Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Hilmi Fatihul Haq | Jejak Bayangan di Balik Layar

Cerpen Hilmi Fatihul Haq 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di sebuah desa yang kecil nan damai, hiduplah seorang pemuda bernama Hilma, yang sejak kecil telah menampilkan kebolehannya dalam kecerdasan nan tajam bak bilah pedang yang ditempa dengan segenap jiwa dan raga. Ia bukan sekadar anak kecil ingusan, namun seorang anak dengan hasrat dan obsesi akan pengetahuan. Sejak kecil, ia mendalami buku-buku yang menantang dengan buah dari mindset seorang pemenang, dan selalu berusaha memahami apa itu kebenaran di dalam kegelapan. Dalam wadahnya yang cilik, terdapat api membakar nan membara seluruh kehausan akan tantangan yang tak pernah padam walau waktu terus berlalu.


Dalam hampanya waktu dan aktivitas, ia menghabiskan waktu dalam sunyi perpustakaan dan eksistensi pikiran yang tak terbatas, menyusuri lembar demi lembar suhuf fakta dunia yang memeras seluruh keringat kebodohan dari keingintahuan. Salah satu yang kerap ia renungkan adalah Dunia sebagai Kehendak dan Representasi karya Arthur Schopenhauer, yang baginya lebih dari sekadar naskah, melainkan teka-teki tentang hakikat keberadaan. Selain itu, ia mendalami pemikiran Descartes tentang “cogito, ergo sum”, bahwa kesadaranlah yang menjadi inti dari eksistensi. Ia juga menggali pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa, bahwa dunia adalah arena bagi mereka yang berani menyingkap kebenaran di balik tabir ilusi. Semua itu berputar di benaknya, membentuk jalinan pemikiran yang kadang mengusik tidurnya di malam-malam sepi.


Pernah suatu kali, seorang guru yang arif di sekolahnya, Tuan Hidayat, berkata kepadanya dengan nada penuh kebijaksanaan, “Hilma, janganlah engkau tertipu oleh bayangan oleh tangan para monarki. Seperti halnya di dalam gua Plato, manusia kerap mengira bayang-bayang sebagai kenyataan. Jika kau ingin melihat kebenaran, maka keluarlah dari gelapnya gua dan tataplah cahaya itu dengan matamu sendiri.”


Kata-kata itu terpatri dalam benaknya. Sejak saat itu, Hilma belajar bukan sekadar dari cetakan buku semata, melainkan dari kehidupan nyata manusia. Ia mengamati pola kegiatan manusia, menguraikan pola-pola di balik perbuatan dan perkataan mereka, serta mengungkap ikatan-ikatan tersembunyi dalam setiap peristiwa yang melintas di hadapannya. Demikianlah ia mengasah kemampuannya membaca matriks sederhana dunia yang perlahan-lahan memperlihatkan wajah aslinya.


Namun, ketentraman desa itu mulai goyah oleh kabar burung yang tak elok. Para petani mengeluh, tanah mereka mendadak berganti kuasa, seolah-olah dalam sekejap lenyap dari genggaman mereka. Sertifikat-sertifikat hak milik yang mereka jaga sepenuh hati, kini kelayakannya tidak lagi diingat oleh pemerintah. Sang kepala desa, yang selama ini disenangi, kini menjadi pokok asumsi-asumsi, namanya tercantum dalam lingkaran aktivitas pertukaran yang mencurigakan.


Hilma, dengan naluri pengungkap faktanya, mulai mencari satu per satu kepingan kebenaran. Ia bertanya kepada para korban, mengumpulkan lalu merangkai sebuah hipotesis didukung dengan argumen yang optimis dari salah satu petani, seorang lelaki tua bernama Lopez, bercerita kepadanya dengan wajah penuh kekhawatiran ketidaktahuan, “Tanah ini warisan moyangku, tak pernah ku jual tanah ini sejengkal pun. Namun, entah bagaimana, dalam surat keterangan berdasarkan hukum, aku seakan-akan telah menjual tanah ini secara sukarela.”


