Cerpen Fitri Widyaningrum
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Tirai senja merobek langit Megatide, membiaskan cahaya jingga yang menyilaukan pada hamparan laut yang berkilauan. Dari balik jendela kaca apartemen mewahnya, Arga, seorang jurnalis muda dengan tatapan tajam, menyaksikan pemandangan yang selalu dianggapnya sebagai simbol kemajuan. Kota elit itu, yang berdiri angkuh di atas reklamasi raksasa, hasil dari pagar laut yang dibangun puluhan tahun silam, memamerkan kemegahan gedung-gedung pencakar langit dan dermaga pribadi yang dipenuhi kapal pesiar mewah. Namun, di balik kemilau kekayaan itu, tersimpan sebuah rahasia kelam yang siap untuk terkuak.
Langkah kaki Arga membawanya ke pelabuhan tua, sebuah kontras mencolok dari kemewahan yang ia tinggalkan. Di sana, di antara tumpukan peti ikan yang berbau amis, ia melihat seorang remaja laki-laki kurus kering, punggungnya membungkuk di bawah beban peti kayu yang berat. Kulitnya legam terbakar matahari, wajahnya kotor oleh debu dan keringat, dan matanya memancarkan kewaspadaan yang terlalu tua untuk usianya. "Hei, kau butuh bantuan?" tanya Arga, suaranya memecah kesunyian pelabuhan.
Bocah itu menatapnya dengan curiga, lalu menggelengkan kepala. "Aku bisa sendiri," jawabnya, suaranya serak dan penuh keengganan.
"Namamu siapa?" desak Arga, rasa ingin tahunya semakin besar.
"Dika," jawabnya singkat, matanya menatap tajam, seolah mengukur niat Arga.
"Kenapa kau bekerja di sini?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu dan sedikit iba.
Dika menundukkan kepala, suaranya bergetar menahan emosi. "Ayahku dulu nelayan. Tapi sejak pagar laut itu dibangun, dia kehilangan pekerjaannya. Sekarang, kami hanya bisa mengandalkan pekerjaan serabutan," ucapnya, suaranya hampir tenggelam dalam deburan ombak.
Arga tertegun. Selama ini, ia hanya mendengar tentang Megatide sebagai kota modern yang dibangun di atas keajaiban reklamasi. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kemegahan itu dibangun di atas penderitaan orang-orang seperti Dika dan keluarganya.
Tiba-tiba, seorang gadis muda muncul dari balik tumpukan peti ikan. Rambut panjangnya yang diikat kuda dan wajahnya yang lelah mencerminkan kehidupan yang keras. "Dika, siapa ini?" tanyanya, suaranya tajam dan penuh kecurigaan.
"Dia Arga, seorang jurnalis," jawab Dika cepat, matanya memohon pada gadis itu untuk percaya. "Dia ingin tahu tentang pagar laut."
Gadis itu mengerutkan kening, matanya menatap Arga dengan sinis. "Jurnalis? Biasanya mereka hanya menulis apa yang ingin dibaca orang kaya, bukan apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya, suaranya dipenuhi kepahitan.
Arga menatap gadis itu, terpesona oleh keteguhan dan sinisme dalam suaranya. "Aku berbeda," ujarnya pelan, tekadnya untuk mengungkap kebenaran semakin kuat.
Sebagai seorang jurnalis investigasi, Arga memiliki ketertarikan yang mendalam pada sejarah kelam Megatide. Ia telah lama mendengar bisikan tentang "penghilangan" seorang tokoh bernama Rahmat, seorang nelayan karismatik yang menentang proyek reklamasi. Informasi ini tersebar di kalangan nelayan tua, namun tidak pernah tercatat dalam sejarah resmi kota.
Ketika Arga bertemu Dika dan mendengar tentang ayahnya yang kehilangan pekerjaan akibat pagar laut, insting jurnalisnya bergejolak. Ia melihat adanya kaitan antara penderitaan keluarga Dika dengan sejarah kelam Megatide. Nama Rahmat muncul di benaknya sebagai kunci untuk mengungkap kebenaran.
