Aku
berdiri di tepi pantai, membiarkan pasir halus mengalir di antara jemari
kakiku. Angin berembus membawa
aroma garam dan suara camar yang melayang
di atas buih ombak.
Laut ini, yang dahulu memberiku kehidupan, kini menjadi penghalang antara aku
dan kebebasan. Pagar-pagar besi menjulang di sepanjang garis
pantai, seolah melukis
batas antara mereka yang
berhak dan mereka yang terbuang. Di balik pagar itu, tampak dermaga mewah, tempat kapal-kapal besar berlabuh, menjanjikan keuntungan bagi mereka yang telah merebut
laut kami.
Dulu, ayahku adalah
seorang nelayan yang gigih. Setiap dini hari,
ia akan berangkat ke laut, mengarungi gelombang dengan
perahu kecilnya, mengangkat jala yang dipenuhi ikan segar. Laut adalah
sahabatnya, tempat ia menitipkan doa dan harapan. Namun, kini laut tak lagi
ramah. Bukan karena badai atau makhluk buas, melainkan karena pagar-pagar besi
yang didirikan oleh mereka
yang mengaku berkuasa. Mereka mengambil segalanya, membatasi hak kami,
dan meninggalkan luka yang menganga.
“Kita tak bisa lagi melaut,
Nak,” ujar ayah dengan suara
berat, tatapan matanya
nanar menatap pagar tinggi
yang membentang sejauh
mata memandang. Suaranya
bergetar, seolah mengandung
beban yang tak mampu diungkapkan. “Mereka bilang ini untuk
pembangunan, demi kemajuan. Tapi bagaimana bisa disebut kemajuan jika
itu merampas hidup kita?”
Aku tahu itu bohong.
Mereka hanya ingin menyingkirkan kami, menguasai yang bukan
hak mereka. Dulu, laut adalah milik
semua. Tapi kini, hanya mereka yang
memiliki wewenang yang boleh menyentuhnya. Kami, nelayan-nelayan kecil, hanya
bisa menatap dari kejauhan, berharap ada keajaiban yang dapat merobohkan
pagar-pagar itu. Ayah dan para nelayan lain mencoba protes, tapi suara mereka
tenggelam dalam kebisingan janji-janji kosong dan ancaman halus dari orang-orang berkemeja rapi. Para pejabat berbicara
tentang modernisasi, tentang
bagaimana industri perikanan besar akan menciptakan lapangan kerja baru. Tapi
kenyataannya, mereka hanya mengambil, meninggalkan kami dengan kehampaan.
Setiap malam, aku
duduk di tepi pantai, mendengarkan suara deburan ombak yang berbisik tentang
luka. Aku melihat bagaimana anak-anak kehilangan tawa mereka karena orang tua mereka tak lagi mampu membawa pulang hasil tangkapan. Aku melihat bagaimana ibu-ibu menangis dalam diam,
mencemaskan hari esok.
Aku melihat bagaimana ayahku sendiri
perlahan kehilangan semangat hidupnya, seakan laut yang dulu ia cintai telah
berkhianat padanya. Aku mendengar kisah-kisah nelayan yang dipaksa menjual
perahunya, menggadaikan harapan mereka demi sesuap nasi. Mereka, yang dulu
hidup dari laut, kini menjadi buruh di pabrik-pabrik yang berdiri di tanah
mereka sendiri, tanpa kepastian masa depan.
Namun,
aku tidak ingin pasrah. Aku bukan nelayan seperti ayah, tapi aku memiliki
suara. Aku mulai menulis, mengukir luka kami dalam kata-kata, merajut harapan
dalam bait- bait yang kutuangkan di kertas-kertas lusuh.
Aku mengirimkan tulisanku ke berbagai tempat, berharap ada yang peduli,
ada yang mendengar. Suatu kali, seorang
jurnalis menghubungiku. Ia
ingin menuliskan kisah kami. Aku melihat secercah harapan, seolah laut kembali
berbisik bahwa ia belum sepenuhnya meninggalkan kami. Aku berbicara dengan lebih
banyak orang, menyampaikan kisah kami di forum-forum kecil. Setiap kata yang
kutuliskan adalah perlawanan, setiap kalimat adalah bukti bahwa kami masih ada,
masih bertahan.
Hari demi hari, aku
semakin terlibat dalam perlawanan ini. Aku bertemu dengan para nelayan dari desa lain,
mendengar cerita mereka
yang serupa, melihat
luka yang sama.
Mereka berbagi kepedihan tentang
bagaimana kapal-kapal besar
mengusir mereka, bagaimana pihak berwenang menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil.
