Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Indah Suci Khairina | Gelombang Ketakutan dan Harapan

Cerpen 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) 


Desa Bongbak terletak di ujung sebuah pantai yang luas. Rumah-rumah para penduduknya tersebar luas di sepanjang pantai, tempat yang sangat dipenuhi dengan riak ombak, pasir putih yang lembut, dan udara laut yang selalu segar. Laut telah menjadi bagian dari kehidupan mereka para manusia selama berabad-abad, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai teman yang sangat setia. Namun, belakangan ini, laut tersebut juga menjadi ancaman. Setiap tahunnya, gelombang yang sangat besar datang menggulung pantai, merusak berbagai rumah-rumah dan ladang mereka. Tanah yang dulu subur kini perlahan terkikis demi sedikit, dan penduduk desa mulai merasa takut akan masa depan mereka.


Dalam rapat para ketua desa yang berlangsung di balai pertemuan, para tokoh masyarakat berkumpul untuk mendiskusikan solusi atas masalah ini. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah telah menawarkan proyek besar yang dianggap bisa menyelamatkan desa mereka yaitu yang bernama pagar laut. Pagar laut sudah tidak asing di telinga para desa, karena sudah ada yang menyarankan itu beberapa kali. Pagar besar yang terbuat dari beton dan baja ini diharapkan bisa menghalau ombak besar yang selama ini merusak dan merugikan pesisir.


“Ini adalah kesempatan yang langka,” kata Pak Rega, kepala desa yang sudah memimpin desa Bongbak selama dua puluh tahun. “Pagar laut ini akan melindungi kita dari ancaman ombak besar yang semakin sering datang. Kita tidak bisa hanya bergantung pada keberuntungan.”


Pak Rega memandang ke arah para penduduk yang hadir, yang sebagian besar tampak setuju dengan ide tersebut. Mereka mulai membayangkan masa depan desa yang lebih aman, di mana mereka bisa tidur dengan tenang tanpa khawatir rumah mereka akan dihantam gelombang besar lagi. Pemerintah menjanjikan dana besar untuk proyek ini, dan mereka hanya perlu memberi persetujuan.


Namun, tidak semua orang di desa itu setuju dengan rencana tersebut. Di tengah-tengah kerumunan, seorang lelaki tua berdiri, menatap Pak Rega dengan tatapan penuh pertanyaan. Dia adalah Pak Rehan, lelaki yang sudah lama hidup di desa ini, seorang yang bijaksana, namun juga penuh keraguan.


“Apa yang kalian semua pikirkan?” kata Pak Rehan dengan suara yang dalam. “Pagar laut itu memang terlihat seperti solusi, tapi kalian semua lupa satu hal.”


Semua orang terdiam. Pak Rehan dikenal tidak mudah bicara, dan ketika dia membuka mulut, itu artinya ada sesuatu yang penting untuk disampaikan.


“Kita memang takut pada ombak besar, tapi kita lupa bahwa laut itu bukan hanya musuh. Laut adalah bagian dari kita. Apa yang kita lakukan jika kita membangun pagar yang memisahkan kita dengan laut?” lanjut Pak Rehan.


Pak Rega tersenyum. “Pak Rehan, kita bukan sedang melawan laut. Pagar ini hanya untuk melindungi desa kita. Kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan seperti ini.”


“Tapi ada yang lebih penting yang tak terlihat oleh kalian semua,” jawab Pak Rehan, menggelengkan kepala. “Kita lupa bahwa kehidupan kita, ekosistem kita, semua bergantung pada keseimbangan antara daratan dan laut. Jika kita membangun pagar laut ini, kita akan mengubah segalanya. Arus, gelombang, kehidupan laut semua itu akan terganggu.”


Taufiq, seorang pemuda yang baru saja kembali dari kota setelah belajar di universitas, merasa tergugah. “Pak Rehan, maksud Bapak apa? Pagar laut ini kan untuk melindungi kita dari bencana. Kami semua setuju dengan itu. Apakah Bapak ingin kita tetap hidup dalam ancaman?”


Pak Rehan menatap Taufiq dengan lembut. “Taufiq, anak muda, memang pagar laut itu akan melindungi kita dari gelombang besar untuk sementara, tapi kita harus melihat lebih jauh dari itu. Apa yang akan terjadi dengan ikan-ikan yang biasa berlindung di dekat pantai? Apa yang akan terjadi dengan terumbu karang yang selama ini menjaga keseimbangan ekosistem kita? Kita tidak bisa hanya melihat yang tampak di permukaan. Ada banyak hal yang akan terganggu di bawahnya.”


