Cerpen Heru Patria
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tok tok tok!
Ketukan di pintu depan yang terdengar tepat di jam 11 malam itu, mengagetkan Pak Darno dan istrinya. Tak biasanya ada orang datang ke rumah mereka di malam hari. Sejak kepergian Tokit anak kesayangan mereka yang mengadu nasip ke negeri Jiran, tidak pernah terdengar lagi ketukan pintu di malam hari. Sepanjang malam yang terdengar hanya gemuruh ombak lautan. Gemuruh ombak yang kerap kalah besar dengan gemuruh dalam dada setiap nelayan yang dihanta kesulitan ekonomi.
Betapa tidak! Kebijakan pemerintah yang sering tidak bijak untuk menaikkan harga BBM termasuk solar yang menjadi nyawa para nelayan, terasa benar-benar mencekik leher. Terlebih bagi nelayan yang hanya mengandalkan perahu sewaan seperti Pak Darno. Hasil tangkapan ikan yang tak menentu, membuat kemiskinan semakin membatu. Mustahil dipecahkan oleh kepalan tangan mereka yang ringkih. Mereka kerap merugi. Hasil yang diperoleh tak mampu menutupi sewa perahu dan utang solar.
Trenyuh dengan kehidupan orang tuanya, Tokit nekad menjadi tenaga kerja illegal ke Malaysia hanya dengan berbekal ijasah SMP. Ia ingin mewujudkan impian orang tuanya untuk memiliki perahu sendiri.
Tok tok tok!
Ketukan di pintu kembali terdengar. Meski suaranya timbul tenggelam di antara gemuruh ombak tapi mampu membuyarkan lamunan Pak Darno tentang masa silam yang kini sudah berdiri di belakang pintu.
“Iya, sebentar,” ucapnya sembari menarik selot yang menjadi pengunci pintu. Bunyi selot bergeser yang menimbulkan derit menyayat, melukiskan kondisinya yang sudah berkarat.
Perlahan pintu kayu terkuak. Begitu pintu kayu tak bercat itu terbuka setengahnya, seorang lelaki muda berjaket hitam dengan jeans biru yang nampak lusuh, serta merta memeluk Pak Darno dengan erat.
“Bapak …,” ucap lelaki muda itu seraya mempererat pelukannya.
Pak Darno tak bisa berkata-kata. Pelupuk matanya terasa menghangat. Rasa haru yang mendera membuat lelaki tangguh itu gagal membangun sebuah bendungan yang kokoh di pelupuk mata untuk membangun tumpahnya air mata.
Dengan tanpa melepaskan pelukan, Pak Darno membawa anaknya masuk rumah.
“Bune, anak kita pulang Bune! Tokit pulang!” ujar Pak Darno dengan suara bergetar.
Perempuan yang di mata anaknya terlihat semakin tirus itu keluar dari kamarnya sambil terbatuk-batuk.
“Tokit, kenapa pulang gak ngabari dulu? Kan mbokmu ini bisa memasak tongkol bumbu kuning kesukaanmu,” ujar wanita itu di sela batuknya yang belum juga reda.
“Iya, maaf Mbok. Rencana pulangnya memang mendadak jadi gak sempat ngabari. Tapi melihat Bapak dan Mbok sehat saja, saya sudah senang kok,” sahut Tokit sembari memeluk erat ibunya.
“Buatkan saja teh hangat, Bune!” Pak Darno menyela.
Tokit tersenyum. Sambil duduk ia memperhatikan keadaan rumah kedua orang tuanya. Ternyata tidak ada yang berubah setelah hampir tiga tahun lebih ia tinggalkan. Balai bambu tempat ia biasa tidur setelah keluyuran malam, masih tetap berada di sudut ruang. Lengkap dengan tikar pandan dan bantal tanpa sarung yang terlihat lusuh.
“Pak, Mbok, maafkan Tokit ya kalau selama ini tidak pernah kirim uang. Tokit ingin mewujudkan impian Bapak dulu,” ujar Tokit saat ibunya datang menyodorkan segelas teh hangat untuknya.
“Lupakan saja mimpiku itu, Kit. Simpan saja uangmu untuk masa depanmu sendiri.” Pak Darno berkata sambil menatap tajam anaknya.
