Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Kadek Oka Dwiana | Sangkar Ombak

Cerpen Kadek Oka Dwiana



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Di sebuah desa kecil di pinggir pantai, hiduplah seorang gadis remaja bernama Tara. Tara adalah anak tunggal yang saat ini berusia 17 tahun. Ia dibesarkan oleh bapaknya seorang diri, yaitu Pak Yusman. Pak Yusman adalah seorang nelayan yang sehari-hari menangkap ikan di pantai dekat rumah mereka. Pada malam hari, ia akan pergi berlayar dengan kapalnya dan kembali saat subuh dengan hasil tangkapannya. Namun, belakangan ini, cuaca sedang tidak baik-baik saja. Angin dan gelombang laut tidak menentu arahnya, sehingga dalam beberapa hari terakhir, Pak Yusman tidak bisa melaut.


“Hari ini Bapak tidak pergi berlayar lagi?” tanya Tara kepada bapaknya.


“Tidak, Nak. Cuaca hari ini buruk,” jawab Pak Yusman sambil menatap kosong ke arah depan, seolah-olah banyak pikiran.


Tara kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan bapaknya secangkir teh. Setelah selesai, ia membawakan teh tersebut dan memberikannya kepada Pak Yusman yang sedang duduk di kursi teras rumah.


“Ini, Pak. Minum dulu,” ucap Tara sambil memberi teh ke bapaknya, sembari pergi duduk di samping bapaknya


“Bapak kenapa? Sepertinya lagi banyak pikiran,” tanya Tara.


“Tidak kenapa-kenapa Nak. Bapak cuma memikirkan cuaca akhir-akhir ini. Entah sampai kapan akan begini terus. Keuangan Bapak semakin menipis karena tidak bisa pergi melaut,” jawab Pak Yusman.


Keadaan pun hening sejenak. Tiba-tiba, suara rintik hujan terdengar, dan tak lama kemudian hujan deras turun, disertai gemuruh petir. Tara berpikir dan berniat mencari pekerjaan untuk membantu bapaknya memenuhi kebutuhan sehari-hari.


“Pak, boleh tidak kalau aku mencari kerja? Buat bantu-bantu memenuhi kebutuhan kita,” tanya Tara.


“Jangan, Nak. Kamu fokus sekolah saja dulu. Sebentar lagi kamu mau ujian sekolah. Biar Bapak saja yang mencari uang,” jawab Pak Yusman.


“Baiklah Pak,” jawab Tara lesu karena tidak diizinkan bekerja oleh bapaknya. “Sudah malam Nak. Pergi tidur dulu sana, besok kamu harus sekolah pagi-pagi,” ujar Pak Yusman.


Tara mengangguk, lalu masuk ke kamarnya untuk tidur, sementara Pak Yusman masih duduk di teras rumah sambil melihat rintik-rintik hujan.


"Kalau cuaca begini terus, kapan aku bisa pergi mencari ikan ke laut?" pikir Pak Yusman.


Tak lama kemudian, ia masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya. Setibanya di kamar, ia berbaring di kasur dan mencoba memejamkan mata. Tak butuh waktu lama, ia pun tertidur.


Keesokan paginya, Pak Yusman dan Tara terbangun subuh-subuh karena mendengar suara kentongan dari bambu, menandakan ada sesuatu yang sedang terjadi. Dengan panik, mereka bergegas keluar rumah dan bertanya kepada warga sekitar. Kebetulan, saat itu Pak Yusman bertemu dengan Pak Umar yang sedang melintas di depan rumahnya.


“Pak Umar, ada apa ini?” tanya Pak Yusman gelisah.


“Air laut sedang pasang Pak. Rumah-rumah warga di ujung sana sudah banyak yang rusak dihantam oleh ombak. Perahu nelayan juga banyak yang hancur. Sebaiknya, segera selamatkan diri,” jelas Pak Umar.


Mendengar hal itu, Pak Yusman dan Tara segera mencari tempat aman tanpa sempat memikirkan barang-barang di rumah mereka. Rumah mereka sangat dekat dengan pantai, dan mereka khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka berlindung di pos ronda sambil menunggu matahari terbit.


“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, bagaimana kalau kita membangun tembok di sekitar pantai? Untuk berjaga-jaga kalau air laut pasang lagi. Kasihan warga yang rumahnya paling dekat dengan pantai,” usul Pak Irman, selaku RT desa tersebut.


“Saya setuju, Pak. Tapi, apakah tembok saja cukup?” tanya Pak Yusman.


“Saya rasa cukup, karena metode ini sudah diterapkan di beberapa daerah,” jawab Pak Irman.


“Baiklah Pak,” Jawab Pak Yusman dengan sedikit ragu.


Matahari mulai memancarkan sinarnya. Pasang air laut perlahan mereda. Warga yang sebelumnya mengungsi di pos ronda mulai kembali ke rumah masing-masing, termasuk Pak Yusman dan Tara.