"Dika, apakah kau pernah mendengar nama Rahmat?" tanya Arga, matanya menatap teduh ke arah bocah itu. "Seorang nelayan tua yang hilang sebelum pagar laut dibangun?"
Dika terkejut, matanya membelalak. "Bagaimana kau tahu tentang Kakek?"
Arga terhenyak, jantungnya berdebar kencang, seolah ombak masa lalu menghantam jiwanya. Nama Rahmat, sebuah legenda yang terhapus dari lembaran sejarah Megatide, kini berbisik di telinganya. Jika Dika adalah cucunya, maka jejak-jejak masa lalu yang tersembunyi itu belum sepenuhnya sirna.
"Aku ingin menemukannya," desah Dika, "Aku yakin dia tidak hilang begitu saja. Ada sesuatu yang disembunyikan, sesuatu yang mereka kubur dalam-dalam."
Laila, yang selama ini membisu, akhirnya angkat bicara, suaranya bagai desiran ombak yang membawa rahasia. "Kami punya petunjuk, tapi kami tidak berani mengungkapnya selama ini karena Ayah melarang kami," ucap Laila, suaranya pelan dan penuh pertimbangan. "Sebuah buku catatan tua yang disembunyikan Ayah sebelum dia meninggal. Di dalamnya ada nama-nama orang yang mungkin terlibat dalam penghilangan Kakek. Tapi aku hanya akan menunjukkannya padamu jika kau berjanji akan mengungkap kebenaran, apapun risikonya."
Napas Arga terhembus berat, beban sejarah Megatide terasa begitu menyesakkan. "Dari mana kita mulai?" tanyanya, suaranya bergetar.
[Esok pagi di rumah Pak Ahmad]
Ketukan di pintu kayu yang lapuk memecah kesunyian senja yang merayap. Seorang pria tua dengan rambut seputih kapas dan wajah yang diukir oleh waktu, Pak Ahmad, membuka pintu, matanya menatap mereka dengan tatapan sayu, bagai jendela yang menyimpan kenangan pahit. Pak Ahmad adalah salah satu dari sedikit nelayan tua yang masih bertahan di Pelabuhan Kumuh Senja Kala, saksi hidup dari perubahan drastis yang melanda Megatide. Ia adalah penjaga ingatan, seorang yang menyimpan kisah-kisah yang terhapus dari buku sejarah resmi kota.
"Apa yang kalian cari di sini?" tanyanya dengan suara serak, bagai desah angin yang membawa bisikan rahasia.
Dika langsung bertanya, "Maaf kek, apakah Anda tahu sesuatu tentang hilangnya Kakek Rahmat, saya sedang mencari keberadaan kakek saya?"
Pak Ahmad terdiam lama, matanya menerawang ke masa lalu yang kelam, bagai menatap ke dasar sumur yang tak berujung. "Masuklah," bisiknya, suaranya bagai bisikan angin yang membawa rahasia yang telah lama terkubur.
Di dalam rumah yang remang-remang, cahaya yang tersisa menari-nari di antara debu yang beterbangan, Pak Ahmad menunjukkan secarik kertas kuning kecokelatan, sebuah artefak dari masa lalu yang terlupakan, bagai peta yang menuntun ke labirin rahasia. "Rahmat tidak hilang begitu saja. Malam itu, pada malam badai bulan purnama, aku melihatnya diseret oleh orang-orang bertopeng ke sebuah gudang tua di ujung dermaga, Gudang Garam Tua. Tapi tak ada yang berani bersuara, semua terbungkam oleh ketakutan, seperti ikan-ikan yang terperangkap dalam jaring hitam."
Arga menggigit bibirnya, matanya berkilat penuh tekad, bagai nyala api yang siap membakar kegelapan. "Kita harus ke sana, ke Gudang Garam Tua," ucapnya, suara yang dipenuhi oleh semangat untuk mengungkap kebenaran yang terkubur, bagai ombak yang tak akan berhenti menghantam karang.
