Cerpen Cahaya Daffa Fuadzen
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Hening laut yang ingin berkunjung itu seperti membawa bau garam yang bercampur dengan sesuatu yang lebih tua dari sekadar waktu. Hening lalut yang dulunya dikenal selalu menyusup ke celah-celah rumah, berkumpul dan bermain di antara jemari anak-anak yang berlarian, mengacak rambut dan sesekali menerbangkan topi nelayan yang ingin segera pulang dengan perahu penuh tangkapan ikannya. Semua itu perlahan sirna, ketika angin dan hening laut terbentur oleh batang-batang kayu yang berdiri sejajar, membentang di tengah tubuh laut, merapatkan barisannya dan membentuk barikade, menghempas kembali ke laut, seolah-olah dilarang masuk ke desa mereka. Teluk Parukarta namanya, begitu ketakutan, terkurung dalam sesuatu yang tak seharusnya dikurung. Sudah tidak mampu lagi hening laut itu menyentuh pasir-pasir itu dengan lembut.
Segala sesuatu adalah tentang laut. Seringkali ombak yang datang ingin memberikan sebuah pesan kepada mereka yang tahu betul cara mendengarkannya, dengan asin udaranya membentuk ingatan di dalam sel-sel tubuhnya, beserta cahaya senja yang jatuh di atas air seperti doa yang tak pernah dikabulkan. Tapi apalah daya, para pemangku proyek selalu ingin lebih. Mereka ingin laut hanya ada dalam sebuah dongeng penghantar tidur, dalam lukisan mural di dinding kota, dalam foto monokrom beserta figura yang mereka pamerkan secara rapi di dalam galeri, para pemangku proyek itu membangun pagar laut bak jeruji besi bui, dengan dalih keamanan, kemajuan, peradaban, melindungi pesisir dari abrasi dan gelombang besar. Tapi apalah daya, semua itu hanya bualan, sebuah keniscayaan yang fana, bagaikan orangutan yang terjebak dalam kurungan.
Tak ada lagi ombak yang merayap ke pantai, tak ada lagi nelayan yang berangkat tanpa kepastian. Mereka menggantikan suara hening laut dengan musik yang diputar dari pengeras suara sambil menyebarkan selebaran program yang dibagikan dari rumah ke rumah.
“Laut ada di hati kita. Laut tetap bersama kita. Laut tak pergi kemana-mana”, kata mereka dengan lantang.
***
Laut tidak lagi terlihat dari sudut desa. Angin asin terhalang dan udara menjadi lebih berat, seperti paru-paru yang enggan menghirup sesuatu yang asli. Nelayan kehilangan jalannya; tanpa pemandu alami, mereka tersesat di laut, beberapa tak pernah kembali. Anak-anak yang dulu bermain dengan air asin kini tumbuh tanpa mengenal sentuhan ombak. Di pasar, ikan semakin langka, hingga akhirnya mereka membeli ikan dari kota lain yang tidak memiliki laut, hanya kolam-kolam budidaya buatan saja.
Ketika malam hari mulai tiba, beberapa warga desa mengaku mendengar suara deburan dari dalam mimpi tidur mereka, seakan-akan ombak yang dulu ada di luar rumah, kini masuk ke dalam kepala. Para nelayan yang kehilangan pekerjaan mulai meracau sendiri tanpa sebab di lorong-lorong sempit. Sebagian orang bermimpi bahwa tubuh mereka dipenuhi sisik dan tumbuh terumbu karang, mereka juga terbangun dengan tangan yang dingin seperti air. Sementara itu, pagar laut tetap berdiri kokoh, tak tergoyahkan.
***
Seseorang anak desa bernama Damar mulai merasakan kejanggalan. Ia pernah menjadi anak dari nelayan ulung, tumbuh dengan aroma garam di kulitnya, dan sekarang bekerja sebagai pegawai administrasi di Dinas Kelautan dan Perikanan. Ia melihat lau yang dulu ia kenal tak lagi ada. Ia bertanya kepada para pejabat di kantornya, yang hanya menepuk pundaknya dan berkata, "Tak perlu memikirkan yang tak lagi ada." Ia bertanya kepada ibunya, yang hanya menutup jendela dan berkata, "Laut tak pernah hilang, hanya kita yang berhenti melihat."
Damar adalah orang pertama yang menyadari ada sesuatu yang aneh dalam laut. Suatu malam, Damar keluar dari rumahnya untuk segera pergi ke arah pantai dan mendekatinya. Sesampainya, Damar berdiri tepat di hadapan pagar laut yang menjulang tinggi dan berjejer lalu mengamatinya dan seksama. Entah apa yang menggerakan Damar untuk melakukan sesuatu yang dirasa absurd. Ia perlahan menyungkurkan badannya dan menempelkan telinganya di atas permukaan pasir yang bergelombang dan penuh langkah kaki itu. Benar saja, Damar merasa terkejut ketika Ia mendengar sesuatu—bukan sekadar ombak, tapi suara orang-orang berbicara, seolah-olah ada kehidupan lain di baliknya. Ia mendengar gelak tawa anak-anak, dentang kapal yang bersandar, nyanyian para nelayan yang kembali dari perjalanan panjang. Ia seketika terbangun dari sujudnya dan berjalan dengan mundur perlahan dalam keadaan kepala pening, sambil mengelap keringat dingin di tengkuknya. Ada sebuah kota dibalik laut dan pagar? Bagaimana bisa?