Setibanya di rumah, Pak Yusman sangat bersyukur karena tidak ada barang-barang mereka yang terbawa arus. Air pasang hanya sampai di teras rumahnya saja.


“Mudah-mudahan cuaca hari ini bagus, agar aku bisa pergi berlayar,” ucap Pak Yusman penuh harapan.


Matahari mulai meninggi, membawa kehangatan setelah semalaman hujan mengguyur desa. Pak Yusman dan Tara berjalan menyusuri pantai, melihat sisa-sisa air pasang yang semalam hampir merendam rumah warga. Beberapa perahu terdampar di daratan, sebagian hancur akibat hantaman ombak. Warga yang rumahnya rusak mulai membersihkan puing-puing.


Pak Yusman menatap lautan dengan mata nanar. “Kalau begini terus, bagaimana nasib kita para nelayan?” Ujarnya.


Di balai desa, pertemuan darurat kembali diadakan. Warga berkumpul membahas rencana pembangunan tembok pelindung dan penanaman pohon bakau.


“Saya sudah berkonsultasi dengan beberapa orang yang paham soal ini,” ujar Pak Irman, Selaku RT desa. “Tembok harus dibangun lebih kuat, dan kita perlu bantuan semua warga.”


“Tapi kita juga harus pikirkan biaya,” sela Pak Umar.


“Kita bisa bekerja sama dengan pemerintah desa. Saya akan coba mengajukan bantuan. Sementara itu, kita bisa mulai dengan bahan yang ada,” jawab Pak Irman.


Pak Yusman mengangguk. “Kalau begitu, kita tidak boleh menunda lagi. Kita harus mulai secepatnya.”


Hari-hari berikutnya, warga desa bekerja keras membangun tembok pelindung. Para lelaki, termasuk Pak Yusman, mengangkut batu dan pasir dari desa sebelah, sementara ibu-ibu dan anak-anak membantu semampunya, mulai dari menyiapkan makanan hingga membawa air.


Tara ikut serta, membantu mengisi karung-karung pasir yang digunakan sebagai penahan awal sebelum tembok semen dibangun. Tangannya terasa pegal, tetapi ia tidak mengeluh.


“Kerja yang bagus, Nak,” kata Pak Yusman saat melihat Tara membantu.


Tara tersenyum. “Kalau tembok ini bisa melindungi desa kita, aku rela bekerja lebih keras lagi, Pak.”


Setelah beberapa hari, tembok pertama mulai terbentuk. Tingginya sekitar dua meter, cukup untuk menahan ombak besar agar tidak langsung menghantam daratan. Namun, pekerjaan belum selesai.


“Kita tidak bisa hanya mengandalkan tembok,” kata Pak Arlan, seorang warga yang pernah bekerja di bidang lingkungan. “Tembok ini bagus, tapi kalau terus-menerus dihantam ombak, bisa retak dan roboh. Kita butuh perlindungan alami.”


“Pohon bakau?” tanya Pak Yusman.


Pak Arlan mengangguk. “Ya, pohon bakau bisa menyerap energi gelombang dan menahan erosi pantai.”


Warga pun sepakat untuk menanam pohon bakau di sepanjang garis pantai. Bibit bakau didatangkan dari desa tetangga. Tara dan anak-anak lain ikut serta dalam proses penanaman. Dengan kaki terbenam lumpur, mereka menanam satu per satu bibit bakau di garis pantai yang sudah ditentukan.


“Kenapa harus ditanam di lumpur, Pak?” tanya Tara saat menanam sebuah bibit.


“Karena bakau butuh tanah yang bisa menyimpan air dan garam. Nanti akarnya akan tumbuh kuat dan membantu mengurangi dampak ombak,” jelas Pak Arlan.


Hari demi hari, pekerjaan terus berlangsung. Para warga tak kenal lelah, bekerja bersama demi menjaga desa mereka.


Setelah beberapa minggu, tembok pelindung selesai, dan ratusan bibit bakau sudah tertanam. Desa mereka kini memiliki perlindungan yang lebih baik dari ganasnya laut.


Pada suatu malam, ketika angin kencang kembali bertiup dan ombak besar menghantam pantai, Tara dan warga lainnya melihat dari kejauhan bagaimana tembok menahan air agar tidak sampai ke pemukiman. Bibit bakau yang mulai tumbuh juga membantu meredam gelombang.


Pak Yusman menarik napas lega. “Kita sudah melakukan yang terbaik untuk melindungi desa ini.”


Tara tersenyum. “Iya, Pak. Sekarang kita bisa lebih tenang.”


Meskipun ancaman ombak tak akan pernah benar-benar hilang, mereka kini lebih siap. Ombak di dalam sangkar tembok dan bakau itu bukan lagi ancaman besar, melainkan pengingat bahwa alam dan manusia harus hidup berdampingan.