Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Jeki Pratama | Akar yang Menyentuh Langit

Cerpen Jeki Pratama




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di ujung desa, di antara pohon-pohon besar yang berjajar rapi seperti penjaga setia, hiduplah seorang pemuda bernama Jacky. Jacky bukanlah nelayan biasa yang melaut untuk mencari ikan. Ia memiliki kekuatan yang unik—sebuah kekuatan yang berasal dari alam, dari akar pohon yang bisa keluar dari tangannya. Sejak kecil, Jacky tahu bahwa ia memiliki hubungan istimewa dengan laut dan hutan yang mengelilingi desanya. Namun, ia tidak tahu persis mengapa.


Desa mereka, yang bernama Desa Lautan, berada di tepi pantai. Laut itu adalah hidup mereka, tempat mereka mencari nafkah, dan sekaligus tempat yang penuh dengan cerita. Namun, ada satu cerita yang lebih sering terdengar dari orang tua desa, tentang Pagar Laut, sebuah kekuatan alam yang dapat melindungi desa dari bencana. Pagar Laut ini tidak tampak oleh mata manusia, hanya mereka yang memiliki ikatan kuat dengan alam yang bisa merasakannya. Mungkin, pikir Jacky, ia adalah orang yang dimaksud.


Suatu sore, saat langit mulai merona oranye dan angin laut bertiup pelan, Jacky duduk di pantai, memandangi lautan luas. Laut itu tampak tenang, namun ia tahu bahwa perubahan bisa datang kapan saja. Di kejauhan, awan gelap mulai berkumpul, menandakan datangnya badai. Jacky merasakan kejanggalan, seperti sesuatu yang menggelora dalam dirinya, meminta untuk dilepaskan.


Tiba-tiba, tanpa peringatan, badai datang begitu cepat. Angin besar mulai menghempas, ombak mengamuk, dan hujan deras mengguyur desa. Warga berlarian ke dalam rumah, namun Jacky tidak bergerak. Ia merasakan sesuatu yang lebih besar dari badai ini. Tangan kirinya bergerak tanpa ia perintahkan. Akar-akar pohon besar mulai keluar dari tanah, melingkari tubuhnya, seolah memberikan kekuatan yang belum pernah ia rasakan.


“Apa yang terjadi?” gumam Jacky, kebingungan namun juga penuh rasa ingin tahu.


Dengan satu gerakan, ia mengangkat kedua tangannya ke udara. Dalam hitungan detik, akar-akar pohon menjalar di sekitar pantai, membentuk pagar yang sangat kuat, seakan-akan melindungi desa mereka dari amukan badai. Akar-akar itu membentuk tembok alami yang menjulang tinggi, menahan kekuatan gelombang yang datang.


"Ini... Pagar Laut!" seru Jacky, hatinya berdebar keras.


Sekejap, badai yang mengamuk itu mulai mereda. Akar-akar pohon terus berputar, mengikat satu sama lain, menciptakan pagar yang tidak hanya melindungi desa, tetapi juga menyatu dengan lautan. Jacky merasa kekuatan itu semakin besar. Tanpa sadar, ia menambahkan lebih banyak akar, membentuk jembatan besar yang melintasi sungai yang ada di desa, agar warga bisa melintas dengan aman.


“Ibu!” teriak Jacky, memanggil ibunya yang berlari menuju pantai. “Ayo, cepat! Ini aman!”


Ibunya datang dengan terburu-buru, matanya terpaku pada pagar akar yang membentang di sepanjang pantai, seolah menyatu dengan alam. “Jacky, apa yang kau lakukan?” tanya ibunya, suaranya cemas.


“Aku… aku hanya mengikuti apa yang kurasakan. Laut ini melindungi kita, ibu,” jawab Jacky, napasnya terengah-engah. “Pagar Laut ada, ibu. Aku bisa merasakannya.”


Ibunya terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. “Tapi, Nak, kekuatan ini sangat besar. Apa kau yakin bisa mengendalikannya?”


