Cerpen Isrok Afdilah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Deburan ombak yang dulu menenangkan, kini terdengar seperti dentuman meriam di telinga Mak Minah. Matanya yang keriput menatap nanar ke arah pagar beton raksasa yang membelah pantai, memisahkan desanya dari laut yang telah menghidupi mereka selama bergenerasi-generasi. Pagar itu, yang mereka sebut "pagar laut", berdiri kokoh, angkuh, seolah mengejek ketidak berdayaan mereka.
Dulu, setiap pagi, Mak Minah dan para perempuan desa lainnya akan berjajar di tepi pantai, menunggu perahu-perahu nelayan kembali dengan hasil tangkapan. Ikan-ikan segar, udang, dan cumi-cumi akan mereka olah menjadi hidangan lezat untuk keluarga dan dijual di pasar. Tawa dan canda mengisi pagi mereka, bercampur dengan aroma laut yang khas.
Namun, semua itu telah berubah. Pagar laut telah merenggut kebebasan mereka. Perahu-perahu nelayan kesulitan mengakses laut, hasil tangkapan menurun drastis, dan pasar ikan menjadi sepi. Anak-anak desa tidak lagi bebas bermain di pantai, berlarian mengejar ombak, atau belajar berenang dari para nelayan.
Mak Minah ingat betul bagaimana perusahaan besar itu datang, menjanjikan kesejahteraan dan kemajuan. Mereka bilang, pagar laut akan melindungi pantai dari abrasi dan menarik wisatawan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pantai menjadi kumuh, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan wisatawan tidak ada yang datang.
Setiap malam, Mak Minah duduk di beranda rumahnya, menatap ke arah laut yang gelap. Ia merindukan suara ombak yang bebas, aroma laut yang segar, dan kehidupan desa yang dulu ramai. Kini, yang tersisa hanyalah kesunyian dan kepedihan.
Suatu hari, Mak Minah memutuskan untuk bertindak. Ia mengajak para perempuan desa untuk berkumpul di depan pagar laut. Mereka membawa panci, wajan, dan alat masak lainnya. Mereka memasak ikan-ikan kecil yang berhasil ditangkap oleh para nelayan, lalu membagikannya kepada warga desa.
Aksi mereka menarik perhatian banyak orang, termasuk media dan aktivis lingkungan. Mereka menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami, menuntut agar pagar laut dibongkar. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Pemerintah akhirnya turun tangan, melakukan investigasi, dan menemukan bahwa pembangunan pagar laut telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.
Pagar laut akhirnya dibongkar. Pantai kembali bebas, dan kehidupan desa perlahan-lahan pulih. Mak Minah dan para perempuan desa menjadi simbol perlawanan, membuktikan bahwa kebebasan tidak bisa dirampas begitu saja.
Namun, perjuangan belum sepenuhnya usai. Trauma akibat hilangnya mata pencaharian dan ketidakpastian masa depan masih menghantui sebagian warga. Mak Minah, dengan kebijaksanaannya, mengajak warga untuk tidak hanya fokus pada masa lalu, tetapi juga menatap masa depan. Ia mengusulkan pembentukan koperasi nelayan yang akan mengelola hasil tangkapan secara adil dan berkelanjutan.
Bersama para pemuda desa, Mak Minah juga menggagas program pelatihan budidaya rumput laut dan kerajinan tangan dari limbah laut. Mereka menyadari bahwa ketergantungan pada satu jenis mata pencaharian terlalu berisiko. Diversifikasi ekonomi menjadi kunci untuk membangun kembali desa mereka dengan lebih kuat dan mandiri.
Perlahan tapi pasti, Desa Tanjung Harapan kembali bangkit. Anak-anak kembali bermain di pantai, para nelayan melaut dengan semangat baru, dan para perempuan desa menghasilkan produk-produk kreatif yang diminati wisatawan. Wisatawan pun mulai berdatangan, tertarik dengan keindahan alam dan semangat gotong royong warga desa.
Mak Minah, yang dulu hanya seorang perempuan tua biasa, kini menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi. Ia membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekuasaan atau kekayaan, tetapi pada keberanian, ketekunan, dan solidaritas. Ia menjadi bukti hidup bahwa kebebasan, sekali pun sempat direnggut, akan selalu menemukan jalannya untuk kembali. Dan di Desa Tanjung Harapan, kebebasan itu kini bersemi lebih kuat dari sebelumnya, di tepi laut yang kembali menjadi milik mereka.
Pesan:
Cerpen ini menggambarkan bagaimana pembangunan yang tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dapat merenggut kebebasan dan mata pencaharian masyarakat. Cerita ini juga menunjukkan pentingnya keberanian dan solidaritas dalam menghadapi ketidakadilan.