Cerpen Hartari
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pulang melaut, wajah Toi terlipat. Tidak seperti biasanya. Dia muring-muring. Kepada siapa kalimat-kalimat itu ditujukan. Entah. Mungkin lelaki itu jengkel pada dirinya sendiri. Istrinya tidak berani bertanya. Tentu saja sesuatu hal telah membuat suaminya seperti itu. Jika sudah begitu, istrinya akan segera menyingkir, menyibukkan diri di dapur.
Namun, tidak demikian dengan Raki, anaknya. Bocah sekolah dasar itu segera menghampiri bapaknya. Sembari menyodorkan secangkir kopi dan kudapan dia bertanya, “Bapak marah sama siapa?”
Wajah bapaknya memang tidak merah padam. Tapi mulutnya tidak berhenti berbicara. Mengomel lebih tepatnya. Kalimat kejengkelan susul menyusul. Di ujung sana, salah seorang temannya pun ikut menimpali. Lalu temannya satu lagi ikut menambahi. Mereka tidak sedang bertengkar. Mereka juga muring-muring. Tapi muring-muring pada siapa?
“Siapa yang menyuruh?”kata temannya
“Mereka juga tidak tahu,” jawab lainnya.
“Tapi pasti mereka disuruh.”
“Tentu saja jelatan kayak mereka cuma ikut perintah. Cuma siapa yang menyuruh?” tanya bapak.
Raki pernah mencuri dengar sebelumnya dari perbincangan orang-orang besar (maksudnya orang-orang dewasa) yang berkumpul usai melaut. Katanya, ada tumbuhan siluman yang tiba-tiba muncul di lepas pantai. Tumbuhan itu dengan cepat berbiak. Makin lama jajaran tumbuhan itu makin panjang. Perahu-perahu nelayan yang hendak berangkat dan pulang melaut terpaksa memutar. Namun, makin lama memutar makin jauh.
Tumbuhan apakah itu? batin Raki tanpa berani bertanya. Kalau tiba-tiba saja dia bertanya pada orang-orang besar itu, tentulah dia akan kena damprat karena menguping pembicaraan orang-orang besar.
Kebetulan ayah Raki tidak mencari ikan beberapa hari ini karena tidak enak badan Tapi berita-berita yang dibawa teman-temannya membuat dirinya ikut berang. Dan sore kemarin ayah Raki ingin melihatnya sendiri.
“Tumbuhan siluman, Pak? Bapak sedang ngomong tentang tumbuhan siluman di laut? Seperti apa, Pak?” rasa ingin tahu Raki bertambah saat bapaknya pulang melaut dan benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri.
“Bukan tumbuhan siluman.”
“Tumbuhan apa?”
“Bambu.”
Oh...Mengapa disebut siluman.
Dahi Raki berkerut. Sepengetahuannya, tumbuhan yang hidup laut adalah kelapa, seperti di gambar-gambar. Itu pun di pantai, bukan di laut. Bagaimana bambu bisa hidup di laut? Apakah bambu itu ditanam siluman laut? karena tiba-tiba saja ada dan berkembang biak memanjang. Panjang sekali. Berderet deret katanya.
“Bambu bisa hidup di laut?”
“Bukan hidup di laut. Ada orang memasang bambu di sana.”
Oh...bukan siluman laut yang menanamnya.
“Untuk apa?”
Bapaknya angkat bahu. Lelaki sederhana yang tidak lulus sekolah dasar itu memang belum tahu tujuan pemasangan bambu-bambu itu. Tapi jelas-jelas sangat mengganggu dan merugikan nelayan kecil seperti dirinya dan teman-teman.Ongkos solar membengkak, waktu tempuh ke titik tangkapan juga semakin lama. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana.
Raki semakin penasaran. Dia pernah mendengar teman-temannya ada yang bilang, pagar itu untuk memecah ombak. Biar ombaknya tidak sampai ke pinggir, tidak menggerus daratan.
Teman-temannya pun mendengar alasan itu dari orang-orang besar. Orang-orang besar yang mana? Batin Raki.
“Katanya bu guru, biar daratan tidak tergerus, harus menanam bakau,” bantah Raki, “tapi pohon bakau itu tidak dipasang, tapi ditanam. Tidak tiba-tiba muncul,” tambahnya.
*
Keesokan harinya, Raki bertanya lagi pada bapaknya yang sedang memperbaiki jarring.
“Kata teamn-teman, bambunya dipasang untuk memecah ombak. Benar Pak?”
Bapaknya yang masih dilanda risau menjawab dengan nada tinggi, “kata siapa?”
“Teman-teman.”
Ayah Raki hanya mendengus. “Anak kecil tidak usah ikut-ikutan bicara pagar bambu di laut.”
