Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Hafidzah Fatma Gardilla | Laut Bercahaya di Negeri Nestapa

 Cerpen Hafidzah Fatma Gardilla




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Orang-orang menyebutnya negeri nestapa. Negeri yang wajahnya tenggelam dalam kesedihan, seperti lautan yang perlahan kehilangan napasnya. Laut, yang dulu menjadi jantung kehidupan kini terancam oleh proyek yang tak henti merusaknya. Bayangkan saja, di negeri ini, rakyat yang bergantung pada laut mulai bertanya-tanya, apakah laut yang mereka cintai akan bisa bertahan? Negeri dimana ombak yang dulu menyambut dengan pelukan hangat kini berubah menjadi gelombang dahsyat yang menggulung harapan. Laut yang dulu memberi nafkah kini menjadi benteng raksasa yang menutup mata, dikendalikan oleh tangan-tangan yang hanya mengenal angka. Di sini, nelayan yang dulu berlayar bebas di pelukan Samudra mulai terkurung dalam perangkap yang tak terlihat. Laut yang dulu mengalirkan rezeki kini menjadi kuburan bagi impian mereka, tenggelam dalam gerbang yang hanya dibuka bagi segelintir orang.


Angin pesisir berbisik lembut, membawa cerita lama yang terpatri di antara ombak dan pasir. Laut yang dulu menyapa nelayan dengan kehangatan kini berdiri muram, terkurung pagar bambu tinggi yang menjulang bak tembok penghalang antara kehidupan dan kebebasan. Bahkan ombak pun tampak enggan menyentuh tepian, seolah terluka oleh sekat yang dipaksakan kepadanya. Di Negeri Nestapa ini, Irham berdiri di tepi pantai, matanya menerawang ke arah horizon yang kini terasa semakin jauh. Di sampingnya, Kakek Ruslan menghela napas panjang, suaranya parau seperti desiran angin yang berbisik melalui celah- celah pohon kelapa tua.


"Jika laut benar-benar ditutup, ia akan pergi," gumam Kakek Ruslan. Matanya yang keriput menatap nanar pagar-pagar yang memisahkan mereka dari samudra.


Nun jauh disana, mulai banyak warga yang menggerutu tentang hal tersebut


Di desa, keluhan para nelayan semakin menjadi-jadi. "Kami tak bisa melaut! Bagaimana kami memberi makan anak-anak kami?" seru seorang lelaki tua berkaus lusuh.


"Ikan-ikan itu kini milik mereka, bukan milik kita lagi," sahut yang lain dengan getir.

 

Tak jauh dari sana, anak-anak yang biasa bermain di tepi pantai hanya bisa menatap hamparan bambu itu dengan raut kecewa. "Pantai kita hilang! Sekarang, di mana kita bermain?" rengek seorang anak kecil, air matanya menggenang seperti butiran mutiara yang jatuh ke pasir.


Bukan hanya nelayan dan anak-anak yang kehilangan kebebasannya. Para pedagang kecil yang biasa menjajakan dagangan di tepi pantai kini harus mencari tempat lain. Siti, seorang ibu yang menjual es kelapa, hanya bisa menatap gerobaknya dengan tatapan kosong. Biasanya, muda-mudi atau segerombolan pelanggannya yang masih remaja datang ke pantai untuk menikmati senja sambil membeli es kelapanya, tawa mereka mengisi udara seperti musik riang. Kini, tak tampak satu pun, seolah senja pun enggan datang tanpa mereka, membiarkan langit tak lagi berwarna hangat. Gerobaknya berdiri lesu, seakan meratapi nasibnya yang tak lagi menyapa pelanggan. Angin laut yang dulu setia membawa aroma kelapa segar kini berhembus malas, seolah enggan menyentuh pasir yang mulai sepi


"Dulu, orang-orang datang menikmati es kelapa sambil menunggu senja yang hangat itu tenggelam. Sekarang, siapa yang mau datang ke pantai yang dipagari?" suaranya lirih, seperti daun kering yang terinjak.


Pagar bambu itu berdiri angkuh, menutup pandangan pantai yang dulu terbuka lebar bagi siapa saja.

Setelah sekian lama warga memendam rasa sakit dan harapan yang terpendam dalam hati, bagaikan lautan yang dalam namun penuh gejolak, mereka tak bisa lagi menahan luapan amarah yang terus menggelegak. Sekian lama mereka menunggu, berharap seperti pelabuhan yang menanti kapal yang belum kembali. Waktu yang terus bergerak terasa semakin mempersempit harapan mereka, hingga akhirnya, batas kesabaran pun terkoyak. Kemarahan warga akhirnya meledak dalam sebuah demonstrasi besar di depan kantor kepala desa. Spanduk-spanduk berwarna mencolok berkibar di udara, bertuliskan "Laut untuk Rakyat!" dan "Buka Pagar Laut!" Suara orasi bergema di tengah panas terik, dan Irham berdiri di antara massa.


"Pak Kepala Desa, kami menolak ini! Laut adalah sumber mata pencaharian kami!" teriak seorang pemuda dengan lantang.

 

Kepala desa hanya menggeleng, wajahnya tegang. "Kami tak bisa berbuat apa-apa. Ini sudah jadi kebijakan di atas sana." Suaranya berat, seperti batu yang terjatuh dari tebing.


"Lalu, siapa yang akan peduli pada kami?" tanya seorang ibu penjual ikan bakar, wajahnya penuh keputusasaan.


Kecewa, Irham dan para warga pulang dengan hati yang gundah. Malam itu, ia tak bisa tidur, terus memikirkan cara untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di desanya. Keesokan harinya, di sekolah, Irham dan teman-temannya duduk mengitari meja, membicarakan cara lain untuk melawan. "Harus ada cara lain," ucap Irham dengan suara serak.


