Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Ilham Wahyudi | Sejumlah Peristiwa Penting Sebelum dan Sesudah

Cerpen Ilham Wahyudi




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


(1)


Juni 1979, setelah menikahi ibuku, bapakku memutuskan menjadi nelayan. Sekolahnya yang hanya tiba di bangku kelas 5 SD membuatnya tak memiliki banyak pilihan pekerjaan selain mempertaruhkan hidupnya di tengah-tengah gelombang air laut. Namun, meskipun begitu, bapakku tak pernah surut barang sejengkal dari cita-citanya menyekolahkanku setinggi mungkin. Maka, sejak menjadi suami ibuku, tak sehari pun dalam hidup bapakku yang ia pergunakan untuk bersantai-santai seperti beberapa teman nelayannya. “Semua waktuku kini adalah untukmu dan anak kita kelak,” katanya. “Kamu tidak perlu khawatir! Doakan saja hasil tangkapanku banyak dan aku selalu pulang dengan selamat.” Mendengar itu, ibuku tersenyum dan tak pernah putus berdoa setiap kali bapakku pergi melaut. 


(2)


Suatu pagi di bulan Agustus 2024, beberapa orang nelayan mendatangi kantorku. Awalnya aku mengira mereka sebatas berkeluh kesah belaka perihal merosotnya pendapatan melaut. Jujur, soal pendapatan nelayan yang merosot ini, sebenarnya aku sudah dengar. Namun aku sebenar belum tahu pasti apa penyebabnya. Akan tetapi, dugaanku hari ini sungguh keliru. Mereka, para nelayan itu, senyata ingin memberi tahuku tentang adanya aktivitas pemagaran laut dan mereka juga mempertanyakan perihal kepemilikan wilayah yang dipagari tersebut. Dan menurut pengakuan mereka pula, pembangunan pagar laut itu sungguh telah menggangu aktivitas mereka ketika ingin melaut. Oleh sebab itu, ditemani beberapa anak buahku dan pihak terkait, aku memutuskan langsung menuju lokasi demi memastikan kebenaran laporan para nelayan itu. “Sabar, saya akan cek sekarang juga!” kataku mencoba menenangkan para nelayan itu.


(3)


Di bulan April 1981, jelang siang ketika matahari naik sepenggalah aku lahir ke fananya bentala raya. Saat aku menangis pertama kalinya di mayapada yang kadang sering tak adil kepada hidup segelintir orang, bapakku sedang sibuk-sibuknya mempertaruhkan nyawa di laut. Cuma nenekku yang duduk di sebelah ibuku: mendampingi ibuku melawan sakitnya melahirkan. Bidan yang menolong ibuku sempat kewalahan dikarenakan aku terlilit tali pusar. Tapi, berkat pengalaman bidan itu membantu ratusan persalinan, aku dan ibuku akhirnya berhasil lolos dari lubang maut. Ibuku yang nyaris pingsan mendadak berseri-seri wajahnya ketika bidan itu meletakkanku persis tepat di sebelah ketiak ibuku.


(4)  


Saat tiba di lokasi yang diceritakan para nelayan itu, aku sungguh terkejut (lebih tepatnya menunjukkan wajah terkejut, sebab aku sebenarnya sudah tahu soal pagar laut itu). Dengan mata kepalaku sendiri, aku saksikan pagar laut itu nyata berdiri; dipasang dengan menggunakan bambu sebagai pacaknya. Sigap aku meminta anak buahku untuk mengukur bentangan pagar laut itu. Selesai menghitung panjang pagar laut itu, anak buahku melaporkan, “Menurut perhitungan kami panjang bentangan pagar laut ini lebih kurang 7 kilometer, Pak.”  


(5)


Tahun 1999, setahun setelah reformasi, aku yang baru sekali berkuliah di Jakarta, menerima kabar duka dari kampung. Bapak yang selama ini banting tulang melaut demi membuatku dapat menikmati pendidikan tinggi; meninggal dunia. Kata ibuku melalui saluran telepon milik ibu tempat aku indekos, bapakku beberapa kali muntah darah sehari sebelum meninggal dunia. Awalnya bapakku tidak mau dibawa berobat. Namun ketika muntah darah itu berulang keempat kalinya, ibuku langsung saja membawa bapakku ke puskesmas. Akan tetapi takdir berkata lain, bapakku diminta kembali oleh Sang Pemiliknya. Aku yang sedang membangun mimpiku di Ibu Kota (saat itu Jakarta masih Ibu Kota), terpaksa pulang. Di rumah, setelah pemakaman bapakku selesai, ibuku berkata, “Bapakmu berwasiat: apa pun yang terjadi kamu mesti menyelesaikan kuliahmu,” katanya. “Seminggu yang lalu sebelum bapakmu meninggal, dia menyerahkan uang ini kepada ibu. Pakailah uang ini buat biaya kuliah dan hidupmu.” Aku diam. Keesokan harinya aku balik ke Jakarta dan memberikan setengah uang pemberian bapakku kepada ibuku.   


(6)


Aku mulai susah tidur semenjak namaku mulai disebut-sebut wartawan. Istriku dan anak-anakku mencoba menguatkanku. Namun sungguh, bukan semata soal terlibat tidaknya aku dalam kasus pagar laut itu yang membuatku susah tidur, melainkan pesan-pesan bapakku dulu yang mendadak menyerbu pikiranku. Dalam kekalutan yang seperti tak berujung itu, aku mendengar kabar kalau sebuah kelompok jaringan nelayan mengatakan pagar laut yang kini menjadi polemik itu senyatanya dibangun atas kesadaran masyarakat setempat sebagai langkah mitigasi mencegah abrasi dan bencana tsunami. Awalnya aku sedikit lega mendengar kabar itu, tapi suara bapakku senyata masih sering terdengar oleh kepalaku. Kesudahannya kepada pil Zolpidem juga aku serahkan tidurku.


