Cerpen Geti Oktaria Pulungan
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Aku membuka mata perlahan. Aroma asin menusuk indera penciumanku. Di sini terasa hangat, cenderung panas. Berbeda dengan daerah asalku, di sana sejuk dan harum dedaunan. Tapi, ada suara yang mengganggu ketenanganku. Seperti ombak, tak salah lagi. Ini adalah tempat berbeda dari hutan.
Mataku mencari-cari cahaya. Matahari masih enggan memancarkan kehangatannya. Kurasa ini masih belum fajar. Aku hanya menebak-nebak. Sebab aku tidak tahu ritme kehidupan di sini.
Ini adalah tempat yang asing bagiku. Sekelompok orang yang menebas kami pada satu hari sebelumnya tak terlihat lagi. Mereka jugalah yang membawa kami dalam truk. Perjalanan yang amat panjang itu membuat kami lelah. Akhirnya kami tertidur sepanjang perjalanan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya. Namun, seluruh temanku telah berbaris rapi. Hingga ujung nun jauh di sana, kami ditancapkan sekuat mungkin. Ombak menampar bagian bawah tubuh kami. Sesekali kami turut bergoyang mengikuti irama angin.
Ketika matahari sepenggalahan naik, orang-orang mulai berlalu lalang. Hampir semua memperhatikan kami. Beberapa bahkan berhenti, saling berbisik, mengarahkan benda berbentuk persegi panjang, lalu pergi. Benda persegi panjang itu sepertinya bernama ponsel. Aku mendengar dari salah seorang di antara mereka. Benda itu untuk mengambil foto kami, katanya akan ditayangkan ke hadapan seluruh warga. Aku tidak mengerti maksud mereka.
Siang ini, sekelompok orang berdatangan. Mereka juga memakai topi dan alat penangkap ikan. Mereka menunjuk ke arah kami. Sepertinya mereka ingin menonton kami, meskipun ada gurat serius terlukis pada wajah masing-masing. Barangkali mereka tidak pernah melihat sesuatu seperti kami. Aku tidak melihat ada benda sama persis bentuknya dengan kami di sekitar sini. Di sini jauh berbeda dengan kehidupan hutan. Bangunan-bangunan menjulang tinggi. Itu bukan pohon. Itu juga bukan rumah. Namun, orang-orang lenyap ditelan benda itu.
Menjelang sore, aku mulai bosan. Tidak ada yang dapat diajak mengobrol. Teman-temanku sepertinya mengalami kelelahan yang amat sangat. Atau mereka sudah tak bernyawa lagi. Entahlah. Aku juga terbiasa dengan tatapan aneh orang-orang. Mereka sangat lucu. Perbuatan mereka hanya menonton kayu-kayu yang berjejer di atas air.
Tiba-tiba sekelompok orang datang. Otot mereka tampak menonjol. Ibarat ilustrasi, sangar mampu mewakili karakter mereka. Aku yakin, mereka mampu menakuti siapapun. Awalnya aku pikir mereka akan menonton. Tapi mereka melakukan hal lain.
Mereka menggotong sebuah benda, menurutku itu adalah karung. Aku tahu karena beberapa petani lewat sembari membawa benda itu ketika hidup di hutan dulu. Karung itu menyebarkan aroma busuk. Dua orang mengangkatnya dengan tergesa. Mereka menyenggol tubuhku, aku nyaris jatuh. Hei, mereka tidak peduli. Bahkan tidak melirikku sama sekali. Aku tidak ingin tenggelam!
Aku berusaha bangkit. Namun, tubuhku tak bergerak sedikitpun. Tiba-tiba seseorang menolongku berdiri. Orang ini sepertinya baik. Tunggu, dia berjalan terseok ke arah dua temannya tadi. Tubuhnya juga tidak begitu kekar. Jadi aku rasa orang ini sedikit baik.
Mereka kembali ke mobil. Beberapa kali mereka melakukan hal sama, menggotong karung dan meletakkannya di dalam air. Aromanya juga sangat busuk. Ada bercak merah di beberapa sisi permukaan karung. Entah apa isinya. Aku berusaha melihat, namun karung itu tertutup rapat.
“Bagaimana jika ketahuan?” Tanya orang yang menyelamatkanku tadi.
“Kau tidak usah takut. Kita harus melaksanakan perintah bos dengan baik,” jawab orang yang tubuhnya tidak begitu tinggi.
“Atau kau hendak mati juga? Agar kami kirim ke dunia lain?” Tunjuk yang badannya paling besar.
Mati? Berarti isinya adalah manusia tak bernyawa? Mereka ini adalah pembunuh. Mendengar kalimat itu, aku dan orang setengah baik itu langsung gemetar. Aku berdiri bersama tiga manusia tanpa nyawa di dalam karung. Lambat laun, darah mereka akan melebur bersama tubuhku. Aku tiba-tiba mual dan ingin mati saja.
