Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Indri Anisa | Di Sana Sejak Kapan?

Cerpen Indri Anisa 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Azan Isya berkumandang di daerah pesisir Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Anak-anak kecil berhamburan keluar dari masjid setelah belajar mengaji. Mereka tidak sabar untuk bermain walaupun sudah diingatkan untuk sholat terlebih dahulu.


“Bella cepat dong Bel! Tahu lambat gini aku tinggal ya, beneran aku tinggal ya!” Bocah usia sembilan tahun dengan peci hitam miring dan sarung yang terlilit di lehernya menunggu dengan tidak sabaran.


“Sabar ih! Sendalnya ini kebalik-balik tahu!!” Bella saking jengkelnya sampai melempar sendal tersebut ke arah Rian.


“Bella! Jangan bertindak anarkis! Nanti Allah murka.” Nazif memperingati dengan lembut.


“Maaf, sini bawakan sendalku!” Bella dengan ketus meminta sendalnya, Rian akhrinya menyerahkan sendal tersebut.


Ketiga bocah itu berlari tunggang langgang saat mendengar teriakan penjaga masjid yang terkenal galak. Setelah cukup jauh dari masjid mereka berjalan santai di pinggir pantai. Angin yang berhembus kencang dan riuh ombak yang sejak kecil mereka dengar sama sekali tidak membuat mereka bosan. Mungkin karena mereka sudah mencintai tanah kelahiran ini.


“Bella jangan terlalu dekat dengan pembatas bambu!” Rian berteriak agak jauh dari Bella yang sedang mencari binatang laut.


“Kenapa?”


“Nanti jadi tumbal pagar bambu itu. Orang-orang yang berurusan dengan pagar tersebut banyak dinyatakan hilang tahu.” Mendengar hal itu Bella berlari menjauh.


“Jauhilah kebohongan, karena kebohongan menggiring kepada keburukan dan keburukan mengantarkan ke neraka jahanam.” Nazif membawa jagung bakar yang baru dibelinya.


“Tuh dengar!”


“Halah! Padahal kamu percaya apa yang tadi aku katakan, bukan?” “Itu namanya waspada!”

 

“Kalian ini sudah tinggal berapa tahun di sini? Dari lahir, kan? Masa engga pernah dengar rumor yang beredar!” Bella dan Nazif menggeleng kompak. Rian tepuk jidat, lupa bahwa temannya ini tidak berpengetahuan luas seperti dirinya yang aktif gabung pkk, ronda bareng pemuda pancasila, yasinan, sampai ikut berlayar. Pengalaman sosialnya tidak perlu diragukan.


“Simak, ya!” Nazif dan Bella duduk merapat.


Pagar bambu yang terletak di laut ini telah dibangun lima tahun yang lalu. Rumor yang beredar kalau yang mendirikan pagar laut tersebut adalah dewi laut. Konon katanya, didirikannya pagar tersebut untuk menjadi pembatas antara dunia darat milik manusia dan laut milik bangsa ghoib. Proses pembangun pagar tersebut tidak ada yang tahu dan tidak ada satu orangpun yang pernah melihat pekerja mendirikan pagar laut, jadi sudah pasti kalau makhluk astral pelakunya.


Semenjak pagar laut itu berdiri warga sekitar yang mata pencahariannya sebagai nelayan mengalami kemuduran dan dilanda kemiskinan. Warga yang merasa dirugian akhirnya mulai turun tangan dengan menghancurkan pagar laut. Para nelayan akhirnya bisa kembali menangkap ikan saat sore hari, tetapi menjelang pagi saat hendak ke daratan mereka dikagetkan dengan berdirinya pagar laut kembali. Bahkan setelah diukur panjangnya bertambah tiga kali lipat.


“Jadi, sudah pasti itu penghuni laut murka dan minta di kasih sajen.” Rian asal bunyi lagi.


“Wahai temanku, jangalah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, karena sesungguhnya itu mendzalimi dirimu.” Nazif menepuk bahu Rian.


“Aku bukannya ingin membela Rian, tapi pagar laut itu beneran makan korban” Bella berkata ragu. Nazif menatap Rian meminta penjelasan.


“Aku dengar ini saat ikut Ibu kumpul arisan, katanya...”


Pagar laut yang panjang awalnya hanya tiga kilometer bertambah jadi sembilan kilometer setelah dihancurkan warga. Tragedi ini membuat para warga takut dan resah, mereka bertanya-tanya apakah manusia mampu membangun pagar tersebut dalam waktu semalam? Sehingga, selama penyelidikan pagar laut ini belum jelas, kepala dusun setempat tidak mengijinkan penghancuran pagar tersebur. Sebagain warga yang percaya hal-hal mistis mereka meyakini bahwa pagar laut tersebut di bangun oleh nenek moyang untuk melindungi para nelayan, tetapi sebagian lainnya memilih berpikir realistis demi menyambung hidup. Sekitar empat orang secara diam-diam mencabut pagar laut. Pagar yang hanya dicabut beberapa meter saja ternyata tidak menyebabkan penggandaan pagar tersebut. Namun, setelah aksi mereka kejanggalan terjadi. Dua di antaranya dinyatakan hilang, satu orang mengalami keracunan, dan satunya lagi memilih mengungsi ke daerah lain.


Kejadian tersebut memperburuk spekulasi. Beberapa warga yang ingin melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib dihadang oleh kepala dusun dengan dalil bahwa ini adalah masalah internal dan tidak perlu pihak luar ikut campur. Akhirnya teka-teki pagar laut itu tidak pernah terjawab. Namun, korban terus ada ketika seseorang nekat merobohkan pagar tersebut. Musibah seperti meninggal dunia, sakit keras dan masuk rumah sakit jiwa.


