Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Hafizh Al Fayyadh | Pagar Lama Cerita Lama

Cerpen Hafizh Al Fayyadh



 (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Masa lalu, adalah momentum yang sekiranya tersisa sebagai kenangan. Kini bahkan harapan pula, tercecer hilang terbawa ambang lautan, laun terkikis hingga perlahan ia menghilang.


Nama ku tanggang, 10 tahun sudah berlalu sejak ayah ku turut meninggalkan aku. Entah karena alasan apa ia berlabuh begitu jauh, dan ibu ku meminta untuk tak pernah mempertanyan permasalahan itu.


Kini aku berumur 15 tahun, sering nya berkelana telanjang kaki mengitari laut untuk menghidupi ibu dan diri sendiri. Tak ada waktu untuk ku bersekolah sebab kesibukan yang menahan nya.


Dan tak ada waktu pula untuk mengeluhkan nasib, sebab ibu ku sudah menunggu begitu lama.


“Tanggang!!”, jerit suara yang begitu familiar bunyi lengking nya, penyokong terbaik di tiap tiap duka membutakan diri ku sepenuh nya. Uti nama nya, teman ku yang sejak kecil menemani senggang ku hingga berdiri mencari sesuap nasi untuk diri sendiri.


Sebelum terlepas dari lamun ku, terlanjur ia yang lebih dulu menggam tangan ku yang selalu nya lepuh terkapar mentari, di tambah senyum nya yang selalu mengisi gelap ku di dalam hati.


“..Tanggang..”, ucap nya terhela sebab habis berlari mencari aku, tak seperti biasa nya dia terlihat begitu pucat. Sigap, aku balik menggenggam tangan nya mencoba merilekskan kondisi nya yang saat itu tengah tersengal.


“..Tadi, Uti ngelihat ada segerombolan mobil hitam datang…”, ucap nya setelah berhenti tersengal untuk sejenak. Balas aku dengan mengangguk, dan kembali membelas nya dengan senyuman.


“..Paling cuma tamu ti, kamu mah kebiasaan kalau ada apa apa pasti panik nyariin aku..”, terselip nyengir pada bibir ku, menginggat betapa ia sangat mengandalkan aku setiap kali mendapati hal hal yang baru dalam hidup nya.


kami pun beranjak dari berdiam diri, dan masih bergandeng tangan melangkahkan kaki untuk mencari tau siapa kah sosok tamu yang baru saja di ceritakan Uti.


Dan dari kejauhan, kami mendapati pemandangan yang cuku puntuk menggambarkan ciri fisik para tamu yang saat itu tengah berkunjung ke rumah kepala desa. Mereka semua berpakaian batik dengan berbagai pola besertra warna yang berbeda, sepatu kulit hitam legam, dan beberapa ada yang menggunakan kacamata hitam untuk menghalangi kesilauan.


Tak beberapa lama mereka bercakap cakap dengan sang kepala desa. tidak disangka suasana yang awal nya tampak biasa biasa saja, meledak secara tiba tiba. Bapak kepala desa yang tiba tiba memukul kepala salah satu tamu yang ada disana, dan melontarkan caci maki seolah nya memang ada sesuatu yang memancing nya untuk melakukan nya.

 

Uti memanglinkan kepala, beralih kepadaku yang sedari tadi mengamati bersama nya “..Tanggang..”, ucap nya lembut yang membuatku membalas mata dengan nya dan mengangguk.


“..Pak kepala desa kenapa ya? kok tiba tiba tamu nya di pukul?..”, tanya dia dengan polos nya.


“..Mungkin Pak kepala desa sedang masem kali ti..”, balas ku, di sampingi dengan senyuman untuk menenangkan Uti.


masih dari kejauahan, Pak kepala desa masih terus saja melontarkan caci bersama dengan pukulan tongkat yang tampak nya membabi buta. Beberapa warga yang datang kesana hanya bergerombol tanpa ada sedikitpun usaha untuk mencoba melerai. Semua orang tau bahwa Pak kepala desa adalah orang yang paling bijak di desa ini, jadi tidak ada yang berani menghentikan perbuatan nya kecuali mereka yang memang yakin untuk meragukan nya.


Pernah pula dulu ada sebuah kejadian dimana Pak Kepal desa dibawa lari kerumah sakit, Bukan, bukan karena dia terluka ataupun terkena penyakit, melainkan hanya ingin menguji ketangkasan SDM di sekitar untuk seandai nya memang akan ada musibah dah lain nya. Meski bisa dibilang cukup gila, Kami selaku warga selalu memandang nya sebagai orang yang paling bijaksana terhadap warga nya.


berseling waktu kemudian, tamu yang baru saja dipukuli habis dari tadi terkapar di tanah tak berdaya. Nafas dari pak kepala desa pun juga tampak nya sudah terengah, dan akhir nya pak kepala desa menunjuk mereka untuk segera pulang saja. Bergeraklah tamu tamu itu sembari membantu teman nya yang tadi terkapar di tanah.