Namun, meskipun ada kekhawatiran dari Pak Rehan, mayoritas penduduk desa tetap memilih mendukung pembangunan pagar laut. Proyek itu akhirnya dimulai, dan dalam waktu yang sangat singkat, struktur besar dari beton dan baja mulai terbentuk di sepanjang garis pantai. Para pekerja datang dari luar desa, membawa mesin-mesin besar dan memulai pekerjaan mereka. Tanpa banyak perdebatan lagi, pembangunan itu berjalan cepat.


Bulan demi bulan berlalu, dan pagar laut itu pun akhirnya selesai dibangun. Desa Bongbak kini merasa aman. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang ombak besar yang bisa menghancurkan rumah atau ladang mereka. Pagar itu berdiri sangat tegak, membatasi laut dan daratan. Banyak penduduk desa merasa lega, merasa seolah-olah mereka telah memenangkan perang melawan alam. Tapi di balik pagar itu, sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata. Kadang mereka tiap sore menikmati pemandangan di sore hari, sambil bermain ombak serta pasir putih yang sangat indah.


Awal tahun berikutnya, hal yang tidak terduga mulai muncul. Nelayan desa, yang dulunya selalu bisa menangkap ikan-ikan kecil di sekitar pesisir, mulai kesulitan. Ikan-ikan yang biasa datang dekat pantai kini menghilang. Banyak dari mereka yang kembali pulang tanpa membawa tangkapan. Begitu juga dengan para petani yang biasa memanfaatkan pasir pantai untuk membuat kerajinan tangan. Kini, pasir yang mereka butuhkan semakin sulit ditemukan.


Taufiq, yang dulunya mendukung pembangunan pagar laut, mulai merasakan kegelisahan. “Pak Rehan,” katanya pada suatu hari, “apa yang kita lakukan? Mengapa ikan-ikan mulai hilang? Apa yang sebenarnya terjadi?”


Pak Rehan hanya menghela nafas panjang. “Pagar laut itu sudah mengubah semuanya. Laut yang dulu bergerak bebas, yang mengalirkan kehidupan ke pantai, kini terhambat. Arus laut semua kini telah berubah. Tanaman laut yang dulu tumbuh sangat subur kini mereka kekurangan ruang untuk berkembang. Semua itu terpengaruh oleh pagar yang kita bangun.”


Sementara itu, para nelayan yang semakin kesulitan mencari ikan, mulai mempertanyakan keputusan mereka. “Kita sudah memberi persetujuan untuk membangun pagar laut ini, tapi apa gunanya kalau akhirnya kita kehilangan sumber mata pencaharian kita?” keluh salah satu seorang nelayan kepada Taufiq.


Taufiq mulai merasa bersalah karena yang ia pikirkan saat itu hanya mendapatkan hal positif, tidak mengira bahwa hal buruk seperti ini akan datang. Dia mengingat peringatan Pak Rehan yang dulu tidak ia dengar dengan seksama. Ia menyadari bahwa kenyamanan sesaat yang mereka dapatkan dengan pagar laut ini ternyata mengorbankan banyak hal dan merugikan mata pencaharian. Laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka kini menjadi sesuatu yang jauh, terpisah oleh dinding beton yang tinggi.


Pak Rehan, yang selama ini diam, memutuskan untuk bertindak. Ia mengumpulkan para nelayan, petani, dan penduduk desa yang peduli untuk merencanakan langkah selanjutnya. “Kita tidak bisa membiarkan desa ini kehilangan kehidupannya begitu saja,” kata Pak Rehan. “Kita perlu mencari cara untuk memperbaiki ekosistem yang telah rusak ini. Kita harus mencari solusi yang tidak merusak alam lebih jauh.”


Mereka mulai menanam kembali mangrove di pesisir, memperkenalkan terumbu karang buatan, dan menciptakan sistem penyaringan alami yang akan menjaga keseimbangan laut tanpa harus merusak alam. Mereka belajar untuk hidup berdampingan dengan laut tanpa harus membangun batas yang memisahkan mereka bahkan pembatas itu sangat merugikan mereka sekarang.


Namun, meskipun langkah-langkah itu mulai menunjukkan hasil, mereka tahu bahwa desa Bongbak tidak akan pernah sama lagi. Pagar laut itu tetap berdiri tegak, sebagai simbol dari ketakutan mereka terhadap alam, tetapi juga sebagai pengingat akan keputusan yang pernah mereka ambil. Mungkin, suatu saat nanti, mereka akan menemukan cara untuk memulihkan hubungan mereka dengan laut, tetapi untuk saat ini, pagar itu tetap ada, mengingatkan mereka akan dampak dari memisahkan diri dari alam yang telah memberi mereka kehidupan.


Pagar laut itu tidak hanya melindungi desa dari ombak besar, tetapi juga memisahkan mereka dari warisan mereka yang selama ini hidup berdampingan dengan alam. Namun kini, mereka harus belajar cara hidup yang baru, di mana keseimbangan alam menjadi kunci untuk bertahan hidup.