(7)


Tatkala Covid-19 varian Delta menggila, tepatnya Juli 2021, aku dilantik menjadi pejabat kepala kantor sebuah instansi. Ibuku tentu saja senang pun bangga mendengar kabar itu. Aku juga sudah merencanakan akan memberangkatkan ibuku haji bila Covid-19 mereda. Tetapi takdir lagi-lagi memiliki jalan ceritanya sendiri. Tiga bulan setelah aku dilantik, ibuku meninggal dunia. Dokter yang memeriksa mengatakan kalau ibuku terkena Covid-19. Sebenarnya aku tidak percaya, tapi sebagai pejabat tidak mungkin aku terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaanku itu. Bukan tanpa sebab aku tidak percaya. Ibuku, meski bukan orang bersekolah serupa bapakku, tapi sepanjang ingatanku dia selalu mempraktikkan hidup bersih dan sehat. Pernah suatu kali ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD, aku yang baru pulang bermain di pesisir pantai, mendadak tanpa ini itu langsung saja mencekuh nasi dan lauk yang terhidang di meja makan. Ibuku yang tahu aku baru pulang bermain, sontak mencubit tanganku dan memintaku untuk segera meletakkan makananku. Sambil menjewer kupingku, dituntunnya aku ke dapur mencuci tangan.


(8)     


Pada awal bulan Februari 2025, pasca dipanggilnya salah satu menteri oleh DPR, persoalan pagar laut semakin bak bola panas yang liar menggelinding. Beberapa menteri pada periode sebelumnya juga tersangkut paut. Aku yang mencoba tetap tenang dan berusaha tidak terlalu banyak bereaksi, akhirnya terkena juga muntahan tanggung jawab. Ya, itu semua tak lain akibat desakan masyarakat dan temuan perihal cacatnya prosedur dan material dalam penerbitan surat sertifikat SHGB dan SHM. Aku yang menjabat sebagai kepala sebuah instansi dipecat dengan tidak hormat. Istri dan anak-anakku yang awalnya menguatkanku, mendadak pergi meninggalkan rumah. Aku pun meminta bantuan pengacaraku untuk mencari keberadaan istri dan anak-anakku. 


(9)


Ketika Argentina menjuarai Piala Dunia 1986 (sehabis membantai Jerman Barat di partai puncak dengan skor 3-2), di Stadion Azteca, Mesiko, aku yang saat itu berumur 5 tahun berlari mendatangi bapakku yang baru saja pulang dari melaut. "Pak, aku mau jadi Maradona," kataku seraya merapikan ingus yang meluncur dari kedua lubang hidungku. Ketika itu bapakku hanya tertawa saja mendengar cita-citaku. Tapi keesokan harinya, sore jelang magrib, sepulang memeriksa perahu, bapakku berkata, "Jadi apa pun buat bapak tak soal anakku: mau jadi Maradona, mau jadi polisi, jadi guru sekolah, jadi pekerja kantoran, atau jadi pegawai negeri silakan. Tapi asal jangan jadi nelayan lagi serupa bapak!" Bapakku kemudian membakar kreteknya dan melanjutkan nasehatnya, "Yang penting ingat satu pesan bapak ini: jangan pernah jadi pencuri! Sepahit apa pun kelak hidupmu, bapak takkan pernah ikhlas kalau kamu mencuri!" Aku mengangguk saja kala itu mendengar pesan bapakku.


(10)


Setelah lebih 12 jam diperiksa penyidik, aku dikembalikan ke rutan. Sesaat sebelum naik ke mobil tahanan, pengacaraku sempat memberi kabar kalau istri dan anak-anakku belum diketahui keberadaannya. Ponsel mereka juga tak dapat dihubungi. Pengacara itu memintaku untuk fokus dulu pada proses hukum yang sedang aku jalani. Perihal anak dan istriku dia berjanji akan sesegera mungkin membawa mereka menemuiku. 


Di perjalanan kembali ke rutan, melintas begitu saja wajah bapakku yang tampak bersedih melihatku menjadi pesakitan. Melihat bapakku bersedih, air mataku tumpah. Aku lihat juga bapakku seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya hilang ditelan suara tangisku sendiri. 


(11)


September 2021, sebulan sebelum ibuku meninggal, suatu malam yang berisik dengan suara-suara sirene, ibuku memanggilku ke kamarnya. 


"Ya. Ada apa, Bu?


"Ibu takut, Nak."


"Suara sirene itu, Bu?"


"Bukan...Ibu takut..."


"Ibu takut apa? Covid tidak berbahaya kok selama kita hidup sehat dan bersih."


"Ibu takut jabatan kamu akan menghancurkan kamu."


"O, soal itu."


"Kemarin malam ibu mimpi bapakmu. Dia takut kamu kenapa-kenapa, Nak."


"Ibu tidak usah khawatir, doakan saja Mahli selalu lurus dalam mengemban amanah."


Ibu tersenyum. Namun...


(12)


Awal Januari 2025, ketika persoalan pagar laut ini viral di media, panjang bentangan pagar laut itu sudah bertambah menjadi 30 kilometer. Sebenarnya ketika pajang pagar laut itu masih 10 kilometer, aku sudah sempat memberikan laporan kepada atasanku. Namun saat itu atasanku hanya berkata, “Bukan urusanmu! Kau tahu? Orang di belakang semua ini bukan orang sembarang. Dan bukan hanya jabatan, nyawamu pun bisa hilang; paham!” Antara paham, takut, bingung dengan sikap atasanku, dan bayangan wajah anak-istriku, aku pun memutuskan mengangguk saja.


Akasia 11CT, Akhir Zaman