Akh! Pak Darno mendesah. Wajah dan perawakan Tokit yang kurus, mengingatkan dirinya semasa ia masih muda. Dulu saat ia masih seumuran dengan Tokit, hari-harinya dihabiskan untuk membantu kedua orang tuanya melaut. Setiap malam menebar jarring di lautan dan baru paginya pulang dengan membawa hasil penjualan ikan. Tak pernah sekali pun ia peduli pada apa mimpi kedua orang tuanya. Hasil tangkapan yang selalu melimpah, membuatnya tak mengenal apa itu kata susah.
Tapi sekarang, roda kehidupan telah jauh berputar. Semakin banyak pantai yang dibuka sebagai tempat rekreasi, laut semakin tercemar. Ditambah lagi limbah industri yang punya andil besar sebagai penghasil polusi air laut. Akibatnya terumbu karang yang menjadi rumah ikan mulai banyak ditinggalkan penghuninya. Pendapatan nelayan semakin turun dengan tajam. Kehidupan nelayan semakin memprihatinkan.
Terlebih sekarang setelah adanya pagar laut sepanjang puluhan kilometer itu. Rejeki nelayan semakin buntu. Pagar bambu kian membatasi laju perahu. Ikan-ikan berenang semakin menjauh. Kepiting dan udang sembunyi tak bisa disentuh lagi. Kail, jala, dan jarring semakin rapuh.
Ingin rasanya Pak Darno menceritakan semua itu pada anaknya. Namun ia urungkan. Melihat kelelahan yang memeluk anaknya begitu dalam, Pak Darno pilih menyimpan gundahnya di dalam hati. Hati yang nyaris meledak lantaran tak kuat menahan muak.
“Cepat habiskan tehmu, Kit. Segeralah istirahat, besok kita ngobrol lagi,” kata Pak Darno sembari mngedipkan mata pada istrinya. Sebuah isyarat agar wanita itu segera kembali ke kamarnya.
Tokit mengangguk. Setelah bapak dan ibunya masuk kamar, ia pun beranjak merebahkan diri di balai bambu. Koper kecil bawaannya ia letakkan di ujung untuk mengganjal kakinya. Ia percaya tidur dengan posisi kaki lebih tinggi dari tubuh dapat menghilangkan penat.
***
Esok harinya, di sisi barat pantai Serit yang berombak landai, Tokit dan bapaknya sedang menemui seorang juragan perahu terkaya di pesisir selatan itu.
“Nah Pak Darno, perahu ini sekarang sudah menjadi milikmu secara utuh. Tokit telah membayarnya lunas dengan mencicil setiap bulan selama ia bekerja di Malaysia. Semoga dengan memiliki perahu ini penghidupan Pak Darno sekeluarga bisa menjadi jauh lebih baik,” ujar sang juragan dengan senyum mengembang.
Pak Darno terperangah. Melongo. Ia memandang anaknya dengan tatapan setengah tak percaya.
“Benar Pak, sekarang perahu ini sudah menjadi milik kita. Nanti saya akan menemani Bapak melaut setiap malam.” Tokit berusaha meyakinkan bapaknya.
“Ta-tapi Kit ….” Ada keraguan terselip di balik kata-kata yang hendak terucap dari bibir Pak Darno.
“Tapi, apa Pak?”
“Apa yang kau lakukan ini akan sia-sia, Kit.”
“Sia-sia bagaimana, Pak? Bukankah selama ini Bapak selalu menginginkan punya perahu sendiri untuk memperbaiki kehidupan kita?” Tokit memandangi bapaknya dengan perasaan bingung.
“Itu benar Kit, tapi ada satu hal yang belum kau ketahui sekarang.”
“Hal apa itu, Pak?”
“Kau lihatlah di sana, Kit! Laut kita sekarang sudah dipagari orang sejauh itu. Itu artinya tempat kita melaut semakin sempit. Kemungkinan untuk mendapatkan ikan juga semakin sulit.”
Hah! Seketika kedua bola mata Tokit terbelalak lebar saat matanya melihat pagar laut yang membelah pantai begitu panjang. Batang-batang bambu yang menancap di jantung laut sepanjang pantai, bagai menusuk ulu hatinya sendiri. Pantas saja kehidupan orang tuanya dan juga kaum nelayan di sekitarnya, terlihat semakin memprihatinkan. Laut yang menjadi tempat mengais rejeki, kini sudah dikaplingkan. Perahu-perahu tak bisa lagi melaju. Jala dan jarring robek tersangkut pagar bambu.