“Wajar itu.” Nazif berkomentar, Bella dan Rian saling pandang dengan raut heran. “Hah?” ucap mereka serentak.


“Wajar ceritanya diluar naral, sudah dibumbui opini pribadi.”


“Satu fakta menarik lagi dari pagar laut ini,” Rian menarik bahu Bella dan Nazif. “Kalau mau cerita ya cerita aja! Engga usah tarik-tarik gini.” Ujar Bella protes.


“Syuttt! Ini rahasia negara. Aku dengar ketika ikut rapat pemuda pancasila.” Bisik Rian.


Pagar laut itu dibangun berdasarkan izin dari kepala dusun. Pembangunannya juga dilakukan pada tengah malam dimana tidak banyak warga yang berkeliaran. Ketika ada orang yang memergoki pekerjaan ilegal tersebut maka orang tersebut akan diberi dua pilihan, yaitu bungkam atau dipaksa menghilang. Rumor yang beredar kalau ada warga desa yang tetap tenang walau mata pecahariannya diganggu maka sudah dipastikan orang tersebut sudah menjadi bagain dari tim sukses pagar laut.


“Lalu kejadian saat warga desa mengamuk dan menghancurkan pagar itu bagaimana?” tanya Bella ikut berbisisk.


“Kemungkinan aksi pemberontakan pagar laut itu tidak pernah terjadi. Pagar laut itu sama sekali tidak roboh selama lima tahun ini, justru yang sebenarnya terjadi ialah pertengkaran antara warga desa pendukung kelapa dusun dan warga yang ingin menghancurkan pagar laut.”

 

“Sebelumnya, aku berpikir bahwa pagar laut ini melindungi daratan dari abrasi sebab desa terpencil kita sulit menjangkau akses pemerintah untuk membangun hutan mangrove. Tapi ternyata, malah sebaliknya.” Nazif berkata dengan sedih.


“Kalau betul kepala dusun terlibat langsung atas pembangunan pagar laut, mengapa tidak dilengserkan saja, paksa turun jabatan!” ujar Bella mengebu-gebu.


“Aku yakin upaya seperti itu telah dilakukan.” Nazif berdiri dan diikuti kedua temannya. Malam semakin larut dan awan terlihat mendung, kemungkinan akan hujan deras disertai badai.


“Kasus dibalik pagar laut ini bukan hanya kepala dusun tetapi orang pusat yang mengendalikan sistem pemerintahan. Mereka sulit digoyahkan apalagi sampai dihancurkan. Manusia itu...makhluk pedang bermata dua. Jika mereka membentuk karakter yang berakhlak mulia, terkadang kebaikannya di luar akan sehat dan ketika manusia itu terjerumus dalam keserakahan dunia, terkadang kejahatannya melebihi setan yang menolak perintah Tuhan.”


“Tapi Nazif, kalau semua manusia di muka bumi terlahir jahat, apa bumi ini akan hancur?”


“Tidak tahu, manusia tidak bisa menentukan hancur atau tidak di bumi ini karena itu hanya kuasa Allah semata. Ouh iya! Di dunia ini tidak ada yang terlahir jahat. Semua nyawa yang hadir di bumi ini terlahir dalam keadaan suci tak bernoda setitikpun. Kehidupan ini adalah milik Tuhan, tetapi hidup seperti apa yang ingin kita jalankan merupakan pilihan. Selama dunia ini masih dalam keseimbangan, insyaallah semua baik-baik saja.”


“Keseimbangan apa yang kamu maksud?” tanya Rian.


“Emmm...keseimbangan seperti pasangan. Ketika ada malam dan siang, ada darat dan langit, ada wanita makan dan pria, serta ada kebaikan dan kejahatan. Ketika semua itu sesuai porsi, seharusnya baik-baik saja, bukan?” Bella dan Rian mengangguk paham.


“Bangga aku punya teman kayak Nazif! Tidak sia-sia anak seumuran kamu yang harusnya menontot warga bikini bottom tetapi lebih memilih menonton debat politik dan dakwah.” Rian merangkul leher Nazif dan mengunyel rambut temannya itu.


“Iya! Beda banget sama situ yang lebih sering ikut gosip.” “Itu namanya berpartisipasi dimasyarakat, Bell.”

 

Ketika matahari mulai terbit dan aktivitas mulai berjalan warga desa berbondong-bondong melihat pagar laut. Begitu pula trio BeNaR.


“WOAH! WOAH! KEREN!” Bella berteriak penuh semangat melihat pagar laut yang kokoh itu hancur dalam semalam karena badai. Sungguh kuasa Allah yang luar biasa. Ketika manusia sudah berserah diri akan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi masalah maka jalan terampuh adalah memohon bantuan Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang terkuat di muka bumi ini selai Allah dan tidak ada manusia yang berhak sombong di depan kuasa-NYA.


“HEI TEMAN-TEMAN!” Rian berlari menuju arah Bella dan Nazif.


“A-hku tadi hah...mendengar berita.” Ujar Rian dengan napas yang naik turun sehingga pengucapannya tidak jelas.


“Apa?” balas kedua orang tersebut kompak.


“Alasan pagar laut di desa kita roboh itu karena terjadi pemindahan. Di daerah Banten berdiri pagar laut yang panjangnya 30 kilometer, gila banget! Sudah dipastikan dewi laut membangun kerajaan yang besar dan kuat sampai bisa mendirikan pagar laut semegah itu.” Rian bercerita dengan semangat. Nazif menampol kepala Rian, Bella meringis melihatnya. Takut otak Rian terguncang.


“Kenapa?”


“Istigfar wahai hamba Tuhan!”