Jacky menatap ibunya, menggenggam akar yang melingkari tubuhnya. "Aku tidak tahu. Tapi aku harus mencobanya."


Akar-akar itu mulai membentuk lebih banyak lagi, membangun jalan-jalan yang menghubungkan rumah-rumah warga yang terpisah oleh sungai yang banjir. Jacky mengendalikan akar pohon dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya, menciptakan sebuah jembatan alami yang tak tertandingi.


“Jembatan ini... akan menjaga kita. Laut dan hutan bersatu untuk melindungi desa kita,” kata Jacky, suaranya penuh keyakinan.


Beberapa jam berlalu, dan badai itu akhirnya benar-benar reda. Langit kembali cerah, dan angin laut yang sebelumnya ganas kini berubah menjadi hembusan lembut. Jacky berdiri di atas jembatan yang ia buat, memandang lautan yang kembali tenang. Ia merasakan kedamaian yang sebelumnya ia cari-cari. Pagar Laut yang ia ciptakan tidak hanya melindungi desa mereka dari badai, tetapi juga menghubungkan mereka dengan alam yang lebih besar.


Warga mulai keluar dari rumah mereka, dan melihat apa yang terjadi. Mereka terkejut melihat jembatan besar yang terbentuk dari akar pohon, sebuah karya yang seolah muncul dari alam itu sendiri.


“Jacky... ini luar biasa!” seru seorang pria tua dari desa. “Kau telah menyelamatkan kita.”


Jacky tersenyum, meskipun tubuhnya terasa lelah. “Ini bukan hanya aku. Ini kekuatan alam yang kita semua jaga. Laut dan hutan selalu melindungi kita.”


Pagar Laut yang ia buat tidak hanya melindungi mereka dari badai, tetapi juga dari ancaman lain yang mungkin datang. Jacky tahu, untuk pertama kalinya, ia telah memahami kekuatan yang selama ini ada dalam dirinya. Ia tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengendalikan akar pohon, tetapi juga untuk menjadi penghubung antara manusia dan alam.


...Ketika malam tiba, Jacky berdiri di atas jembatan itu, memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit. Angin laut berbisik lembut, seolah berterima kasih. Pagar Laut, yang tak terlihat oleh mata biasa, kini terlihat jelas oleh Jacky.


“Pagar Laut,” gumam Jacky, “adalah cinta antara alam dan manusia.”


Ia tahu bahwa kekuatan ini bukan miliknya semata. Ia hanya seorang penjaga. Pagar Laut, yang dibuat dari akar pohon, adalah simbol dari keharmonisan antara manusia dan alam. Dan untuk pertama kalinya, Jacky merasa dirinya benar-benar menjadi bagian dari alam yang luas dan tak terbatas.


Namun, saat ia termenung di atas jembatan, suara tawa halus terdengar dari kejauhan. Jacky menoleh, dan di sana, di bawah pohon yang tumbuh dengan akar-akar yang juga ia ciptakan, berdiri seorang gadis dengan senyum cerah di wajahnya. Zulaikha. Rambut panjangnya tertiup angin, matanya berkilau seakan menangkap cahaya bintang-bintang yang berkilauan.


“Wah, jadi ini yang kau sebut Pagar Laut? Rasanya seperti berada di dunia lain,” kata Zulaikha dengan tawa lembut, mendekati Jacky.


Jacky tersenyum, sedikit malu. “Aku... aku hanya mengikuti apa yang kurasakan. Alam seperti memanggilku, Zulaikha.”


Zulaikha mendekat, tangannya meraih tangan Jacky yang masih dikelilingi akar-akar pohon. “Dan kau bisa mendengarkan suara alam dengan begitu jelas, ya? Kau benar-benar luar biasa,” katanya, tatapan matanya penuh kagum.


Jacky terkekeh, meskipun ada sedikit rasa canggung di dadanya. “Aku hanya tidak ingin melihat desa kita hancur. Aku hanya ingin melindunginya.”


