukan itu adalah konglomerat, hukum bukanlah sesuatu yang mengerikan.”


“Di negeri ini, Tuhan saja tidak ditakuti, apa lagi sesama manusia?”


Hatiku terketuk. Tidak seharusnya aku mengabaikan hal sebesar ini terjadi di kampungku. Apalagi, saudara-saudara kami banyak yang berporfesi sebagai nelayan.


Semakin panjang pembahasan tentang pagar laut itu sampai melebar ke mana-mana. Sampai-sampai tidak terasa kami sudah sampai di dermaga. Seperti biasa, orang yang berkumis dan yang botak itu berdiri menunggu kedatangan kami untuk bekerja. Mobil truk yang membawa bambu juga sudah terparkir di sana. Namun, sejenak kerumunan kami terdiam.


Suara dari mobil komando berbunyi seperti sebelum-sebelumnya, “Ayo! Mulai bekerja!” setelah apa yang sudah terjadi selama perjalanan menuju ke sini, sepertinya kami semua berubah pikiran. Kami nelayan. Kami sayang laut di daerah ini. Tidak ada yang boleh merebutnya dari tangan kami.


Kemudian, seseorang dari kerumunan kami maju dan berteriak sangat lantang. Ia adalah jawa di kampung kami. Namanya Mang Samsul.


“Kawan-kawan! Kita tidak boleh tinggal diam. Ada laut yang harus kita pertahankan.


Kita adalah nelayan. Laut adalah dapur kita. Ayo kita cabuti bambu-bambu itu!”


Semua orang bergumam, membenarkan perkataan dari Mang Samsul. Dan kami pun berteriak

“Ayo!” suara kami menggema di langit gelap.


Mendengar itu, pria berkumis dan pria botak itu menghalangi pergerakan kami beserta kawan-kawannya. Kemudian terjadi bentrok antara kami dan orang-orang dari konglomerat itu. Namun, kami terus menerobos mereka. Mereka kepayahan, hingga akhirnya terjatuh.

 

Tangan mereka menyiku melinduni area wajah dan kepala. Kami berenang ke laut tanpa membawa bambu.


Satu per satu bambu yang sudah sekian banyaknya terpasang di laut dicabut. Aku atau mungkin seluruh warga di kampung ini menyesal, karena sudah menyusahkan nelayan lainnya. Malam itu pun berubah menjadi perlawanan kami untuk membebaskan laut dari si konglomerat.