Cerpen Gagah Pranaja Sirat
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Setengah jam setelah mata kiri Sukantani buta dan cuman tersisa putih-putihnya saja, si Barman tiba-tiba keluar dari pohon kelapa. Seperti main kena-jaga, Barman menghadang Sukantani. Tapi bukannya berteriak, “Kena!” lekas menyentuh salah satu anggota tubuh Sukantani yang kulitnya sudah menggelepai-gelepai seperti gelambir, Barman malah berkata lain. “Jadilah pagar!”
Sembari menggerutu, Sukantani berhenti dan mengucek-ngucek mata kanannya. Satu per satu, bulu mata Sukantani berjatuhan. Koper rias yang sedang ditentengnya jadi ditaruh sebentar di atas tanah. Lekas, Sukantani mengangkat sepasang telapak tangannya seperti mau berdoa dan kembali mengucek-ngucek mata kanannya. Begitu terus, begitu terus. Sampai mampus.
Selang beberapa menit, baru dibuka satu-satunya mata yang terpancang di wajahnya itu; seperti perairan Tanggerang yang dikutuk Tuhan menjadi berwarna merah darah. “E, gila!” umpat Sukantani. “Masih ngikutin aje lo. Minggir! Dasar es-ay-en-thi-ay-en-jyi!”
“Apa tuh?”
“Sinting!”
Sukantani mengambil koper riasnya. Lekas, diceknya jam di tangan; pukul enam. Kabarnya, resepsi dilakukan jam setengah delapan. Alamak! Di mana ketika jam-jam tersebut saja, ayam-ayam Sukantani bahkan sudah berkokok-kokok minta bekatul dan suaminya pergi melaut sejak subuh. Namun, kliennya yang satu ini, sekonyong-konyong malah berubah jadwal di hari-H. Minta dimajukan.
Alamak!
Pukul enam lewat lima belas, Sukantani harus segera bergegas. Dan Barman tampaknya belum juga kehabisan napas. Tentu untuk mencegah Sukantani. Demi dia. “Jadilah pagar!” serunya. Lagi.
Karena sudah jengah Sukantani menjambak rambut Barman. “Apa pagar-pagar?” ancamnya seperti preman. “Kau mau jadikan aku pagar?”
Sembari merintih, Barman mengangguk-angguk polos. “Bisa tidak jadi pagar?”
“Maksudnya?” Sukantani menambah kekuatannya. Beberapa helai rambut Barman sudah tercerabut dan luruh seperti daun; terbang dibawa angin laut.
“Nah, tidak bisa, kan? Makanya, kalau tidak bisa jadi pagar jangan sok tahu, deh! Pagar itu, kan, fungsinya untuk melindungi. Untuk menahan sesuatu! Ya, buat jadi pelindung!” jelasnya; ngalor ngidul. “Ibaratnya seperti bulu mata! Fungsi bulu mata apa? Melindungi, kan? Lautan itu mata. Pagar-pagar itu bulunya. Tentu! Melindungi dari apa? Menahan dari apa? Banyak! Bukan seperti pagar-pagar di rumah. Pagar-pagar itu bisa melindungi kita dari tsunami, abrasi, ombak kencang, penenggelaman massal, bencana laut, monster-monster akuatik, Nyai Condet…!”
Sukantani melepas jambakannya. “Nyai Condet siapa?” tanyanya sembari terkekeh-kekeh. “Kau mau berharap apa sama pagar bambu? Uang seratus ribu? Sama yang menyuruhmu untuk memasang pagar-pagar itu?” Sukantani tergelak. “E, sini. Kukasih tahu ya, sinting. Kalau kita biarkan negara ini dicaplok-caplok sama korporasi, kau tahu? Kaum-kaum bawahan seperti kita, nelayan-nelayan dan kuli-kuli seperti kita, sampai kiamat tiba pun, bakal tetap miskin! Tahu?”
Barman garuk-garuk tengkuk. Gegas, Sukantani memindahkan koper riasnya ke lengan kiri dan mengucek-ngucek mata kanannya. “Jangan sampai kita biarkan negara dikuasai oleh korporasi, Barman! Jangan!” Sukantani lekas pergi.
Namun, Barman malah menghadangnya kembali. “Euhm… Korporasi itu… Apa?”
Sukantani mengambil napas panjang, menahannya sejenak, kemudian melafalkan dua kata dari mulutnya yang kering kerontang dengan begitu takzim, begitu syahdu: “Goblok!”
“Minggir!”
***
Selama perjalanan, Barman tak ubahnya seperti anak kecil yang merengek-rengek minta putar balik ke toko mainan karena tidak dibelikan mobil-mobilan; ditarik-tariknya kaki dan lengan Sukantani, dicengkeramnya kuat-kuat.
“Politik apa, sih?”
“Itu namanya kau berurusan dengan politik, Sukan!”
