Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Heri Haliling | Tirani Biru dan Isinya yang Terbelenggu

Cerpen Heri Haliling




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Dulunya tempat melabuh kapal kami ini adalah pesisir. Pasirnya sama putih dengan yang ada di sana, kira-kira 1 km jaraknya. Dulunya kami bermain bola di sini, sebelum gedung-gedung pencakar langit di sana mengecor tanah kami. Sebelum perumahan elit itu menyikuti rumah sehingga warga numpuk di pinggir sungai. Bangun rumah di sana bersesak-sesak sampai sang sungai susah bernapas. Di tempatku sekarang ini, lima tahun yang lalu tumbuh kebun kerumunan bakau. Tumbuhan teduh itu paru-parunya lautan. Selain sarang ikan, kepiting, dan kerang, bakau setiap hari rela bergoyang menahan deburan yang berakibat abrasi.


Nyatanya itu lima tahun yang lalu. Sekarang saksikanlah! Sepanjang 10 km dari sini adalah pancangan bambu yang dibuat sebagai tapal batas. Kemana kebun kami? Oknum super power di sana mencabutinya lalu menjelma sebagai pahlawan dari Negeri Nomaden ini. Pahlawan picik yang bertameng modernisasi pembangunan.


Aku merapatkan kapal dengan menarik laso yang kuikatkan pada pancangan bambu pagar ini. Riak ombak menggelitiki kapal kami menjadikannya oleng ke kanan dan ke kiri. Ku tarik terus hingga merapat pada anjungan.  Ku amati Rohmat, sahabatku masih sibuk mengeloni bubu-bubu rajungannya yang koyak di buritan kapal.  Sesekali sumpah muncul karena bubu penampung nasi untuk keluarganya itu hancur dihantamkan ombak ke pagar bambu. Aku nyengir sambil berjalan mengencangkan tali. Aku meloncat ke atas pagar. Campuran tanah dan pasir berbungkus karung menerapi kakiku. Aku injak lebih keras, bahkan ku ludahi sekalian. Tuhanku, reklamasi ini akan kubur kami sebagai kasta terendah sebentar lagi.


Biar kami persembahkan gugatan dari pesisir. Pagi itu sekitar 200 orang yang berprofesi sebagai nelayan di mana desanya terbelah pagar laut berkumpul menyampaikan aspirasinya ke kantor Dinas Kekayaan Laut. Pagar betis dari puluhan petugas tampak berdiri kokoh. Sementara itu spanduk-spanduk berisi  narasi keadilan dan penindasan terbentang melalui cengkraman tangan kami. 


Kesempatan baik ini tentu tak dilewatkan para wartawan. Sinar video dan jepretan kamera memeriahkan suasana. Banyak wawancara terjadi. Sebagai nelayan tentu hal tersebut buat kami kikuk. Menghindari perasaan itu aku yang diberikan kepercayaan sebagai pemimpin unjuk rasa lebih banyak menolak menjawab dan fokus pada orasiku sejak tadi.


"Korporasi busuk adalah dalang di balik pembangunan. Pagar itu bahkan sudah ada sertifikatnya! Bukalah hatimu Pak Birma! Bukan perkara seberapa tebal mereka membayar, tapi tentang nurani kalian yang telah tergadaikan. Percayalah, jika pagar laut ini diteruskan 10-15 tahun lagi, kita akan sama rata dalam sejarah hina kaum pribumi!" teriakku tegas tanpa sebutir debu ketakutan.


"Cukup melangkah lebih jauh! Tuduhan ini bisa celakakan kau dan keluargamu! Jika perkara solar dan sulitnya cari ikan karena bambu di sana menggantikan bakau dan terumbu karang, mungkin memang belum musimnya saja. Kerang hijau bisa kalian jadikan pilihan sementara."


Pak Birma selaku kepala dinas bersikeras bahwa tidak punya wewenang untuk itu. Seperti biasa, saling lempar kewenangan kemudian terjadi. Sementara aku makin jijik menyaksikan sesekali sesungging senyumnya itu berpelembab keringat dan sampah. Dalam pandangan rendahku, sekejab terdengar celetukan dari seorang pria tegap di depanku. Dia bagian dari petugas yang memagari kami.


"Jelata, pulang! Gelombang ini hanya akan jadi riak saat di pesisir. Urusi keluargamu atau kau akan jadi buangan!"