"Kita bisa viralkan ini! Lihat kejadian di warung ikan bakar kemarin, gara-gara viral di media sosial, akhirnya pembeli rusuh itu membayar utangnya," celetuk teman Irham.


"Kalau begitu, kita buat angket digital, biar semua orang tahu!" usul yang lain.


Mereka bekerja keras, menyebarkan cerita dan ketidakadilan ini ke dunia maya. Irham dan sahabat-sahabatnya masuk ke setiap kelas di sekolah mereka, meminta teman-temannya mengisi angket online mendukung pencopotan pagar laut yang merugikan banyak pihak. Dengan semangat menyala, mereka menjelaskan situasi yang dialami warga pesisir. Beberapa teman awalnya ragu, tetapi ketika melihat bukti dan mendengar kisah nelayan yang kehilangan mata pencaharian, mereka ikut bergabung dalam perjuangan ini.


Perlahan, gelombang perhatian pun datang. Komentar dan unggahan dari netizen membanjiri media sosial, mendukung perjuangan warga pesisir. Hingga akhirnya, suara mereka sampai ke telinga pihak berwenang. Tagar #BukaPagarLaut mulai menjadi trending di media sosial. Banyak selebritas ikut menyuarakan ketidakadilan ini. Televisi nasional menayangkan liputan khusus, dan media massa besar mulai menggali lebih dalam. Para jurnalis mendatangi desa pesisir itu, mewawancarai nelayan, anak-anak, dan para pengunjuk rasa.


"Ini adalah contoh nyata bagaimana media sosial bisa menjadi senjata rakyat kecil," ujar seorang reporter dalam siaran langsung di televisi.


Tentu, berikut adalah versi yang lebih panjang dengan tambahan deskripsi dan perasaan:

 

Di malam yang gelap, alam mulai berbicara dengan suara yang tak bisa diabaikan. Angin bertiup kencang, bagaikan roh yang melintasi ruang dan waktu, mengguncang pagar bambu yang berdiri angkuh di laut. Pagar yang dulu dianggap kukuh kini tampak rapuh, terguncang oleh hembusan angin yang penuh amarah. Ombak bergulung tinggi, seolah menentang aturan yang telah dipaksakan padanya, menerjang batas-batas yang tak seharusnya ada. Seperti sebuah janji yang tak pernah ditepati, lautan menolak dipenjara oleh pagar-pagar yang mengekangnya. Pohon kelapa di tepi pantai melambai resah, dahannya menampar- nampar udara seolah menolak kebisuan yang terlalu lama dibiarkan. Daun-daun yang berguguran menyatu dengan hembusan angin, seperti bisikan-bisikan yang ingin membebaskan laut dari belenggu yang mengikatnya.


Laut, yang dulu menjadi sumber kehidupan dan harapan, kini seperti menyimpan dendam yang tak terucapkan. Gelombangnya yang keras meninju pagar yang membelenggunya, seolah memanggil petir dan hujan untuk ikut bersaksi. Laut meraung, bukan dengan kata-kata, tapi dengan bahasa yang hanya dipahami oleh angin dan bulan, yang telah lama menjadi saksi bisu dari segala penderitaan. Keheningan malam menjadi saksi bisu dari pertarungan tak kasat mata, di mana alam mencoba merebut kembali kebebasan yang pernah diambil darinya. Dalam hitungan jam, pagar-pagar itu roboh satu per satu, hancur lebur dan terhanyut ke tengah samudra yang luas. Seolah lautan itu sendiri menolak dikurung, menuntut kebebasannya yang telah lama dirampas.


Keesokan paginya, video kehancuran pagar laut meledak di seluruh platform media sosial. Algoritma seolah berbisik dari satu gawai ke gawai lain, menyebarkan kabar seperti ombak yang tak terbendung. Hashtag #KeadilanUntukNelayan berlari kencang, menduduki peringkat teratas trending topik dunia, mengguncang kesadaran banyak orang. Tekanan publik menggulung bak badai yang tak kenal ampun, memaksa pemerintah turun tangan. Berita mengenai kejanggalan sertifikat laut ini menyelinap ke telinga aparat, berbisik di antara berkas- berkas penyelidikan. Investigasi pun dilakukan, dan terbukti bahwa sertifikat itu tak lebih dari secarik kertas rapuh yang tak diakui lautan. Mereka yang bertanggung jawab dihantam gelombang keadilan, dan lautan akhirnya kembali ke pangkuan rakyat.


Konferensi pers digelar, dan kata-kata permintaan maaf meluncur dari bibir pejabat tinggi, meski tak cukup untuk meredam gelegak kemarahan mereka yang telah lama tertindas. Kebijakan yang mencengkeram laut pun akhirnya runtuh, seperti pasir yang tersapu ombak. Kini, desa pesisir itu tak lagi muram. Matahari tersenyum hangat, membelai wajah anak-anak

 

yang kembali berlarian di pasir pantai. Nelayan melaut tanpa rasa cemas, sementara angin laut bernyanyi merdu di antara layar perahu mereka. Aroma ikan bakar membubung ke langit, seakan memberi tahu semesta bahwa kehidupan telah kembali. Orang-orang menyebut tempat itu sebagai "Laut Bercahaya," sebab asal muasal dimana cahaya harapan menolak padam di hati mereka yang berjuang.


Irham berdiri di tepi pantai, membiarkan angin laut membelai pipinya. Di sampingnya, Kakek Ruslan tersenyum bijak, matanya menyimpan samudra kebijaksanaan.


"Kita tak pernah bisa benar-benar mengurung laut, Nak. Karena laut, seperti halnya harapan yang selalu menemukan jalannya."