[Gudang Garam ]
Malam merayap turun di Pelabuhan Kumuh Senja Kala, menyelimuti Gudang Garam Tua dengan kegelapan pekat. Hanya cahaya bulan yang pucat menembus celah-celah dinding gudang, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari-nari di lantai berdebu. Laila dan Arga menyelinap masuk, langkah mereka beriringan dalam keheningan yang mencekam.
"Hati-hati," bisik Laila, suaranya nyaris tak terdengar, bagai desiran angin malam. Ia memegang erat lengan Arga, merasakan kehangatan tubuhnya di tengah dinginnya gudang tua.
Mereka menyusuri ruangan yang dipenuhi tumpukan garam yang menggunung, bagai bukit-bukit salju yang membeku dalam waktu. Debu tebal menyelimuti segalanya, bagai kabut yang menyimpan rahasia kelam. Arga menyalakan senter, cahayanya menari-nari di dinding gudang, mencari jejak masa lalu.
"Di sana," bisik Laila, menunjuk ke sudut ruangan yang gelap. "Ayahku pernah bercerita tentang tempat ini."
Mereka mendekat, langkah mereka beriringan dalam keheningan yang mencekam. Tiba-tiba, mata Laila menangkap sesuatu yang berkilauan di antara tumpukan garam. Ia berjongkok, tangannya menyentuh benda berkarat itu.
"Ini lencana," bisiknya, suaranya bergetar. "Lencana Keamanan Khusus Megatide."
Arga menatap lencana itu, matanya berkilat penuh tekad. "Ini bukti bahwa mereka yang bertanggung jawab atas penghilangan Kakekmu, persis yang diceritakan Pak Rahmat.”
Saat mereka berdua berdiri di sana, di tengah kegelapan dan debu, sebuah keheningan yang aneh menyelimuti mereka. Ada sesuatu yang berbeda di udara, sesuatu yang lebih dari sekadar ketegangan akibat pencarian mereka. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, mereka tenggelam dalam tatapan satu sama lain.
"Laila," bisik Arga, suaranya lembut, bagai desiran ombak di malam sunyi. "Aku berjanji akan membantumu menemukan kebenaran. Apa pun yang terjadi."
Laila mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku tahu, Arga," bisiknya. "Aku tahu."
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang mendekat memecah keheningan. Mereka berdua tersentak, kembali ke kenyataan.
"Kita harus pergi," bisik Laila, menarik tangan Arga.
Mereka berlari keluar dari gudang, bagai bayangan yang melarikan diri dari kejaran masa lalu. Tepat saat mereka menghilang di balik kegelapan, sekelompok pria berbadan tegap memasuki gudang, mata mereka menyapu ruangan dengan tatapan tajam.
Arga menggenggam tangan Laila, merasakan kehangatan dan kelembutan kulitnya. "Mereka masih mengawasi tempat ini," bisiknya, suaranya terengah-engah.
[Apartemen Arga]
Cahaya lampu apartemen Arga yang temaram menjadi saksi bisu dari upaya mereka merangkai kepingan-kepingan kebenaran. Foto lencana berkarat, rekaman video yang buram, dan catatan-catatan Pak Ahmad terhampar di meja, bagai mozaik yang perlahan membentuk gambar utuh. Laila mendekat ke Arga, wajahnya tegang, bayangan keraguan dan harapan bercampur di matanya.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam desah AC.
Arga menatapnya dalam, sorot matanya tajam namun lembut. "Aku akan menulisnya," jawabnya, suaranya mantap. "Aku akan mengungkap semuanya. Dunia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di Megatide."
Laila menatapnya lama, seolah mencari kepastian dalam tatapan itu. Lalu, senyum samar merekah di bibirnya. "Terima kasih, Arga," bisiknya, kelegaan bercampur dengan rasa kagum.
Malam itu, Arga tenggelam dalam pekerjaannya. Jarinya menari di atas keyboard, kata-kata mengalir deras, merangkai fakta-fakta yang tersembunyi. Laila duduk di sampingnya, sesekali membisikkan informasi tambahan, mengingatkan detail-detail penting. Mereka bekerja dalam harmoni, dua jiwa yang bertekad mengungkap kebenaran.