“Memang,” kata Sukantani, bangga. “Tapi, lebih tepatnya, aku akan berurusan dengan masa depanku. Masa depan kaum kita, Barman! Kau mau kita begini terus? Digerogoti monster-monster akuatik?”
“Ha, monster?”
“Yang mengupahmu uang seratus ribu!”
Subuh tadi, selepas suaminya pergi melaut membawa kembali beberapa bubu yang rusak parah karena tersangkut di pagar bambu, Barman datang ke rumah Sukantani. Heboh. “Sukan! Sukantani!” Digedor-gedornya pintu; diseruduk-seruduk. “Sukan! Jangan datang ke rumah Pak Kades! Bahaya!”
Sukantani membuka pintu sembari mengucek-ngucek kedua matanya. Mata kirinya belum buta, masih merah darah. “Bahaya apa?”
“Tadi aku dapat telepon. Katanya, kalau kau usik soal pagar-pagar bambu itu, keluargamu bisa bahaya! Keluargaku juga!”
“Dari siapa?”
Barman garuk-garuk tengkuk. “Entahlah,” katanya. “Tapi, intinya, keluarga kita bisa bahaya!” Sekonyong-konyong Barman mengangkat telunjuknya, ditempelkannya di leher bak belati, dan seolah-olah seperti sedang menyembelih dirinya sendiri. “Kita bisa mati, Sukan. Em-a-te-i! Mati!”
Sukantani mengucek-ngucek kedua matanya. “E, kehadiranku di rumah Pak Kades itu hanya untuk merias anaknya yang mau kawin! Tidak lebih!” teriak Sukantani sampai membikin Barman mundur selangkah. “Kalau soal pagar-pagar bambu itu, biar suamiku yang urus. Bukan aku! Lagipula, anak Pak Kades itu baik, tidak seperti orang tuanya.”
“Jadi, kau tidak akan melakukan apa-apa di sana?” Barman menggigit jari, memastikan.
“Ya, kalau tidak ada orang tuanya, tidak masalah!” seru Sukantani. Lekas, dia mengambil koper riasnya, menutup pintu, dan menguncinya. Dalam hati, Barman baru menemukan alasan mengapa Sukantani sudah rapih-rapih di pagi hari buta begini. “Sudah! Aku mau pergi dulu ke klinik.”
“Klinik Pakuhaji? Ngapain?”
“Cek mata!” Sukantani membuka kedua matanya lebar-lebar pakai tangan. “Kau lihat mataku ini, ha? Sudah tidak sejernih perairan Tanggerang!”
“Terus, mau dicek ke dokter?”
Sukantani meneruskan langkahnya tanpa menjawab pertanyaan Barman.
“Sukan!”
“Apa?”
“Ikut!”
“Ish!”
Mulanya, ketika suaminya pulang hanya membawa sepuluh kilogram ikan dan beberapa bubu yang rusak tanpa sama sekali menangkap seekor kepiting, Sukantani diajaknya sebentar ke atas laut. Dibawanya menggunakan perahu. “Kemari, akan kutunjukkan sesuatu.”
Sekitar lima belas menit dari tempat biasa suaminya berangkat melaut, dilihatnya oleh kedua mata Sukantani yang masih sehat; bulu matanya masih lebat. Pagar-pagar bambu terentang begitu panjangnya, begitu banyaknya. Dilengkapi dengan paranet, anyaman bambu agar memperkokoh, pula pemberat berupa karung berisi pasir. “Ini tidak bisa dibiarkan,” kata suaminya. “Aku sudah melaporkan hal ini bersama para penduduk sejak lama ke Kades. Tapi, tidak membuahkan hasil. Kami lapor ke instansi ini, tetap saja. Instansi itu, apalagi. Semuanya seolah-olah pada tutup mata. Semoga, biar buta!”
Suaminya menarik gas perahu ketintingnya sedikit agar bisa meraih pagar-pagar bambu lain yang tampaknya sudah bisa ditapaki oleh kaki. “Laut, kok, dipagarin. Ada sertifikatnya pula. Sekalian saja langit!” katanya, tersungut-sungut. “Barman dan kuli-kuli lain tidak mau ikut melapor. Katanya, takut. Soalnya, sejak mereka disuruh memasang pun, mereka sudah diancam. Kasihan si Barman. Kakaknya sudah mati kena disentri. Sekarang, ibunya bisa-bisa terancam ikut mati.”
Lama, perahu mereka mengambang-ambang bebas di laut. Sukantani jadi teringat bagaimana nasib mereka dulu; seorang tukang rias yang akhirnya dipergunjingkan warga karena menikah dengan seorang nelayan; yang katanya isi dompetnya tak seberapa.
“Besok, aku mau cabut pagar-pagar itu. Masa bodoh! Lumayan buat bale sama kandang ayam!”
