Cerpen Iliana Loelianto
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku memang beruntung. Saat aku nyaris hilang asa mencari pinjaman uang, seseorang datang dan mengulurkan sebuah amplop cokelat.
***
“Jangan diterima, Lestari. Kita tidak kenal siapa dia,” bisik Ilham pelan di sampingku.
Aku menyipitkan mata dan menautkan kedua alisku, memberi tanda agar Mas Ilham tidak banyak bicara.
Lelaki berbadan kekar dengan pakaian serba hitam itu memperhatikan kami.
Aku bimbang sejenak. Kami memang tidak mengenal lelaki itu dan dia juga bukan bagian dari keluarga kami. Empat menit yang lalu dia memperkenalkan diri sebagai warga negara yang baik, yang ingin desa kelahirannya selangkah lebih maju dibanding desa-desa lain di Indonesia. Dia memaparkan pembangunan yang akan dilakukannya bersama timnya di tengah laut. Dia mencariku karena aku kepala desa dan dia membutuhkan tanda tanganku untuk menyetujui proyek besarnya itu.
Kupertimbangkan lagi larangan Mas Ilham. Suamiku ini memang selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan berbeda denganku yang serba spontan. Aku tak pernah memikirkan apa yang akan terjadi. Aku hanya fokus pada apa yang sekarang ada di depanku.
Lelaki itu tampak mulai tak sabar. Diambilnya amplop cokelat yang sedari tadi teronggok di meja ruang tamu lalu dikeluarkannya isinya sedikit seraya mengipasi dirinya.
Jantungku seolah berhenti berdetak. Uang seratus ribu itu ada banyak sekali. Sepertinya ratusan lembar. Bahkan, aku tak perlu menganggapnya sebagai uang pinjaman yang harus aku kembalikan suatu hari nanti. Uang tebal itu adalah milikku. Begitu kata lelaki itu tadi.
“Kenapa lama sekali, Bu? Semua dokumen yang saya bawa ini asli dan sah.”
Suara parau lelaki itu membuyarkan lamunanku. Nada suaranya mendesakku.
“Ibu tidak perlu kuatir. Tujuan saya dan tim saya dengan pembangunan ini adalah untuk menahan abrasi dan pencegahan tsunami di laut. Para nelayan juga lebih mudah menangkap ikan. Ibu bisa percaya pada kami. Kami bahkan menggunakan uang kami sendiri untuk pembangunan ini. Kami melakukannya karena kami mencintai desa kelahiran kami ini,” jelas lelaki itu sekali lagi.
Aku menoleh dan menatap Mas Ilham. Lelaki yang sudah menjadi suamiku sebelas tahun itu terus menggelengkan kepalanya. Aku menarik napas panjang. Barangkali Mas Ilham terlalu perasa. Aku yakin lelaki di depanku ini sungguh menunjukkan niat baik. Semua yang dikatakannya adalah untuk kebaikan warga dan nelayan di desa ini.
Sekali lagi aku menarik napas panjang. Keputusanku sudah bulat. Kugerakkan tanganku dan menorehkan tanda tanganku di atas beberapa lembar kertas putih yang tadi disodorkannya. Tak lupa aku juga menyertakan nama lengkapku di bawah tanda tangan.
Lelaki itu tersenyum puas sambil mengumpulkan dokumen-dokumen yang telah kutanda tangani. Sesuai yang dijanjikannya tadi, amplop cokelat itu kini berpindah ke tanganku. Giliran aku yang tersenyum puas. Lelaki itu mengucapkan banyak terima kasih dan pamit undur diri.
Setelah mengantar kepergian lelaki itu, aku kembali duduk di ruang tamu. Kugenggam amplop cokelat itu erat-erat. Belum pernah aku memegang uang sebanyak ini. Bibirku menyunggingkan senyum tanpa henti. Namun, ketika bola mataku bertatapan dengan Mas Ilham yang sedari tadi hanya bergeming, aku tahu hanya dia yang tidak puas malam itu.
