Cerpen Gabrielle Neguita Br Brahmana
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Mentari senja berwarna jingga yang memudar di cakrawala, langit di atas Pulau Sempu seperti kanvas yang dilukis dengan warna-warna indah. Angin laut berbisik membawa aroma garam dan ikan, namun juga sebuah misteri yang telah berkediaman di pulau terpencil ini: Jeritan Palung Laut. Sarti, seorang nelayan muda dengan rambut sehitam malam dan mata setajam elang, bukanlah hanya pewaris perahu Si Legi dari kakeknya, Pak Tua Usman. Ia adalah pewaris sebuah warisan yang lebih berat: sebuah misteri yang telah mengakar dalam sejarah keluarganya, sebuah rahasia yang tersembunyi di kedalaman laut yang tak terukur.
Pulau Sempu adalah rumah bagi Sarti, sebuah pulau kecil yang dikelilingi oleh laut yang luas dan dalam. Kehidupan di pulau itu sederhana, bergantung sepenuhnya pada laut. Nelayan- nelayan di Pulau Sempu hidup harmonis, saling membantu, dan saling menghormati. Mereka hidup berdampingan dengan laut, memahami ritme dan kekuatannya. Namun, di balik kehidupan yang tenang itu, tersimpan sebuah legenda yang mengerikan: Jeritan Palung Laut.
Pak Tua Usman, kakek Sarti, adalah seorang nelayan yang disegani di Pulau Sempu. Ia bukan hanya ahli menangkap ikan, tetapi juga seorang pencerita ulung. Ia sering bercerita tentang palung laut yang terletak di sisi timur Pulau Sempu, sebuah palung yang jauh lebih dalam daripada kedalaman yang terukur oleh teknologi modern. Ia menyimpan sebuah rahasia yang mengerikan, sebuah rahasia yang dijaga oleh makhluk laut yang tak dikenal, makhluk yang jauh lebih tua dari peradaban manusia. Makhluk itu, menurut cerita kakeknya, mengeluarkan jeritan pilu setiap kali bulan purnama muncul, jeritan yang menggema di seluruh pulau, jeritan yang menggetarkan jiwa siapa pun yang mendengarnya. Jeritan itu bukan sekadar suara, tetapi sebuah pencurahan dari kesedihan makhluk itu, kesedihan yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Sarti, sejak kecil, telah terpesona oleh cerita-cerita kakeknya. Ia tumbuh dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan dan keberanian yang tak kenal takut. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut, belajar dari kakeknya tentang seluk-beluk kehidupan laut, tentang arus dan ombak, tentang ikan dan makhluk laut lainnya. Ia juga belajar tentang legenda dan mitos yang beredar di kalangan nelayan, cerita-cerita yang seringkali menyimpan kebenaran yang tersembunyi. Jeritan Palung Laut adalah misteri yang paling menarik perhatiannya, sebuah tantangan yang harus ia pecahkan, bukan hanya karena rasa penasarannya, tetapi juga karena rasa hormatnya pada warisan kakeknya.
Berbulan-bulan Sarti mempersiapkan diri. Ia memperbaiki Si Legi, mengganti beberapa bagian kayu yang lapuk, dan memastikan mesinnya berfungsi dengan baik. Ia juga meminjam peralatan selam terbaik dari seorang penyelam di kota terdekat, peralatan yang jauh lebih canggih daripada yang pernah digunakan oleh kakeknya. Lampu sorot, kamera bawah air, helm selam, semuanya siap digunakan. Ia juga mempelajari peta laut secara detail, menandai lokasi palung laut dengan seksama, mempelajari arus dan gelombang di sekitar palung tersebut. Namun, persiapan fisik dan peralatan hanyalah sebagian kecil dari persiapannya. Ia juga mempersiapkan mentalnya, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan terburuk, mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ketakutannya sendiri, dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan bahwa apa yang akan ia temukan akan mengubah pandangannya tentang dunia selamanya.
