Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Ishara Rodhentia - Jeruji Samudra

 


Aku berdiri di tepi pantai, membiarkan pasir halus mengalir di antara jemari kakiku. Angin berembus membawa aroma garam dan suara camar yang melayang di atas buih ombak. Laut ini, yang dahulu memberiku kehidupan, kini menjadi penghalang antara aku dan kebebasan. Pagar-pagar besi menjulang di sepanjang garis pantai, seolah melukis batas antara mereka yang berhak dan mereka yang terbuang. Di balik pagar itu, tampak dermaga mewah, tempat kapal-kapal besar berlabuh, menjanjikan keuntungan bagi mereka yang telah merebut laut kami.


Dulu, ayahku adalah seorang nelayan yang gigih. Setiap dini hari, ia akan berangkat ke laut, mengarungi gelombang dengan perahu kecilnya, mengangkat jala yang dipenuhi ikan segar. Laut adalah sahabatnya, tempat ia menitipkan doa dan harapan. Namun, kini laut tak lagi ramah. Bukan karena badai atau makhluk buas, melainkan karena pagar-pagar besi yang didirikan oleh mereka yang mengaku berkuasa. Mereka mengambil segalanya, membatasi hak kami, dan meninggalkan luka yang menganga.


“Kita tak bisa lagi melaut, Nak,” ujar ayah dengan suara berat, tatapan matanya nanar menatap pagar tinggi yang membentang sejauh mata memandang. Suaranya bergetar, seolah mengandung beban yang tak mampu diungkapkan. “Mereka bilang ini untuk pembangunan, demi kemajuan. Tapi bagaimana bisa disebut kemajuan jika itu merampas hidup kita?”


Aku tahu itu bohong. Mereka hanya ingin menyingkirkan kami, menguasai yang bukan hak mereka. Dulu, laut adalah milik semua. Tapi kini, hanya mereka yang memiliki wewenang yang boleh menyentuhnya. Kami, nelayan-nelayan kecil, hanya bisa menatap dari kejauhan, berharap ada keajaiban yang dapat merobohkan pagar-pagar itu. Ayah dan para nelayan lain mencoba protes, tapi suara mereka tenggelam dalam kebisingan janji-janji kosong dan ancaman halus dari orang-orang berkemeja rapi. Para pejabat berbicara tentang modernisasi, tentang bagaimana industri perikanan besar akan menciptakan lapangan kerja baru. Tapi kenyataannya, mereka hanya mengambil, meninggalkan kami dengan kehampaan.


Setiap malam, aku duduk di tepi pantai, mendengarkan suara deburan ombak yang berbisik tentang luka. Aku melihat bagaimana anak-anak kehilangan tawa mereka karena orang tua mereka tak lagi mampu membawa pulang hasil tangkapan. Aku melihat bagaimana ibu-ibu menangis dalam diam, mencemaskan hari esok. Aku melihat bagaimana ayahku sendiri perlahan kehilangan semangat hidupnya, seakan laut yang dulu ia cintai telah berkhianat padanya. Aku mendengar kisah-kisah nelayan yang dipaksa menjual perahunya, menggadaikan harapan mereka demi sesuap nasi. Mereka, yang dulu hidup dari laut, kini menjadi buruh di pabrik-pabrik yang berdiri di tanah mereka sendiri, tanpa kepastian masa depan.


Namun, aku tidak ingin pasrah. Aku bukan nelayan seperti ayah, tapi aku memiliki suara. Aku mulai menulis, mengukir luka kami dalam kata-kata, merajut harapan dalam bait- bait yang kutuangkan di kertas-kertas lusuh. Aku mengirimkan tulisanku ke berbagai tempat, berharap ada yang peduli, ada yang mendengar. Suatu kali, seorang jurnalis menghubungiku. Ia ingin menuliskan kisah kami. Aku melihat secercah harapan, seolah laut kembali berbisik bahwa ia belum sepenuhnya meninggalkan kami. Aku berbicara dengan lebih banyak orang, menyampaikan kisah kami di forum-forum kecil. Setiap kata yang kutuliskan adalah perlawanan, setiap kalimat adalah bukti bahwa kami masih ada, masih bertahan.