Betapa malang jasad di dalam karung sana. Mereka akan hilang ditelan laut. Tubuh mereka seperti tak berarti. Padahal setauku, manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan tuhan.
Mereka datang lagi. Kali ini membawa lebih banyak karung. Aku rasa isinya masih serupa dengan tadi. Mereka beraksi pada malam gelap seperti ini. Di saat tidak ada seorangpun yang menonton kami.
Sudah matikah peri kemanusiaan orang-orang ini? Lagipula, siapa yang menyuruh mereka? Tentu orang tersebut bukan sembarangan. Aku yakin, ia punya uang dan kekuasaan yang besar.
Dua orang berbadan besar sudah pergi. Seorang penyelamatku tertinggal, atau sengaja ingin tinggal. Ia berdiri tepat di sebelahku. Matanya terpejam. Tiba-tiba bahunya berguncang. Air matanya menetes.
“Mengapa dunia begitu kejam? Sesungguhnya, aku tidak ingin melakukan ini.” Suara itu bergetar hebat. Apakah yang ia maksud adalah mayat di dalam karung?
“Aku tidak ingin menjadi korban kalian pada hari pembalasan. Merekalah yang memaksaku.” Ia seolah bercerita padaku.
“Aku rasa, pagar ini tidak perlu dibangun!” Oh, ternyata ini adalah pekerjaan para penguasa.
Aku benar-benar tidak menyangka. Tubuhku menjadi pagar yang membatasi antara dunia nyata dan kepalsuan. Mereka menyebut kami pagar laut. Bentangan air raksasa ini namanya laut. Mereka menggunakanku untuk menyembunyikan kebenaran. Aku tak sudi melakukan pekerjaan keji ini. Entah siapa yang dapat menolongku kini. Aku tidak ingin menjadi bagian dari tugas biadab ini. Aku tidak ingin masuk menjadi golongan mereka.
Orang-orang itu dapat membeli apapun kecuali aku. Tapi, aku hanya teronggok di sini tanpa mampu bergerak sedikit pun. Aku masih berharap, ada yang menolong kami.
Beberapa jam setelah itu, orang-orang berdatangan. Jumlahnya amat banyak. Aku mengira mereka adalah orang-orang baik. Tebakanku tak salah. Aku tak melihat mereka membawa karung.
Mereka mulai menyusuri air. Mereka mendekat. Sentuhan mereka terasa kasar. Mereka mencabutku dengan asal. Lalu aku dihempaskan sekuat tenaga.
“Hentikan!” Aku tidak tahu mengapa semuanya cepat berlalu. Mereka mencabut seluruh kayu yang menancap di pinggir laut.
Sia-sia saja, tidak ada yang mendengar. Wajah mereka seperti orang kelaparan. Aku tidak tahu apakah kami akan dimakan. Aku tidak pernah mendengar bahwa kami dapat dimakan.
Mereka terus berjalan hingga ujung. Orang-orang itu sudah berhasil mencabuti setengah barisan kayu. Mereka akan mendekat ke sana. Ke tempat persembunyian jasad. Teruslah mendekat, temukan kebenarannya. Kalian harus tahu.
Aku tidak tahu apakah mayat-mayat itu masih berada di sana atau sudah berkelana bersama riak ombak. Seharusnya mereka juga mulai mengendus aroma busuk. Semoga mereka dapat menemukannya.
Mereka nyaris tiba pada beberapa kayu terakhir. Sepertinya tidak ada yang menyadari keberadaan mayat di sana. Seharusnya mayat itu sudah ditemukan. Aku ingat persis letaknya tak begitu jauh dari posisi kayu terakhir. Sesekali aroma busuk bercampur asin juga masih menghampiriku. Aku yakin, mayat itu masih di sana.
“Teman-teman, lekas kemari!” Nah, kerja bagus. Sosok bertubuh jangkung di ujung sana sepertinya sudah menemukannya.
Empat orang menghampiri sosok tersebut. Mereka menunduk sembari berbicara. Dua orang mulai berjongkok dan mengangkat sesuatu.
“Itu dia! Itu karung yang kemarin. Mereka menemukan semuanya.” Aku berteriak seperti anak kecil yang mendapat es krim, meskipun tubuhku masih perih karena terhempas tadi.
Mereka membawanya ke dekatku. Semoga karung itu dibuka di sini. Aku juga penasaran isi karung itu, apakah mayatnya masih utuh atau sudah busuk. Kasihan, keluarganya pasti sedang mencari.
Lihatlah, mereka juga tergesa. Aku yakin, mereka juga penasaran. Karung dibuka secara serentak. Seseorang berteriak. Sontak seluruh perhatian orang tertuju padanya.
“Ternyata isinya boneka. Boneka yang tidak biasa.” Ya, boneka itu berdarah. Aku yakin, masih ada rahasia di sana.
Benar saja, di sana tertulis, “Selamat Jalan Kejujuran”, “Selamat Jalan Keadilan”, “Selamat Tinggal Hati Nurani”.