Dan dengan mobil hitam besar mereka, langsung menancapkan gas dan pergi meninggalkan desa.


dan hingga waktu waktu berikut nya mereka tak pernah lagi tampak batang hidung nya, dan tak seorang pun warga ada yang tau alasan Pak kepala desa mengusir mereka.


10 tahun kembali berlalu, banyak hal yang berubah terutama hubungan ku dengan Uti. Kami bukan lagi sahabat dengan yang selalu nya berkelana bersama dengan bertelanjang kaki, kini kami sudah dewasa dan menjalani peran kami masing masing. Uti kini menjadi ibu rumah tangga, tidak lagi sebebas dulu semenjak perut nya mengembang sebab mengandung anak nya. Tapi tetap saja senyum nya itu tidak pernah luntur dari wajah nya. Sedangkan untuk aku sendiri, aku masih saja berkelana mencari nafkah di ketepian pantai desa. Bukan. Bukan lagi untuk menghidupi ibu, melainkan untuk menghidupi Uti dan anak nya yang sekaligus anak kami.


Alur hidup hanya bergerak sedikit, dan tak begitu berubah secara spontan, dan aku masih menggenggam nasihat ibu untuk tak akan pernah mengeluhkan perjalanan.


Pak kepala desa sudah menghela nafas terakhir nya pada 5 tahun yang lalu. Meninggal dengan penuh kehormatan walaupun tak sepeserpun meninggalkan sebuah warisan. Dan jabatan nya sendiri digantikan oleh sang Anak kepala desa, temurun sifat dari ayah nya ia tidak pernah melakukan apa pun selain berjasa untuk warga desa sikap nya yang kokoh dan juga berani sebab menjadikan ayah nya sebagai panutan.


Hidup berjalan baik baik saja sejak perpindahan kepemimpinan saat itu, walapun tak dapat di gambarkan dalam kondisi yang paling makmur tetap saja kami tidak pula berada pada

 

posisi yang paling sukar. Uti tidak pernah mengeluhkan untuk tinggal dibawah atap yang terbuat dari dedaunan kelapa dan berdindingkan tipis kulit pohon. Hidup kami cukup tercukupi dan itu adalah hal terpenting bagi Uti. Tapis dalam kondisi kehamilan tua saat ini hanya sekedar tercukupi bukanlah hal yang cukup sebab akan ada nya dinamisme mendadak yang akan terjadi kapan saja dan artinya akupun harus bekerja lebih keras untuk menghidupi keluarga kecil kami di rumah selaku akulah kepala keluarga.


Anak pak kepala desa sendiri juga bersedia untuku membantu jika saja ada kecemasan ataupun hal hal yang membutuhkan perhatian khusus kepada calon ibu dan calon anak ku yang akan segera lahir, tidak sedikit pula yang menawarkan diri untuk selalu siap siaga membantu apa bila ada nya keharusan untuk segera di beri tindakan.


semua orang di desa ini hidup rukun tanpa ada satupun yang mempermasalahkan ataupun menyusahkan.


namun hari itu berbeda dengan hari biasanya, kisah kedatangan tamu 10 tahun yang lalu kembali mengisi desa ini. Para tamu itu datang lagi, kini dengan membawa pasukan dan begitu banyak persiapan. Tanpa banyak basa basi mereka langsung menaiki kapal dan menancapkan pilar pilar bambu di daerah tempat para nelayan berternak ikan.


“..Ngapain kalian?”, teriakan tegas anak kepala desa yang saat itu mendatangin tempat kejadian perkara.


seketika. Duarr!! suara peluru melesat cepat dan membuat bisa sang anak kepala desa, pecah jantung nya di tempat ia berdiri sebelum nya.


beberapa warga ada yang ketakutan dan ada pula yang merasa geram. Beberapa beranjak maju dan satu persatu mati tertembak peluru. Sedangkan yang terlambat melarikan diri ikut pula terhempas di tanah tempat kelahiran sendiri.


Aku hanya memperhatikan dari kejauhan setelah pulang dari pelayaran tadi malam, dan tanpa basa basi terkocar kacir meninggalkan daerah pantai dan mencari Uti.


Sesampai nya aku dirumah, ku lihat Uti yang tersungkur lemah di atas sejadah.


“..Sayang.. Uti.. kamu kenapa?” tanya ku sebelum akhir nya turun berlutut menggapai kedua tangan nya yang pucat. Tapi Uti hanya terdiam. Dan aku langsung memeluk nya erat. mengetahui bahwa Uti telah mendengar suara peluru yang menjadi trauma nya di masa lalu.


Singkat cerita, desa ini tak lagi aman untuk dihuni.


konstruksi bangunan sedang di tindak lanjuti untuk membangun pagar laut secara ilegal. Entahlah, aku sendiri tidak mengerti apa maksud nya.


Beranjak lah kami dari desa tempat kelahiran aku dan juga Uti, sebab kami masih punya seorang buah hati yang tak seharus nya disambut dengan adegan seperti ini.


maruk nya nafsu seorang manusia, merusak jembatan masa depan penerus nya. terbutakan harta di atas dunia. hingga tak ingat dengan pesan ibu nya. Dalam nya lautan menghanyutkan. Gelap nya kenyataan memusnahkan.