Hari demi hari, aku semakin terlibat dalam perlawanan ini. Aku bertemu dengan para nelayan dari desa lain, mendengar cerita mereka yang serupa, melihat luka yang sama. Mereka berbagi kepedihan tentang bagaimana kapal-kapal besar mengusir mereka, bagaimana pihak berwenang menutup mata terhadap penderitaan rakyat kecil. Aku mulai sadar, bahwa ini bukan hanya tentang desaku. Ini tentang ribuan, bahkan jutaan orang yang mengalami nasib serupa. Aku merasa harus melakukan lebih dari sekadar menulis. Kami mulai mengorganisir pertemuan, membentuk kelompok perlawanan, mencoba mencari jalan keluar meskipun tahu tantangan di depan begitu besar.


Suatu hari, seorang pria datang menemuiku di sebuah kafe kecil di pinggir desa. Ia tampak lelah, seakan telah menempuh perjalanan jauh untuk mencariku. Dengan tangan gemetar, ia menyodorkan sebuah map cokelat yang tebal. “Kami membaca tulisanmu,” katanya dengan suara serak. “Kami ingin membantu.” Mata pria itu memancarkan kesungguhan, dan di balik guratan wajahnya yang letih, aku melihat harapan yang selama ini terasa begitu jauh. “Ada banyak orang yang peduli dengan perjuangan ini. Kau tidak sendirian.”


“Kami membaca tulisanmu,” katanya. “Kami ingin membantu.”


Aku tak mengenalnya, tapi matanya memancarkan kepercayaan. Ia bercerita tentang komunitas yang berjuang demi hak para nelayan, tentang gerakan-gerakan yang perlahan mulai menggema di berbagai tempat. Aku tahu ini bukan lagi sekadar perjuangan seorang anak nelayan. Ini adalah perlawanan semua yang tertindas. Aku tak peduli seberapa tinggi pagar itu, seberapa kuat mereka menjaganya. Aku percaya, suatu hari pagar laut ini akan runtuh. Bukan hanya oleh tanganku, tetapi oleh tangan-tangan yang merindukan kebebasan. Laut akan kembali menjadi milik mereka yang mencintainya, bukan mereka yang hanya ingin menguasainya.


Malam itu, aku kembali ke tepi pantai, duduk di atas pasir yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Ombak berkejaran di bawah langit yang dipenuhi bintang, seolah turut mengisahkan penderitaan kami. Aku berpikir tentang masa kecilku, saat aku dan teman-teman berlari-lari di tepi pantai, membangun istana pasir, dan mendengar cerita ayah tentang legenda laut yang penuh misteri. Kini, yang tersisa hanya kesunyian dan kenangan yang kian memudar.



Aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang hukum, tentang hak kami yang dirampas. Aku membaca artikel demi artikel, menelusuri jejak ketidakadilan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Aku bertemu dengan para aktivis, berbicara dengan sesama nelayan yang nasibnya serupa. Kami bukan hanya sekadar korban, kami adalah manusia yang berhak hidup layak, yang berhak atas laut yang telah memberi kami kehidupan. Kami menggalang dukungan lebih luas, membangun jaringan solidaritas, bahkan mulai mencari cara untuk menembus sistem yang telah begitu lama menekan kami.


Hari-hari berlalu lagi, dan perjuangan kami semakin besar. Kami menggalang dukungan, mengumpulkan tanda tangan, menulis petisi, dan menghadiri berbagai diskusi. Aku mulai berbicara di depan umum, menyuarakan ketidakadilan yang kami alami. Semakin banyak orang yang mendengar, semakin banyak yang peduli. Media mulai melirik perjuangan kami, memberitakan kisah-kisah pilu yang selama ini terpendam di balik pagar-pagar besi itu. Kami tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.


Namun, perjuangan tidak selalu mudah. Ada ancaman, ada tekanan, ada ketakutan yang mencoba membungkam kami. Suatu malam, seseorang datang ke rumahku, meninggalkan pesan tertulis, ‘Berhenti menulis atau bersiaplah menerima akibatnya.’ Aku gemetar membaca kata-kata itu, tetapi aku tahu, aku tidak bisa mundur. Aku telah melangkah terlalu jauh untuk menyerah.


Laut tidak pernah menyerah pada badai. Ombak akan terus menerjang, mengikis karang sedikit demi sedikit, hingga akhirnya menang. Begitu pula kami. Kami tidak akan berhenti. Kami akan terus memperjuangkan hak kami, sampai pagar laut itu runtuh, sampai laut kembali menjadi rumah bagi kami, bukan penjara yang dibatasi oleh mereka yang serakah.


Dan ketika hari itu tiba, aku akan berdiri di sini lagi, di tepi pantai ini, menghirup udara kebebasan, merasakan pasir yang hangat di telapak kakiku, dan mendengar laut berbisik lembut di telingaku, ‘Kalian telah menang.’