“Siapa yang telah membuat pagar-pagar laut itu, Pak?” Tokit bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari pagar laut yang menyesakkan.
“Entahlah. Belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas semua ini,” jawab Pak Darno dengan wajah nelangsa.
“Kenapa tidak ada yang mengabarkan tentang pagar laut ini kepadaku?” Pandangan Tokit beralih pada juragan perahu yang sedari tadi diam saja.
“Jangan menatapku seperti itu, Tokit! Ini bukan salahku. Aku hanya ingin memanfaatkan situasi. Dengan adanya pagar laut, penghasilan dari tangkap ikan sangat kecil. Jadi ya aku jual perahu dengan murah karena banyak nelayan yang mogok melaut sejak adanya pagar laut itu. Dan kau bersedia membelinya. Aku tidak memaksamu, kan!” Sepeeti biasa sang juragan kayu lepas tangan secara diplomatis. Kiranya dia telah terjangkit virus para pejabat yang pandai berkilah dan bersilat lidah setiap muncul masalah.
“Bedebah!” Geram Tokit menendang badan perahu dengan ujung kakinya. Wajahnya nampak penuh amarah. Mimpinya untuk meningkatkan taraf hidup orang tua, kandaslah sudah. Hasil kerjanya selama tiga tahun di Malaysia, sia-sia belaka. Pagar laut telah menghempaskan harapan indahnya. Janji-janji manis yang pernah dilontarkan para calon penguasa, nyatanya hanya iming-iming belaka. Semua sebatas abang-abang lambe semata.
Tanpa memedulikan wajah bapaknya dan juragan perahu yang berubah keruh, sekuat tenaga Tokit mendorong perahu yang telah dibelinya ke pantai. Gemuruh ombak yang terhalang pagar laut tak mampu melebihi gemuruh resah dalam dada Tokit.
***
Di bawah sinar bulan purnama, Tokit duduk diam di atas perahunya yang bergoyang-goyang dipermainkan gelombang. Matanya menatap tajam pagar laut yang menyerupai tembok besar China yang didominasi warna hitam.
Dengan gemuruh perasaan yang membuncah dalam dada, Tokit mengutuk siapapun yang telah membangun pagar laut itu tanpa bertanggung jawab. Setiap kali gelombang pecah menghantam pagar laut sebelum berhasil mencapai bibir pantai, ada sejuta sesal yang kini menghantui.
Tokit merasa tak kehidupannya tak berguna lagi. Sedari awal ia menjejakkan kaki di negeri Malaysia hingga perjalannya kembali ke tanah air, besar harapannya semoga perahu yang berhasil ia beli dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Sudah lama ia menginginkan penghasilan melaut dan menangkap ikan yang dilakukan bapaknya, tak lagi dibagi dengan ongkos sewa perahu dan utang solar.
Namun kini, mimpinya tak bisa jadi nyata. Bapaknya juga merasa tak bahagia dengan perahu pembeliannya, sebab pagar laut tak memungkinkan perahu melaju dengan leluasa. Sementara ibunya yang mulai sakit-sakitan memerlukan biaya perawatan setiap bulan.
Tokit merasa semakin tak berdaya. Pagar laut telah mengungkung mimpi indahnya. Sayang ia terlambat menyadari bahwa di negeri ini pemilu hanya sebatas parody berbagi kursi. Sedang politik hanyalah sederet omong kosong yang dilegalkan atas nama demokrasi. Berharap solusi atas masalah pagar laut pada pemerintah sama halnya merindukan bulan jatuh ke pangkuan.
Tak kuasa menahan sesal dan kesal yang semakin ganas menggerogoti seisi dadanya, tepat ketika bulan berada di atas kepala, Tokit berdiri di buritan perahu sambil memecamkan mata. Kedua tangannya dibentangkan seolah sengaja menantang kekuatan gelombang yang telah mengombang-ambingkan kehidupannya.
Perlahan mesin perahu ia hidupkan dan pedal gas ia tarik ke batas maksimal menuju pagar laut yang menyebalkan!