“Mas, kau selalu bilang kan kalau dapur kita harus mengepul setiap hari. Tapi sudah satu minggu ini kau tidak mendapat ikan. Jangankan mau dijual, untuk kita makan saja tidak cukup. Belum lagi gajiku yang masih di bawah UMR. Hanya uang ini satu-satunya jalan keluar untuk masalah kita.” Aku berusaha menjelaskan kepada Mas Ilham.
Mas Ilham menggeleng. “Laut itu milik umum, Lestari. Seharusnya kau tidak langsung percaya dengan sertifikat hak milik yang mereka bawa. Zaman sekarang semua bisa dipalsukan dengan mudah.”
Aku berdecak kesal. Kutumpahkan semua amarah yang sedari tadi kutahan. “Kalau itu palsu berarti mereka tidak akan bisa menjalankan proyek itu, Mas. Lagipula kau dengar sendiri kan tadi. Mereka melakukan pembangunan itu untuk kepentingan kita bersama. Kelak, kau dan para nelayan yang lain akan lebih mudah menangkap ikan. Bukankah itu bagus?”
Mas Ilham terkesiap. Selama sebelas tahun pernikahan kami, belum pernah sekali pun aku membentaknya. Aku selalu berusaha mengontrol volume suaraku jika sedang berbicara dengannya. Aku juga selalu berusaha menyeimbangi suaranya yang lembut. Namun entah mengapa, malam itu aku merasa muak mendengar suara Mas Ilham. Padahal, suaranya itulah yang membuatku pertama kali jatuh cinta kepadanya. Suara itu juga yang membuat malam-malamku tenang di masa pacaran walau harus LDR.
“Aku takut jika itu adalah proyek ilegal. Aku tidak akan diam saja jika proyek itu benar-benar proyek ilegal, Lestari,” kata Mas Ilham setelah kami terdiam cukup lama.
"Sudah malam, Mas. Lebih baik kita tidur saja."
***
Suara derit pintu depan membangunkanku pagi itu. Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah enam. Mas Ilham sudah tidak ada di sampingku sewaktu tanganku meraba tempat tidurnya. Barangkali dia memang tidak tidur disitu semalam. Entahlah. Lekas aku turun dari tempat tidur dan membangunkan Tiara untuk segera pergi ke sekolah.
Setengah jam kemudian putri semata wayangku sudah siap dengan seragam sekolah dan tas ransel di bahunya. Bibirnya cemberut melihat semangkuk bubur polos sudah tersaji di atas meja makan.
“Nanti siang Mama akan belikan sosis goreng. Sekarang kamu makan dulu buburnya, ya,” bujukku sebelum dia melontarkan protes karena sudah hampir seminggu ini dia hanya makan bubur polos.
Tiara mengangguk. Wajahnya tersenyum saat mendengar aku menyebutkan makanan kesukaannya. Dengan cekatan dia menghabiskan buburnya.
Aku bersyukur Tiara adalah anak yang patuh dan tidak terlalu pemilih soal makanan. Dia juga tidak pernah meminta uang jajan walau aku tahu dia sering diam-diam memperhatikan temannya yang suka jajan sosis goreng. Aku pernah melihatnya tatkala menjemputnya pulang sekolah.
Aku segera membereskan piring makan Tiara dan mengantarnya ke sekolah. Rencananya hari ini aku akan mengambil jatah cutiku dua hari. Selain berbelanja ke pasar, aku juga berniat membereskan rumah sekaligus mengganti perabot yang sudah usang.
Setiba di rumah, aku segera masuk ke kamar. Kukeluarkan amplop cokelat itu dari dalam tasku dan kutarik beberapa lembar uang seratus ribuan. Aku sudah siap untuk berbelanja semua bahan makanan hari ini. Bebek kesukaanku, sosis dan ayam kesukaan Tiara serta belut kesukaan Mas Ilham. Aku akan menggoreng semuanya dengan bumbu kuning andalanku. Makanan enak selalu bisa mengundang tawa bahagia dalam keluarga kecilku ini.
Ketika Mas Ilham pulang pukul tiga sore, Tiara berlari menyambutnya. Bibir mungilnya menceritakan pengalaman makan siang yang luar biasa hari ini. Aku tertawa kecil di belakangnya. Sungguh menyenangkan melihat keluarga kecilku bahagia.