Raki menghela napas. Dia tidak jua mendapat jawaban yang memuaskan. Bu guru pun tidak mau berbicara tentang itu. Orang-orang besar takut.
Raki mengira-ngira. Pagar adalah sesuatu yang digunakan untuk membatasi. Membatasi rumah dengan jalan raya. Berarti pagar laut itu pun untuk membatasi. Mungkin saja untuk membatasi nelayan agar tidak jauh-jauh melaut. Tapi aneh sekali. Bukankan titik tangkapan jaraknya jauh di sana, di luar pagar pagar. Apakah bapaknya dan teman-teman tidak boleh mengambil ikan di sana. Hanya boleh di dekat-dekat saja?
Atau bisa jadi pagar laut itu untuk membatasi agar kapal-kapal tidak masuk dekat-dekat wilayah tempat tinggalnya. Raki ingat menteri yang membakar dan menenggelamkan kapal yang berani mengambil ikan di perairan nusantara. Bapaknya yang cerita. Dia sendiri belum pernah melihatnya.
Aha! Bisa jadi pembuat pagar laut ingin melindungi ikan-ikan supaya tidak ditangkap orang asing. Raki tetap saja terbelenggu tanya tentang bambu-bambu yang tumbuh eh bukan. Bambu yang terpasang di laut.
*
Ramai-ramai tentang bambu itu sudah berbulan-bulan. Semakin hari semakin panjang. Tiga puluh kilometer lebih panjangnya.
“Aku hanya minta beberapa meter saja untuk keluar masuk kapal. Tapi hanya segini diberinya,” teman Toi menjelaskan, “jelas tidak bisa kapalku melewatinya.”
“Bayangkan tiga puluh kilometer. Berapa jauh kita memutar?” celetuk yang lain. Raki menguping obrolan bapaknya dan teman-temannya. Serius sekali. Kalimat orang besar susah dimengerti.
Usai obrolan, Raki mendekati bapaknya di masih duduk di amben depan rumah.
“Apakah tidak bisa dicabut? Biar bapak tidak usah memutar jauh ke sana.”
“Kamu nguping?”
Raki tidak menjawab. “Bisa dicabut?” ulangnya.
“Kita bisa ditangkap.”
Siapa yang menangkap? Mungkin saja orang yang memasang pagar laut itu orang hebat. Dia bisa menangkap orang yang mencabutnya. Batin Raki.
“Hanya dicabut. Kita tidak mencuri. Nanti bambunya dikembalikan,” Raki mengawur.
“Anak kecil jangan cerewet.”
“Orang yang menyuruh memasang pasti orang kaya.”
Bapaknya mengangguk.
“Bisa beli bambu banyak.”
Bapaknya mengangguk lagi.
“Kalau diambil beberapa saja agar kapalnya bapak dan teman-teman bisa lewat, tidak apa-apa, to. Dia bisa membeli lagi.” Raki yang polos mengada-ada.
“Laut yang sudah diberi batas itu milik orang.” Tiba-tiba bapaknya mengatakan sesuatu yang tidak dipahaminya.
“Orang siapa?” Raki tercenung. “Tidak bisa.”
Bocah itu segera masuk ke kamar, mengambil buku kecil tipis yang telah kucal sampulnya. Buku itu disodorkan pada bapaknya. Bapaknya menggeleng. “Kamu saja yang baca. Bapak tidak lancar bacanya.”
Raki bersuara lantang. Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Air itu termasuk air laut kan? Berarti laut pun punyanya negara kan? Bukan punya orang. Mengapa kalau punya negara harus di pagari? Mengapa bapak dan teman-teman tidak boleh lewat seperti biasanya. Mengapa larangan itu baru berlaku berbulan-bulan ini. Mengapa tidak dari dulu?”
Bapaknya menggeleng.
“Semoga ada kabar baik.”
“Kabar baik apa?”
“Semoga perjuangan kita ada hasilnya.”
“Bapak berjuang? Melawan siapa?”
Toi meninggalkan Raki yang masih bertanya-tanya.
*
Kabar terus bergulir. Semakin keras gaungnya. Semua orang bisa melihatnya. Dari menguping obrolan orang-orang besar Raki tahu, pagar itu telah dicabut. Beberapa orang yang telah bernazar membotaki kepala mereka. Toi pun ikut cukur gundul. Mereka gembira.
“Pagarnya sudah dicabut?” tanya Raki penasaran.
Bapaknya mengangguk.
“Semoga kata-kata di buku yang kau baca tentang air milik negara untuk kemakmuran rakyat benar. Laut ini milik kita.”
“Milik kita?” Raki tidak percaya.
Bapaknya mengalihkan pandangan ke laut lepas. Semoga laut itu milik kita selamanya, bisiknya gamang.
***