Zulaikha tertawa, membuat Jacky merasa lebih tenang. “Dan kau berhasil melindungi desa kita, Jacky. Kau bahkan membuat jembatan ini. Itu bukan hal biasa.”


Jacky menatapnya dengan senyum tipis. “Mungkin, tapi aku rasa... yang lebih luar biasa adalah betapa cantiknya kau malam ini.”


Zulaikha terkesiap sejenak, wajahnya memerah. “Kau ini... benar-benar menggoda, Jacky,” ujarnya, mencoba menahan tawa.


Jacky mendekatkan dirinya, namun tetap menjaga jarak. “Ah, jadi kamu merasa tergoda? Aku kira itu hanya pujian biasa,” godanya.


Zulaikha tertawa terbahak-bahak, namun ada kilauan di matanya yang berbeda dari sebelumnya. “Kalau begitu, aku harus membalas godaanmu dengan sesuatu yang lebih manis, kan?” katanya, dengan senyuman yang menggoda, namun penuh kehangatan.


Jacky terdiam sejenak, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah laut yang tenang. “Pagar Laut ini, Zulaikha... aku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih kuat dari apa pun yang bisa kubuat.”


Zulaikha mendekat, mengusap lembut lengan Jacky. “Itu karena kau memiliki kekuatan hati, Jacky. Kekuatan itu lebih berharga daripada segala hal yang bisa kau ciptakan dengan tanganmu.”


Jacky menatap Zulaikha dengan serius. Matanya menunjukkan perasaan yang lebih dalam, seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata biasa.


“Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengendalikan kekuatan ini... tapi yang aku tahu, Zulaikha... aku ingin melindungi desa ini... dan melindungimu,” katanya dengan suara lembut, namun penuh arti.


Zulaikha terdiam sejenak, lalu dia tersenyum manis. “Aku tahu, Jacky. Aku selalu merasa aman bila kau ada di dekatku.”


Mereka saling berpandangan, suasana malam yang sejuk membuat mereka terdiam dalam keheningan, hanya terdengar desiran angin laut yang berbisik lembut. Jacky merasa seakan dunia hanya milik mereka berdua saat itu. Zulaikha mendekatkan wajahnya, dan tanpa kata-kata lagi, mereka saling menatap dalam-dalam.


Zulaikha akhirnya berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Kau tahu, Jacky... jika Pagar Laut itu adalah simbol perlindungan, maka... aku merasa aku sudah menemukan tempat yang paling aman di dunia ini.”


Jacky tersenyum, dan tiba-tiba saja ia meraih tangan Zulaikha, menggenggamnya erat. “Dan aku merasa... kamu adalah bagian dari dunia yang aku ingin lindungi.”


Zulaikha terkikik, menatap Jacky dengan penuh kehangatan. “Ah, Jacky... jangan membuatku tersipu begini. Kau memang tak bisa berhenti menggoda, ya?”


Jacky tertawa kecil, matanya penuh tawa. “Mungkin... sedikit menggoda tidak ada salahnya, kan? Tapi yang lebih penting adalah, aku hanya ingin kau tahu, Zulaikha, betapa berartinya kamu bagiku.”


Zulaikha memandang Jacky dengan penuh perhatian. “Aku tahu, Jacky. Dan kau lebih dari cukup bagiku. Tidak ada yang lebih penting dari kita berdua.”


Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajah mereka, Jacky dan Zulaikha berjalan bersama di atas jembatan yang penuh dengan akar pohon. Mereka bercanda, saling menggoda dengan ringan, namun ada perasaan yang jauh lebih dalam yang terjalin di antara mereka—perasaan yang menghubungkan mereka bukan hanya dengan kekuatan alam, tetapi juga dengan cinta yang tumbuh di tengah badai yang telah berlalu.


Dan di malam itu, di bawah cahaya bintang dan hembusan angin laut, mereka tahu bahwa, seperti Pagar Laut yang melindungi desa mereka, cinta mereka adalah benteng yang tak akan pernah goyah.