Dari segala dokumen yang diperiksa, Hilma mendapati pola tanda tangan yang mencurigakan, seolah-olah digambar oleh tangan yang sama. Setiap upaya untuk mewawancarai sang kepala desa selalu berakhir dengan alibi-alibi mencurigakan. Hingga suatu malam, di depan pintu dusunnya, ia menemukan secarik perkamen bertuliskan kalimat penuh teka-teki:


“Di jam tayangan televisi komedi, sembari memberi buah kesepakatan duniawi, di gubuk pondasi seluruh penghuni dunia kecil ini… D.K.”


Hilma dengan ketangkasannya, memecahkan arti dalam surat ini dengan arti di waktu tayangan komedi ditayangkan, dengan kesepakatan yang telah dibuat, di rumah sang kepala desa.


Demi menguak dalang sesungguhnya, Hilma diam-diam pergi ke rumah sang kepala desa demi memata-matai dan mengungkap kebenaran. Saat ia mengintip melalui jendela, ia melihat seseorang berpakaian elegan berwarna hitam dikawani orang berkulit gelap dengan tubuh yang kekar nan perkasa dan sang kepala desa yang kelihatan gelisah di hadapannya. Ia melihat surat-surat yang dia lihat saat memeriksa sertifikat hak milik dan daftar panjang berisikan nama-nama yang kelihatan tidak jelas. Bersama daftar itu, terdapat pula kantong-kantong penuh keping emas dengan inisial “D.K.” tercetak di sudutnya.


Saat ia sedang menyusun kepingan teka-teki, langkah berat menggema di lorong. Ia segera berlindung di tong sampah terdekat dengan jendela, jantungnya berdetak tak beraturan. Ternyata orang besar itu, lalu ia menghilang kembali ke tempat. Dengan keberaniannya, Hilma pun memutuskan untuk mengintip kembali.


“Segala sesuatu telah berjalan sesuai rencana?” tanya pria itu dengan suara setenang ombak di kejauhan.


“Ya… ya… Namun, warga mulai bertanya-tanya… Aku khawatir…” jawab kepala desa dengan nada ragu.


“Jangan biarkan keraguan menguasai pikiranmu,” potong pria itu dingin. “Ingatlah, kau telah menapakkan kaki di jalan ini. Tiada lagi kesempatan untuk mundur. Kau hanya bidak, dan aku adalah tangan yang menggerakkan papan catur ini.”


Kepala desa menundukkan kepala, pasrah dalam genggaman orang itu.


Keesokannya, Hilma segera mencari Giza, sahabat setianya. “Dia bukan sekadar perantara, Giza. Orang itu mengendalikan semua ini, tetapi siapa dia? Dan untuk apa ia melakukannya?”


Namun, sebelum Giza dapat melanjutkan perkataannya, kekacauan pecah di desa. Polisi datang dalam jumlah besar, tapi mereka disambut bukan dengan penyerahan, melainkan perlawanan. Orang-orang bersenjata telah bersiap, seolah-olah telah menunggu kedatangan aparat. Ledakan kecil terdengar, menerangi malam yang kelam penuh ronta-ronta suara yang mengerikan. Suara tembakan menggema, membuat para penduduk berlarian mencari perlindungan.


Hilma dan Giza pun berlari ke arah hutan demi berlindung di tempat yang tak lagi terasa aman. Di luar, pertempuran pecah bak perang antara bayangan dan cahaya. Para pelaku yang tertangkap hanya pion kecil dalam permainan ini, sementara orang itu tetap berada di luar jangkauan, menyusup kembali ke kegelapan tempatnya berasal.


Setelah semuanya berlalu, Hilma menemukan kertas di tempat ia mengintip rumah pak kepala desa, tertulis di selembar kertas berbau asap mesiu:


“Cahaya dan bayangan selalu berdampingan. Kita akan bertemu lagi, Hilma.”


Hilma menggenggam kertas itu erat sekaligus bingung bagaimana namanya tertulis di surat ini. Perjalanan belum berakhir. Sebuah bab baru dari pencarian kebenaran baru saja dimulai. Meski ia telah berhasil mengurai segala keterkaitan dan menyibak jaringan kejahatan, orang itu tetap bersembunyi di kegelapan, tak tersentuh, tak terlacak. Ia telah memahami kebenaran, namun kebenaran itu tetap menyisakan lubang kosong, siapa penguasa sejati di balik bayangan?