***
Pada malam yang lebih larut, Damar bersama yang lain berkumpul di depan pagar laut itu. Mereka menempelkan telinga mereka ke dinding dan mendengar hal yang sama. Kali ini, bukan hanya napas, tetapi juga suara yang samar. Seperti suara orang berbicara, tetapi dalam bahasa yang tidak mereka mengerti. Sejak malam itu, banyak orang mulai mendatangi pantai, sekadar untuk mendengar. Nelayan tua, yang kini menganggur, duduk berjam-jam di tepi pagar laut, berharap mendengar bisikan gelombang yang pernah mereka kenal. Beberapa berdoa, menganggap pagar laut itu sebagai perantara bagi laut yang marah. Ada yang mulai bermimpi aneh—tentang tangan yang mencoba keluar dari dasar laut, tentang ikan yang berbisik dalam bahasa manusia, tentang laut yang menangis.
***
Ada satu orang yang sangat terganggu dengan semua ini: Kepada Desa Teluk Parukarta, Pak Untung. Ia adalah orang yang mengusulkan pagar laut dan menjadikan proyek ini sebagai warisan kepemimpinannya. Ketika isu ini mulai menyebar, ia merasa terancam.
"Ini hanya omong kosong!" serunya dalam rapat darurat. "Jangan biarkan penduduk terpengaruh halusinasi massal. Laut tetap di sana. Kita tetap aman. Tidak ada yang berubah,” pungkasnya sembari pergi meninggalkan desa itu tanpa kejelasan.
Nyatanya, sesuatu ada yang berubah. Suatu pagi, seorang nelayan bernama Pak Rafi menghilang. Perahunya ditemukan terdampar di pantai, tetapi ia tidak ada di mana pun. Tidak ada jejak kaki menuju ke air, tidak ada tanda-tanda perkelahian. "Ia sudah menjadi bagian dari laut," bisik seseorang. Sejak itu, orang-orang mulai ketakutan. Mendengar hal itu, Damar mencoba untuk mengabaikannya, mencoba untuk berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi. Tapi pagar laut itu malah menunjukkan dirinya seperti bernafas. Kadang, pada malam-malam tertentu, terdengar seperti seseorang menangis di sela-sela pagar itu. Bahkan, beberapa orang bersumpah mereka melihat retakan di batang-batang kayu itu yang tidak ada sebelumnya, seolah-olah sesuatu dari dalam mencoba keluar.
Hujan mulai turun dengan lebat dan tanpa henti, angin mengguncang jendela, dan ombak menghantam pagar dengan kekuatan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Malam itu, penduduk berkumpul di rumah-rumah mereka, berdoa agar pagar laut tetap berdiri. Namun, Damar merasa ada yang salah. Ia berlari melewati hujan, mendekati pagar laut. Ketika ia tiba, ia melihatnya. Di tengah hujan yang begitu deras beserta badai yang menerjang, retakan pagar semakin berpotensi mematahkan pagar lautnya. Ketika pagar perlahan mulai roboh, sesuatu keluar dari laut—bukan ikan, tetapi bayangan. Bayangan manusia yang berjalan dalam diam, menghampiri Damar tanpa menoleh. Mereka adalah mereka yang telah hilang: Pak Rafi, para nelayan yang tidak pernah kembali, dan ratusan wajah asing yang tidak pernah dikenalnya. Mata mereka kosong, tubuh mereka basah oleh air asin, tetapi mereka tidak berbicara.
Saat pagar laut itu hancur, laut menerjang masuk, tapi bukan sebagai kehancuran. Justru, saat ombak melanda desa, warga merasakan sesuatu yang telah lama hilang: kebebasan. Angin laut kembali, ikan-ikan kembali, dan langit yang dulu tersembunyi di antara pagar laut kini bernapas lega. Di antara puing-puing kayu, Damar melihat Pak Untung berdiri kaku, menatap laut dengan mata yang tidak berkedip. Ia mencoba mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah, ia baru saja memahami sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Sejak malam itu, Teluk Parukarta kembali seperti dulu. Laut tetap mengambil sebagian tanah, tetapi juga memberi kehidupan. Nelayan kembali melaut, anak-anak bermain di pasir, dan suara napas di balik desiran pasir menghilang—karena pagar laut itu sudah tidak ada lagi. Mereka tidak pernah tahu mengapa pagar laut beserta pasir-pasir itu bernapas, mengapa ada bayangan manusia di baliknya, atau mengapa ia harus runtuh pada malam itu. Untuk pertama kalinya, laut berbicara kepada mereka. Tidak dengan suara manusia, tetapi dengan cara yang lebih dalam, dengan hembusan angin, dengan arus yang tenang, dengan ombak yang seolah membisikkan, "Kalian telah kembali."