Lasmi Sahabat Sarti, seorang perempuan yang bijaksana dan penyayang, mencoba mencegahnya. Perdebatan mereka berlangsung berhari-hari, "Sarti, itu berbahaya! Jangan pergi ke palung laut itu!" ucap Lasmi dengan suara khawatir. "Cerita kakekmu hanya mitos, Sarti. Jangan sampai kau celaka." Namun, Sarti tetap teguh pada keputusannya. "Aku harus tahu kebenarannya, Lasmi," jawab Sarti. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya ada di palung laut itu. Ini bukan hanya tentang rasa penasaran, ini tentang menghormati warisan kakek, dan tentang memahami sejarah Pulau Sempu." Jawab Sarti sekali lagi. Lasmi, meskipun khawatir, akhirnya memahami tekad Sarti dan hanya bisa mendoakan keselamatan sahabatnya.
Malam itu, ketika bulan purnama bersinar terang menerangi lautan, Sarti bersiap-siap. Ia membawa peralatan selamnya menuju titik penyelaman di tepi pantai timur Pulau Sempu. Sebelum mencapai titik penyelaman, ia melewati pagar kayu tua dan lapuk yang hampir roboh, terletak di dekat tebing. Ingatan tentang cerita kakeknya kembali menghantui pikirannya. Ia mengingat kata-kata kakeknya: "Di sinilah, jeritan itu terdengar paling jelas." Pagar itu, menurut cerita kakeknya, dibangun sebagai penanda tempat, bukan hanya untuk menahan abrasi, tetapi juga untuk mengingatkan akan jeritan misterius dari palung laut. Pagar itu menjadi batas antara dunia manusia dan misteri yang tersembunyi di kedalaman laut, tempat di mana jeritan itu menggema dan mengingatkan akan kekuatan alam yang tak terduga. Sarti mengamati pagar kayu tua itu, merasakan getaran misterius di udara. Ia mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh pagar itu: peringatan akan kekuatan alam yang tak terduga dan bahaya yang mengintai di kedalaman. Dengan tekad yang bulat, Sarti melanjutkan perjalanannya menuju palung laut, membawa beban misteri dan tekad untuk mengungkap rahasia Jeritan Palung Laut sendirian. Sarti mengarahkan Si Legi menuju palung laut. Angin bertiup kencang, gelombang besar menghantam lambung perahu, membuat Sarti harus berjuang keras melawan ganasnya alam. Namun, Sarti tetap teguh, tekadnya tak tergoyahkan. Sesampainya di lokasi, ia mengenakan peralatan selamnya dan terjun ke dalam air yang dingin dan gelap. Semakin dalam ia menyelam, semakin terasa dingin dan mencekam. Kegelapan menyelimuti sekelilingnya, hanya lampu sorotnya yang menerangi sedikit area di sekitarnya, menciptakan sebuah lingkaran cahaya kecil di tengah kegelapan yang maha luas.
Ia melihat berbagai jenis ikan dan terumbu karang yang indah di kedalaman yang lebih dangkal, namun semakin dalam, semakin sedikit kehidupan yang terlihat. Tekanan air semakin kuat, menekan tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa. Ia merasakan kesunyian yang mencekam, kesunyian yang hanya diselingi oleh suara detak jantungnya sendiri. Namun, Sarti tetap melanjutkan penyelamannya, didorong oleh rasa ingin tahu dan tekad yang kuat, didorong oleh warisan yang telah dibebankan kepadanya, dan didorong oleh rasa tanggung jawabnya terhadap nelayan-nelayan di Pulau Sempu.
Tiba-tiba, ia mendengarnya jeritan itu. Jeritan yang lebih dekat, lebih jelas, dan lebih mengerikan daripada yang pernah ia dengar sebelumnya. Jeritan itu bukan hanya sekadar suara, tetapi sebuah gelombang energi yang mengguncang seluruh tubuhnya. Jeritan itu seperti berasal dari makhluk yang sedang kesakitan dan memohon pertolongan, sebuah jeritan yang penuh keputusasaan, sebuah jeritan yang berasal dari kedalaman jiwa yang terluka. Sarti merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, dan ia melihat bayangan besar dan gelap di kejauhan. Bayangan itu menyerupai bentuk manusia, tetapi jauh lebih besar dan mengerikan, dengan tentakel-tentakel yang panjang dan berkilauan. Makhluk itu tampak terluka parah, dan jeritannya adalah ekspresi dari rasa sakit yang tak tertahankan, rasa sakit yang telah berlangsung selama berabad-abad, rasa sakit yang disebabkan oleh ulah manusia.