Aku mulai sadar, bahwa ini bukan hanya
tentang desaku. Ini tentang ribuan,
bahkan jutaan orang yang mengalami nasib serupa. Aku merasa harus melakukan
lebih dari sekadar menulis. Kami mulai mengorganisir pertemuan, membentuk kelompok perlawanan, mencoba
mencari jalan keluar
meskipun tahu tantangan di
depan begitu besar.
Suatu hari, seorang pria datang menemuiku di sebuah kafe kecil di pinggir desa. Ia tampak lelah, seakan telah menempuh perjalanan jauh untuk mencariku. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan sebuah map cokelat yang tebal. “Kami membaca tulisanmu,” katanya dengan suara serak. “Kami ingin membantu.” Mata pria itu memancarkan kesungguhan, dan di balik guratan wajahnya yang letih, aku melihat harapan yang selama ini terasa begitu jauh. “Ada banyak orang yang peduli dengan perjuangan ini. Kau tidak sendirian.”
“Kami membaca tulisanmu,” katanya. “Kami ingin membantu.”
Aku
tak mengenalnya, tapi matanya memancarkan kepercayaan. Ia bercerita tentang
komunitas yang berjuang demi hak para nelayan, tentang gerakan-gerakan yang
perlahan mulai menggema di berbagai tempat. Aku tahu ini bukan lagi sekadar
perjuangan seorang anak nelayan. Ini adalah perlawanan semua yang tertindas.
Aku tak peduli seberapa tinggi pagar itu, seberapa kuat mereka menjaganya. Aku
percaya, suatu hari pagar laut ini akan runtuh. Bukan hanya oleh tanganku, tetapi
oleh tangan-tangan yang merindukan kebebasan. Laut akan kembali menjadi milik
mereka yang mencintainya, bukan mereka yang hanya ingin menguasainya.
Malam
itu, aku kembali ke tepi pantai,
duduk di atas pasir yang kini terasa
lebih dingin dari biasanya. Ombak
berkejaran di bawah langit yang dipenuhi bintang, seolah turut mengisahkan penderitaan kami. Aku berpikir
tentang masa kecilku,
saat aku dan teman-teman
berlari-lari di tepi pantai, membangun istana pasir, dan mendengar cerita ayah
tentang legenda laut yang penuh misteri. Kini, yang tersisa hanya kesunyian dan
kenangan yang kian memudar.
Aku mulai mencari tahu lebih banyak
tentang hukum, tentang
hak kami yang dirampas.
Aku membaca artikel demi artikel, menelusuri jejak ketidakadilan yang telah
berlangsung bertahun-tahun. Aku bertemu dengan para aktivis, berbicara dengan
sesama nelayan yang nasibnya serupa. Kami bukan hanya sekadar korban,
kami adalah manusia
yang berhak hidup layak, yang berhak atas laut yang telah memberi
kami kehidupan. Kami menggalang dukungan lebih luas, membangun jaringan
solidaritas, bahkan mulai mencari cara untuk menembus sistem yang telah begitu
lama menekan kami.
Hari-hari berlalu lagi, dan perjuangan kami semakin besar. Kami
menggalang dukungan, mengumpulkan tanda
tangan, menulis petisi, dan menghadiri
berbagai diskusi. Aku mulai berbicara di depan umum,
menyuarakan ketidakadilan yang kami alami.
Semakin banyak orang yang
mendengar, semakin banyak yang peduli. Media mulai melirik perjuangan kami,
memberitakan kisah-kisah pilu yang selama ini terpendam di balik pagar-pagar
besi itu. Kami tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.
Namun, perjuangan tidak selalu mudah. Ada ancaman, ada tekanan, ada
ketakutan yang mencoba membungkam kami. Suatu malam, seseorang datang ke
rumahku, meninggalkan pesan tertulis, ‘Berhenti
menulis atau bersiaplah menerima akibatnya.’ Aku gemetar membaca
kata-kata itu, tetapi
aku tahu, aku tidak bisa mundur. Aku telah melangkah terlalu jauh untuk menyerah.
Laut
tidak pernah menyerah pada badai. Ombak akan terus menerjang, mengikis karang
sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menang. Begitu pula kami. Kami tidak akan
berhenti. Kami akan terus memperjuangkan hak kami, sampai pagar laut itu
runtuh, sampai laut kembali menjadi rumah bagi kami, bukan penjara yang dibatasi oleh mereka yang
serakah.
Dan
ketika hari itu tiba, aku akan
berdiri di sini lagi, di tepi pantai ini, menghirup udara kebebasan, merasakan
pasir yang hangat di telapak kakiku, dan mendengar laut berbisik lembut di
telingaku, ‘Kalian telah menang.’