Cerpen Fiorenza Savaira
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di suatu pantai terdapat sebuah desa nelayan, hiduplah seorang wanita paruh baya bernama keena yang sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang, duduk di atas batu karang dan menghadap laut sudah menjadi makanannya sehari hari. Setiap senja, ia selalu datang ke tempat itu, entah untuk mengagumi senja favoritnya atau hanya sekadar menatap ombak yang terus bergulung seolah membawa pesan dari masa lalu yang selalu ditunggunya. Angin laut menyapa rambutnya yang kian memutih, menyelimutinya dengan kenangan yang tak pernah pudar.
Namun, belakangan ini laut tak lagi sama seperti dulu. Sejak sekelompok orang berkuasa dan tak bertanggung jawab memasang pagar besar di sepanjang laut, para nelayan tak lagi bebas mencari ikan sebagai sumber mata pencaharian nya.Mereka dipaksa membayar biaya yang tak masuk akal hanya untuk menangkap ikan di laut yang seharusnya milik mereka bersama. Ketidakadilan ini membuat banyak keluarga nelayan kelaparan, Kesejahteraan mereka dirampas, sementara pemilik modal semakin kaya dengan mengendalikan laut seolah itu milik mereka pribadi.
Keena mulai mengenang masa lalu, saat laut adalah sumber kehidupan yang adil bagi semua orang. Namun kini, anak-anak disekitar pantai tumbuh tanpa masa depan yang jelas karena penghasilan ayah mereka semakin terbatas setiap harinya. Ia sering mendengar keluhan para nelayan yang pulang dengan tangan kosong karena batas pagar yang tak bisa mereka lewati. Beberapa yang berani melanggar aturan ditangkap atau bahkan menghilang tanpa jejak entah dibawa kemana atau akan diapakan.
Di antara semua kepedihan itu, Keena tetap dan selalu setia menunggu seseorang. Al, kekasihnya, seorang pelaut muda yang berjanji akan kembali padanya setelah perjalanannya ke negeri china. Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun pun terus berlalu dan janji itu tak pernah terpenuhi sampai kini. Laut tetap membawa kapal-kapal lain untuk kembali ke tempat seharusnya mereka pulang, tetapi tak satu pun yang membawa pulang Al, kekasih Keena. Setiap ombak yang pecah di pinggir pantai seakan berbisik padanya, mengingatkannya pada janji yang pernah diucapkan Al.
Suatu malam, saat bulan sabit menggantung di langit dan laut menampakan kemilau dengan indahnya, Keena melihat sesuatu di kejauhan. Sebuah kapal tua yang sudah hampir reyot berlayar mendekati pantai tempatnya berada. Ombaknya tenang, seolah mendukung kapal itu menuju tempat pulang yang seharusnya. Jantung Keena berdegup sangat kencang kala itu, tangannya gemetar saat ia bangkit dari duduknya diatas batu karang, Matanya menyipit, mempertajam matanya agar sesuatu itu terlihat lebih jelas, sambil ia menahan harap nya selama ini. Ia tidak tahu apakah ini realita atau hanya sekedar ilusi yang diciptakan pikirannya yang sudah lelah menunggu.
Saat kapal semakin dekat, seorang pria paruh baya turun. Rambutnya mulai memutih, wajahnya hampir dipenuhi garis usia, namun matanya… masih sama seperti yang keena kenal. Mata yang dulu menatapnya dengan penuh janji dan cinta.
"Keena..." suara itu bergetar, membawa semua kenangan yang pernah ada. Malam terasa hening, hanya suara ombak dan desir angin yang menjadi saksi pertemuan yang sangat mereka harapkan ini.
Keena terdiam. Air matanya jatuh tanpa aba-aba. Setelah bertahun tahun, laut akhirnya mengembalikan seseorang yang telah lama dinantinya. Tangannya terulur, seakan ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Kau kembali..." hanya itu yang mampu Keena ucapkan sembari terisak.
Al mengangguk, mendekat, lalu menggenggam tangan Keena yang kini sudah keriput. "Aku terjebak di negeri orang, aku tak bisa pulang Keena,Tapi aku tak pernah melupakan janjiku, meskipun insiden itu sempat membuatku lupa ingatan."
Keena terisak, dadanya sesak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. "Aku menunggumu, Al. Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap menit, dan sampai detik ini aku menunggumu. Aku takut kau tak akan pernah kembali."
Al menatapnya dalam, ada penyesalan di matanya. "Aku tahu. Aku ingin pulang lebih cepat saat itu, tapi nasib berkata lain. Aku mengalami kecelakaan, diselamatkan oleh orang-orang yang baik hati, tapi aku kehilangan ingatanku. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk mengingat segalanya, bahkan untuk mengingatmu Keena."
Keena tak mampu berkata-kata. Rasanya seperti ia sedang menjadi peran utama dalam cerita dongeng. Namun, ini nyata. Al ada di hadapannya, menggenggam tangannya dengan erat.
Namun, kegembiraan mereka tak berlangsung lama, karena Al melihat pagar besar yang membatasi laut dan desa nelayan. Matanya berubah gelap. "Apa yang sudah terjadi di sini Keena? Mengapa laut ini dipagari? Ku kira setelah kembali kesini, kehidupan desa ini semakin sejahtera dan asri, namun ternyata sebaliknya”.
Keena menjelaskan semuanya, tentang bagaimana penguasa serakah yang tak bertanggung jawab telah merampas hak masyarakat desa untuk hidup, ketika kekuasaan digunakan tanpa mendengar suara rakyat. Mata Al menyala penuh kemarahan. "Laut adalah milik semua orang, tak seharusnya kepentingan oknum oknum berkuasa membatasi hak masyarakat untuk memanfaatkan laut. pagar ini bukan hanya membatasi laut, tapi juga harapan dan kehidupan bagi mereka yang bergantung hidup dan mati padanya. Bukan gelombang laut yang menenggelamkan para nelayan, tapi kebijakan para kaum atas lah yang tak berpihak pada rakyat kecil. Aku berjanji padamu Keena, aku tak hanya kembali untuk menepati janjiku, tapi aku juga kembali untuk memperjuangkan hak masyarakat desa."
Malam itu, di bawah sinar bulan sabit, Al bersumpah akan berjuang demi keadilan. Ia mengajak para nelayan untuk melawan ketidakadilan ini, untuk merebut kembali hak mereka yang telah dirampas. Ombak terus berbisik, seakan memberi restu. Mereka tahu bahwa menjaga laut bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang menjaga anugerah dan warisan dari yang maha kuasa bagi generasi mendatang.
Di bawah sinar bulan itu juga, Al dan Keena akhirnya mengerti bahwa cinta sejati tak hanya soal menunggu, tapi juga berjuang bersama sama. Seperti laut yang selalu kembali pada pantainya, mereka pun akhirnya menemukan jalan untuk kembali, bukan hanya pada satu sama lain, tetapi juga pada keadilan bagi seluruh desa.