Sarti, yang awalnya penasaran, kini dilanda ketakutan yang luar biasa. Ia berusaha untuk mendekat, ingin menolong makhluk itu, tetapi bayangan itu bergerak cepat, mendekatinya dengan kecepatan yang menakutkan. Kemudian, tanpa peringatan, tentakel-tentakel besar muncul dari kegelapan, mencengkeram Sarti dengan kuat. Sarti panik dan berusaha naik ke permukaan. Ia mendayung dengan sekuat tenaga, jantungnya berdebar-debar seperti hendak copot. Ia menendang, memukul, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tentakel itu. Napasnya mulai sesak, udara dalam tabung oksigennya semakin menipis. Kegelapan semakin mencekam, dan bayangan makhluk itu semakin dekat. Ia melihat mata makhluk itu, mata yang besar dan kosong, mata yang penuh dengan kesedihan dan amarah. Jeritan makhluk itu semakin keras, semakin menusuk, seperti seruan putus asa dari dalam jurang maut.
Di tengah kepanikannya, Sarti merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah gelombang perasaan yang tak terkatakan menerpa benaknya, seperti syair yang dinyanyikan oleh ombak. Ia merasakan kesedihan yang mendalam, sebuah ratapan abadi dari kedalaman laut yang terluka. Ini bukan sekadar kesedihan, tetapi sebuah elegi bagi terumbu karang yang hancur, bagi ikan-ikan yang mati, bagi keindahan laut yang memudar.
Ia merasakan getaran pilu dari setiap makhluk laut yang terluka, sebuah simfoni kesuraman yang diiringi oleh tangisan arus dan bisikan angin. Lalu, di sela kesedihan itu, sebuah bisikan lembut namun menggema, menembus benaknya: “Laut menangis, anak manusia. Dengarkanlah ratapannya, sebelum ia menjadi sunyi selamanya.”
Itu diungkapkan bukan dengan kata-kata, tetapi dengan perasaan yang begitu dalam, begitu menyentuh, hingga Sarti merasakan air mata mengalir di balik helm selamnya. Ia mengerti. Makhluk itu bukan monster yang menakutkan, tetapi penjaga laut yang terluka dan putus asa. Jeritannya bukanlah tanda kejahatan, tetapi sebuah puisi kesedihan yang dibisikkan oleh ombak, sebuah syair pilu yang digemakan oleh kedalaman laut. dengan gerakan yang lambat dan hati-hati, tentakel-tentakel itu melepaskan cengkeramannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada Ia berenang mencapai permukaan dan naik ke Si Legi, nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar hebat. Ia melihat ke arah palung laut, tetapi bayangan itu sudah menghilang. Hanya kegelapan dan jeritan yang masih menggema di benaknya.
Kembali ke daratan, Sarti tidak hanya membawa pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan, tetapi juga sebuah beban. Ia tahu, ia telah menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya dilihat olehnya, sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih misterius daripada yang pernah ia bayangkan. Jeritan Palung Laut bukanlah sekadar legenda, tetapi sebuah peringatan. Ia memutuskan untuk tidak mengungkap penemuannya kepada siapa pun, setidaknya untuk saat ini. Namun, Sarti telah mengubah pandangannya tentang laut, tentang misteri yang tersimpan di dalamnya, dan tentang tanggung jawab manusia terhadap alam. Ia mewarisi lebih dari sekadar sebuah perahu dan sebuah cerita dari kakeknya; ia mewarisi sebuah misteri yang akan selamanya terukir dalam jiwanya, sebuah misteri yang akan terus menghantui pikirannya, dan Sarti, dengan keberaniannya, telah menyentuh sedikit dari misteri itu. sebuah misteri yang akan terus mendorongnya untuk melindungi kedalaman laut yang tak terduga. Jeritan Palung Laut telah membangunkannya, dan ia tahu, perjalanannya baru saja di mulai.