Tawaku lenyap sewaktu Mas Ilham menatapku dengan sinis. Tanpa sepatah kata, dia melengos masuk ke kamar. Hari itu untuk pertama kalinya, dia melewatkan makan siang dan makan malam.
***
Aku ingat lelaki itu bilang proyek besar itu akan dilakukan dalam delapan minggu. Akan tetapi, baru enam minggu berjalan, pagar-pagar bambu sudah tertancap di laut. Para nelayan mendatangi kantorku. Aku menjelaskan pada mereka sesuai dengan yang diceritakan lelaki itu. Mereka menerima penjelasanku tanpa pertentangan. Namun, itu hanya berlangsung enam bulan. Pada bulan berikutnya, lagi-lagi para nelayan itu mengerubungi kantorku dan menyatakan protes atas pembangunan pagar-pagar laut itu.
Sebenarnya, aku sudah tahu maksud kedatangan mereka. Sebab, tadi malam Mas Ilham bersama beberapa orang nelayan telah menabrak tiang-tiang bambu di laut hingga merusak kapal mereka. Jadi, ketika para nelayan itu menyampaikan kekesalan mereka, cepat-cepat aku menenangkan mereka.
“Ini sudah keterlaluan. Awalnya memang hanya berupa pagar-pagar lurus tapi sekarang sudah semakin panjang dan tampak petak-petak. Kalau sudah begitu, mereka bukan ingin mencegah tsunami,” kata salah seorang nelayan yang diikuti sorakan nelayan lainnya.
“Betul, Bu. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Kapal kami sudah berapa kali menabrak pagar laut itu karena kondisi malam yang gelap," timpal nelayan yang lain.
"Kami juga terpaksa putar jalan untuk pergi mencari ikan. Biaya solar kami ikut meningkat,” sambung nelayan lain lagi.
Sekali lagi aku meminta mereka pulang dan berjanji akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku mulai curiga mereka akan melakukan sesuatu yang tidak kuketahui. Kecurigaanku bertambah sewaktu aku tiba di lokasi pembangunan dan melihat beberapa orang yang berseragam polisi. Salah satu dari mereka, yang memperkenalkan diri sebagai penyidik dari Dinas Perikanan dan Kelautan, menjelaskan kalau mereka menerima laporan adanya pembangunan pagar laut ilegal.
Sekejap sekujur tubuhku terasa dingin. Kepalaku mendadak pusing. Aku masih berharap semua itu tidak benar.
***
Sebagaimana biasanya, kesadaran selalu datang terlambat. Beberapa hari kemudian, proyek itu dinyatakan ilegal. Entah bagaimana cara mereka meloloskan dokumen-dokumen palsu itu hingga surat izin pembangunan bisa diterbitkan. Tak hanya satu-dua dokumen saja, mereka bahkan memalsukan lebih dari dua ratus dokumen. Termasuk surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah, surat kuasa tanah, surat kuasa permohonan sertifikat, dan masih banyak lagi.
Mereka sungguh bukan orang biasa. Seandainya hari itu aku tidak sedang membutuhkan uang. Seandainya aku tidak menandatangani semua dokumen itu. Seandainya…
Berita tentang pagar laut ilegal itu tersiar di layar kaca. Dari pagi hingga pagi lagi. Aku sampai tak berani melangkah keluar rumah. Tatapanku terus tertuju pada televisi yang menggemakan pagar laut itu.
Di belakang pembawa acara tampak ribuan aparat bekerja sama dengan para nelayan lokal untuk membongkar pagar laut yang kini membentang hingga lebih dari tiga puluh kilometer. Disitu juga ada Mas Ilham-yang menurut pemberitaan adalah orang yang terus mengawal kasus ini sampai kebenaran yang sesungguhnya terkuak.
Aku terduduk di lantai. Tanganku menggenggam erat amplop cokelat itu. Isinya tinggal separuh.
Dua orang lelaki berseragam polisi mencariku sampai ke rumah. Mereka membawa surat penahanan serta surat izin penggeledahan untuk kantorku. Mereka pasti ingin menuntut penjelasan. Bagaimana aku memberitahu mereka kalau aku sendiri hanyalah korban.