Aku memandang pria tegap itu. Apakah itu nasihat? Atau mungkin sebuah ancaman? Aku mengelakkan mata dan telingaku untuk provokasi ini. Aku terus mencecar kebijakan Pak Birma. Ku perhatikan beliau yang sedari tadi memegang mikrofon sudah meletakkannya. Maksdnya apa? Aku dan saudara-saudaraku maju menanyakan. Namun betapa terkejutnya aku saat sebuah ujung tongkat tersodor deras menumbuk hidungku.


Aku terhentak ke belakang karena kuatnya dorongan itu. Ambruk! Beberapa saudaraku memapah. Aku bingkai hidungku dengan tangan. Terasa perih dan basah. Darah? Sekonyong-konyong cairan itu merembes turun. Melihat penganiayaan tersebut murka memuncak sejadi-jadinya. Permohonan menjelma celaan. Pengaduan menjadi perlawanan. Sekejab tanpa satu kode picu, semua pendemo di pihakku segera maju mendobrak pagar betis. Tak terkecuali aku yang telah tersengat angkara. Tubuh bertemu tubuh, menghujam menjadi satu. Jepretan kamera bagai sniper menembaki kami. Cahaya itu bahkan ada dari atas pagar dan bangunan. Wartawan mencari berita sementara kami berontak realita.


Meskipun menjadi sebuah kerusuhan, melalu media dan surat pimpinan wilayah syukurnya saat itu kami terlepas dari penahanan.


Rohmat yang sudah selesai dengan bubu rajungannya ikut naik ke atas pagar. Lamunanku buyar dan dia berkata:


"Musa, apa kau sudah lihat berita belakangan ini?"


Aku menggangguk.


"Aku tak mungkin melewatkan itu."


"Baguslah. Media-media itu berhasil menelanjangi mereka." Rohmat duduk dan memantik api untuk rokoknya. Ia tudungi tangan agar api itu tetap menyala di kesiuran angin laut. Rohmat lalu tersenyum, "Wajah tirus dan hidungmu yang bocor itu terkenal di mana-mana sekarang."


Aku menyepak pasir agar kena punggung sahabatku itu.


"Sialan, kau!"


Rohmat terkekeh sambil matanya menyusuri pagar laut.


"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?"


Aku merogoh saku. Ku keluarkan ponsel dan ku arahkan tanganku ke menu g-mail. Merasa cukup, aku serahkan hp itu ke Rohmat.


"Astaga!!? Mantap sekali" katanya kagum. 


"Seminggu ini kita siapkan!"


Rohmat menggeleng dengan masih tak percaya.


"Tak ku sangka acara tv sebesar itu mau mengundang kita."


**


Tiga hari ini suasana kami sedang sengkarutan. Awalnya dari sebuah telepon dengan nada peringatan untuk tidak hadir ke acara itu. Keluarga kecilku sudah ku nasihati agar tak perlu cemas. Walaupun sulit, aku yakin ada perubahan mimik ketenangan dari roman mereka. Namun tak sampai beranjak pagi, sebuah malam penuh keributan terjadi.


Aku dan Rohmat dibuat tercekat. Kapal kami dirusak hebat menggunakan kapak dan gergaji. Lebih mencengangkan lagi setelah ku cari tahu ternyata kapal sebagian warga juga sama naasnya. Alhasil nyali warga mulai terlihat ciut. Bahkan ku kira sekarang keberpihakan itu menjadi semacam pembelotan. Usut punya usut mereka juga menerima pesan ancaman. Mereka diminta menghentikan aksi dan melarang aku untuk datang di acara tv itu.


Aku tak terima dan paginya segera menuju kantor petugas. Ku utarakan pengancaman ini dan membuat laporan. 


"Terima kasih atas laporannya. Segera akan kami tindak lanjuti dan berikan kabar" begitu respon kata salah satu petugas. 


Faktanya hasilnya bualan. Pada hari ke empat saat istri dan anakku berbelanja ke pasar, seorang tak dikenal dengan mengendarai avanza menabrak mereka. Aku panik bukan kepalang mendengar kabar itu. Ku putuskan pulang dari lokasi perbaikan kapal. Menuju klinik aku saksikan dua orang yang ku kasihi tengah kembang kempis dibalut perban dan selang. Aku terpekur di sudut kursi dengan merangkum wajahku. Semua seperti mimpi yang berlangsung begitu cepat. Rohmat segera menasihatiku dengan kesamaan pendapat yang lain.