“Iya, mas,” balas Sukantani. “Lumayan. Sayang kalau cuman dibiarkan dan mengganggu seperti itu.”
Mereka lekas berputar balik. Sejenak, terdengar suara ribut dari belakang. Perahu ketinting mereka tertahan; sempat ada gejolak-gejolak debur laut dari bawah. Tiba-tiba, baling-baling mereka rusak; patah. Gelombang laut mengombang-ambingkan perahu mereka sangat keras, sangat brutal; ditendang-tendang. Sampai naasnya, perahu mereka terbalik; hilang kendali. Kepala Sukantani terantuk pagar laut dan matanya kemasukan sesuatu yang begitu padat. Entah apa.
Sejak itu, Sukantani terus mengucek-ngucek kedua matanya. Tiga minggu berlalu, matanya tidak lagi sejernih air laut.
“Apa?” seru Sukantani, terkejut bukan main. “Trichiasis?”
“Betul, Bu. Bulu mata ibu mengalami kelainan yakni tertekuk dan tumbuh masuk ke dalam mata. Mungkin, karena adanya infeksi atau peradangan. Sebentar ya, Bu.” Dokter itu masih mengecek-ngecek mata Sukantani menggunakan senter. Terutama pada mata kiri. Sedang di pojok ruangan, Barman menutup mulutnya dan matanya membelalak seperti orang idiot.
“Takkan kuberi ampun! Mau itu anaknya, kek. Orang tuanya, kek. Kakeknya, kek. Peduli setan!”
Jaraknya tinggal lima belas langkah menuju rumah Pak Kades, wajah Sukantani sudah semerah matanya. Di belakang, Barman tak henti-hentinya menarik Sukantani untuk putar balik. Namun agaknya, sekujur tubuh Sukantani telah menjelma sebagai batu karang yang terus bergerak, terus berjalan.
***
Matanya sejernih lautan. Pupilnya secantik batu karang. Airnya tenang seperti perairan Tanggerang. Bulu matanya lentik, tajam, dan kokoh bagai cadik pada pelang. Mengingatkan Sukantani pada sesuatu. Sesuatu yang membuatnya…
“Maaf ya, kami terpaksa menyewa tukang rias lain,” kata perempuan tua yang wajahnya seabu pasir pantai; itu si ibu dari calon mempelai. “Karena resepsi dimajukan, jadi kami tidak bisa menunggu lama. Pengantin harus sudah cepat-cepat dirias. Maaf, ya.”
Sukantani mengucek-ngucek mata kanannya, lekas termangu.
“Oh, tidak apa-apa, Bu.” Barman mengambil alih percakapan. “Lagipula, tukang riasnya sakit mata, Bu. Sukan sedang tidak fit! Hehe.” Barman cengar-cengir sembari menepuk bahu Sukantani. “Tidak apa-apa, Bu Kades! Tidak usah meminta maaf! Kami permisi…”
Lautan itu bergerak. Batu karang itu bergeser sedikit, menoleh pada Sukantani. Bulu matanya berkedip-kedip dengan sangat anggun; namun, dalam mata kanan Sukantani yang di mana perih dan pedih datang secara bersamaan dan mengikisnya seperti abrasi, itu cukup membuat Sukantani tersinggung. Lekas, lautan itu tertutup dan menikmati riuh orang-orang di sekitarnya yang tengah memujinya; menyembahnya. Sukantani tahu mata kanannya sebentar lagi pasti bakal buta.
Barman menuntun Sukantani yang termangu untuk menjauh dari rombongan kawin. Terdengar suara ayam berkokok. Semuanya seolah-olah pada tutup mata. Semoga, biar buta!
Sukantani melepas lengan Barman dan sekonyong-konyong menghampiri rombongan. Koper riasnya terhempas; terserak-serak. “Mbak!” serunya. “Awas! Ada bahaya!”
Sontak, semua orang menoleh dan terkejut. Barman kemudian pingsan. Lautan itu kembali menghadapnya dengan begitu angkuh. Bulu matanya berkedip-kedip. “Ada sesuatu di mata, Mbak,” kata Sukantani, cemas.
“Apa itu?”
Terdengar suara ayam berkokok. Besok, aku mau cabut pagar-pagar itu. Masa bodoh! Lumayan buat bale sama kandang ayam!
“Sebentar.” Sukantani mengangkat tangannya, menyentuh perlahan pesisir lautan itu, dan mencabut apa-apa yang sedari tadi membikin hatinya panas serupa neraka. Orang-orang menyaksikannya dengan jantung berdebar-debar; berdegup-degup. “Aw!” teriak si lautan. “Sudah, Mbak?”
Sukantani mengucek-ngucek mata kanannya, lekas termangu.
Aku butuh satu bambu lagi, Sukan! Untuk bale dan kandang ayam kita!
“Belum. Sabar, Mbak! Satu lagi… Satu lagi… Satu lagi…” (*)