Ketika artikel Arga diterbitkan besoknya, dampaknya mengguncang Megatide dan dunia. Judul artikel yang provokatif, "Pagar Laut Megatide: Kemewahan di Atas Penderitaan," menjadi perbincangan hangat di media sosial dan berita daring. Foto-foto dan video yang diambil Arga menjadi bukti tak terbantahkan, memicu kemarahan publik.
Protes besar-besaran meletus di jalan-jalan Megatide. Ribuan orang turun ke jalan, membawa spanduk dan poster, menuntut keadilan bagi Rahmat dan para nelayan yang terpinggirkan. Suara mereka bergema, "Ungkap kebenaran! Keadilan untuk Rahmat!"
Penyelidikan resmi dibuka kembali. Para pejabat tinggi Megatide panik, mencoba menutupi jejak mereka. Mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang membingungkan, menyalahkan pihak lain, dan bahkan mencoba menyuap Arga untuk menarik artikelnya.
Tidak semua orang senang dengan tulisan Arga, ada yang mencoba mengirimkan orang-orang untuk membungkam Arga. Mereka mengintai apartemennya, mengirimkan pesan-pesan ancaman, dan bahkan mencoba mencelakainya. Namun, Arga tidak pernah menyerah. Ia tahu bahwa kebenaran harus diungkap, apa pun risikonya. Ia menemukan kekuatan dalam dukungan Laila dan para nelayan yang berterima kasih atas keberaniannya.
Arga dan Laila terus bekerja sama, mengumpulkan bukti-bukti tambahan dan mengungkap lebih banyak rahasia kelam Megatide. Mereka mewawancarai para nelayan yang menjadi korban proyek reklamasi, mencari saksi mata yang berani bersuara, dan menelusuri dokumen-dokumen rahasia. Massa terus melakukan protes, menuntut keadilan dan transparansi dari pemerintah Megatide. Penyelidikan resmi menemukan bukti-bukti baru yang menguatkan tuduhan terhadap pejabat tinggi Megatide.
Dua bulan kemudian…..
Arga dan Laila berdiri di dermaga tempat mereka pertama kali menemukan jejak kebenaran. Laut di depan mereka berkilauan diterpa cahaya senja, tetapi hati mereka masih diliputi perasaan yang sulit dijelaskan. Penyelidikan resmi telah menemukan bukti tak terbantahkan. Para pejabat tinggi Megatide yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan akhirnya diadili. Media nasional mengangkat kisah perjuangan mereka, memuji keberanian seorang jurnalis dan seorang wanita yang kehilangan kakeknya dalam pusaran konspirasi.
Namun, kebenaran itu datang dengan harga mahal. Tak ada keajaiban. Tak ada kehadiran kembali. Kakek Rahmat telah tiada.
Saat investigasi semakin dalam, polisi menemukan sebuah makam tak bertanda di luar kota, berisi jasad yang telah lama terkubur. Tes forensik memastikan identitasnya—Rahmat. Laila tak menangis saat mendengar kabar itu. Ia hanya duduk diam di apartemen Arga, memandang kosong ke luar jendela.
"Aku sudah tahu," bisiknya. "Aku hanya tidak mau menerimanya."
Arga menggenggam tangannya, memberikan kehangatan di tengah dinginnya kenyataan.
"Tapi sekarang, dunia tahu siapa dia. Dunia tahu apa yang terjadi."
Laila menoleh padanya, matanya masih merah, tapi ada sesuatu yang berbeda di sana—kelegaan.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanyanya pelan.
Arga menghela napas panjang, menatap ke kejauhan. "Aku akan tetap menulis. Masih banyak ketidakadilan di luar sana."
Laila tersenyum tipis, meskipun masih ada luka di hatinya. "Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu. Kita pastikan ini tidak terjadi lagi pada orang lain."Angin laut berembus lembut, seolah membawa pesan dari mereka yang telah pergi. Kakek Rahmat mungkin tidak sempat melihat keadilan itu terjadi, tetapi warisannya tetap hidup dalam perjuangan mereka. Senja meredup, tapi kebenaran telah menemukan jalannya.