"Hal ini tak bisa dibiarkan, saudaraku" kataku sesak dendam.


"Lantas kau hendak ke mana?"


"Aku yakin suruhan orang ini begitu dekat. Malam ini aku akan melabrak Pak Birma. Beliau pasti terlibat!"


**


Usai sesorean berada di klinik dan memastikan keadaan istri dan anakku mulai bisa terkontrol, malam ini benar-benar ku laksanakan niatku. Aku sambangi rumah kepala dinas itu.


Jam berlalu ke pukul 9 malam. Rumah berpilar besar dan berwarna putih itulah kediaman Pak Birma. Sesungguhnya aku tak ada bukti apapun. Tapi seutas senyum aneh yang beliau sajikan saat kami berdemo sudah cukup menyematkan prasangka ini. Aku berpikir, mungkin jika secara sopan datang dengan mengetok pagar semua akan sia-sia. Bandit itu tak mungkin keluar. Aku akan lakukan dengan tradisiku. 


Ku putuskan memanjat seperti berandalan. Aku merayap dinding. Mengendap-endap seperti maling. Jika beruntung aku akan temui seorang keluar rumah. Saat itu kesempatanku menyelinap masuk akan tiba. Ku putuskan ini akan menjadi introgasi adat! Ku rekam dan akan ku berikan bukti itu sebagai upaya berontak demi kebebasan.


Sungguh mujur. Ku duga salah satu keluarga keluar tetapi malah Pak Birma. Beliau sedang mengenakan piyama sambil menghisap rokok mahalnya. Aku yang bersembunyi di balik rimbun kembang sepatu mulai dengan aksiku untuk masuk. Namun sebuah percakapan telepon menghentikan langkahku. 


"Halo, Pak Narang? Iya. Hahaha.., sudah saya lakukan. Trintip karang itu saya yakin telah kena mental hahaha..Benar Pak, saya pastikan besok dia tak datang ke acara itu."


Tentu  mendengar pengakuan dan gelak tawanya dadaku langsung penuh oleh guruh. Aku telah merekamnya dengan tangan penuh getaran amarah. Angin pesisir yang terkenal deras nyatanya mengendap sekarang. Tersisa dalam sukmaku adalah uap panas dendam. Tanpa tutup duri, aku ambil sebuah bata lalu meloncat kesetanan untuk menerkam bedebah itu.


**


Aku bersaksi di balik jeruji ini. Ku beritahu semuanya bahkan dengan memperdengarkan rekaman itu kepada pihak petugas. Melalui jengukan Rohmat, dia memberitahuku "Meski ada rona ketakutan, semua nelayan telah berkumpul di luar sebagai dukungan. Sementara Pak Birma itu sedang kritis di rumah sakit akibat bocor kepala dan mengalami gegar otak."


Ada sebuah kelegaan atas kabar ini. Doaku adalah semoga kebinasaan menjemputnya tak sampai pagi.


Usai jengukan itu, sekitaran jam 1 malam dua orang petugas memutuskan membuka selku. Aku diantar menuju sebuah tempat. Di ruangan yang ku yakin tempat introgasi ini aku duduk dengan dua tanganku terborgol meja. Dua petugas mundur dan keluar. Penerangan dalam ruangan ini hanya remang sehingga baru ku sadari siluet seorang telah berdiri menungguku di ujung dinding.


Nyala bara dari rokoknya kian memerah karena tarikan napas. Sesaat pria itu maju. Ku perhatikan dan sungguh aku terkejut. Dia adalah petugas yang menasihatiku. Dengan senyum anehnya dia duduk. Semakin jelas wajah petugas ini bersepuh uang dan kedudukan. Pandangan matanya tajam dan berisi nilai. Satu kepulan asap yang menerobos wajahku ialah awal dia memulai.


"Musa, itu namamu bukan?"


Aku diam sebab itu hanya retoris.


"Sudah ku peringatkan saat itu. Mengapa kau ini begitu bengal?" ucap petugas itu beku namun dilandasi keyakinan yang tebal. "Kau bukan raja di sini! Aku pun tidak. Malam ini tak ada pilihan selain pengakuan dan penjara. Terkecuali besok kau mau memangku keluargamu dalam kondisi dingin dan kaku."