Cerpen Kairakha Bunayya Linarchadi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Setiap hari Damar, Fahri, dan Nisa menghabiskan hari hari mereka bermain di pantai. Ombak yang berkejaran, pasir yang lembut, burung burung yang berterbangan menghiasi langit langit. Sore hari selalu menjadi penutup dari petualangan mereka, yang diiringi langkah lelah dan canda tawa. Dulu mereka tidak bisa bermain hingga senja, ombak selalu mengusir mereka untuk selalu menjauh dari bibir pantai. Semua itu teratasi semenjak adanya pagar laut yang membentang di sekitar pantai.
Mereka bertiga beristirahat sejenak di warung Bu Yati yang terletak di dekat pantai setelah menyelesaikan petualangan mereka. Hampir semua yang dijual Bu Yati adalah olahan ikan, karena tempat makan itu dekat pantai. Mereka pun makan dengan lahap menikmati hidangan yang disajikan oleh Bu Yati.
Setelah kondisi perut sudah teratasi, Mereka duduk di tepi pantai menikmati semilir angin sore. Matahari mulai menghilang dari pandangan, menyisakan cahaya jingga yang memperindah cakrawala. Nisa terpikir soal pagar laut yang semakin panjang. Ia memandang pagar tersebut dengan tatapan penuh tanya.
“Kalian nggak penasaran siapa yang bikin pagar ini terus memanjang?” Tanya Nisa sambil memainkan sedotan pada kelapa muda yang hampir habis.
“Ayahku bilang, pagar laut itu buat kebaikan kita semua. Supaya nggak ada ombak besar yang menyeret kita ke tengah laut,” jawab Damar santai.
“Tapi nggak aneh, ya? Kok kayak nggak ada ujungnya?” Fahri menimpali, ikut memikirkan ucapan Nisa.
Mereka bertiga terdiam, membiarkan pikiran melayang-layang. Hingga tiba-tiba, seorang lelaki tua yang duduk di sudut warung Bu Yati menghampiri mereka. Ia mengenakan baju lusuh dengan caping yang hampir menutupi wajahnya.
“Kalian penasaran soal pagar laut itu, ya?” tanyanya dengan suara serak.
Mereka bertiga saling pandang. Nisa mengangguk pelan. Lelaki tua itu tersenyum tipis, lalu menarik kursi dan duduk di sebelah mereka.
“Saya sudah tinggal di desa ini sejak lama. Dulu, pantai ini bebas, tanpa pagar, dan ombak memang besar. Tapi, laut adalah bagian dari kehidupan kami,” ujarnya.
“Tapi, Pak, pagar ini melindungi kita dari ombak besar kan?” sela Damar.
Lelaki tua itu menghela napas. “Memang begitu. Tapi tau gak kalian? Pagar ini bukan sekadar pagar biasa. Setiap malam, pagar ini bertambah panjang tanpa ada yang tahu siapa yang membangunnya.” nada mistis mengiringi kalimatnya.
Mereka bertiga merasakan bulu kuduk meremang. Suasana yang tadinya ceria mendadak menjadi tegang.
“Apa maksudnya, Pak? Pagarnya tumbuh sendiri?” tanya Fahri, suaranya sedikit gemetar.
“Seseorang atau sesuatu menambahkan pagar itu setiap malam. Saya sendiri sudah beberapa kali melihat sesosok bayangan bergerak di sekitar pantai saat tengah malam. Tapi setiap kali saya mendekat, tidak ada siapa-siapa,” jelas lelaki tua itu.
Mereka bertiga menelan ludah. Nisa yang awalnya hanya penasaran, kini mulai merasa ngeri.
“Meskipun pagar itu sangat bermanfaat, jika terlalu panjang akan mengganggu kehidupan masyarakat juga pada akhirnya.” tegas sang lelaki tua sambil mengatur posisi duduk yang lebih nyaman.
“Para nelayan jadi kesulitan saat menangkap ikan, mereka harus berlayar lebih jauh untuk mendapat tangkapan ikan yang besar. Berlayar lebih jauh tentunya membutuhkan tenaga dan bahan bakar yang lebih dan itu membuat keuntungan mereka menurun. Kerusakan perahu dan jaring akibat tersangkut atau menabrak struktur pagar juga sering terjadi, menambah beban ekonomi bagi nelayan.” tambah lelaki tua itu.
“Pagar laut ngerusak lingkungan juga gak Pak?” tanya Nisa mengabaikan rasa tegang yang dia alami.
“Jelas iya! pagar laut dapat merusak ekosistem seperti terumbu karang dan padang lamun yang ada di bawah laut. Makanya ikan ikan menjauh, mereka kehilangan rumah karena pagar laut itu.” jelas si lelaki tua.
Nisa, Damar, dan Fahri terdiam. Lelaki tua itu pun pergi ketika keheningan datang.
Nisa menatap Fahri dan Damar dengan ekspresi penuh tanda tanya. “Kalian percaya sama omongan Pak Tua tadi?” suaranya pelan, hampir berbisik.
Damar menelan ludah, menoleh ke arah pantai yang mulai gelap. “Aku nggak tahu… tapi yang jelas, aku jadi makin penasaran.”
“Kalian berani nggak, kalau kita cari tahu sendiri?” tantang Fahri.
Damar dan Nisa terdiam. Mereka saling bertatapan, mempertimbangkan ide gila itu. Di satu sisi, mereka penasaran. Di sisi lain, mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi.
Nisa, Damar dan Fahri tinggal di desa dekat pinggir pantai. Mereka senang sekali bermain di pantai. Untuk anak seumuran mereka, tidak ada yang membatasi untuk terus bermain. Tiada hari di pesisir pantai tanpa kehadiran mereka. Hanya langit jingga lah yang memaksa mereka untuk beristirahat dan menyambut esok hari dengan semangat.
Karena rasa penasaran sudah mencapai batas, mereka memutuskan untuk menyelidiki pagar laut itu esok malam. Mereka bertekad untuk menangkap si bayangan misterius, agar pagar laut tidak bertambah panjang lagi. Mereka akhirnya berkumpul di tempat yang telah disepakati. Peralatan dan perbekalan sudah disiapkan dari rumah sebagai amunisi untuk perburuan mereka.
“Semuanya sudah siap kan?” tanya Nisa.
“Harusnya sih udah semua, kita sudah mempersiapkan ini dengan matang dari kemarin.” tegas Fahri.
“Kita yakin mau ngelakuin ini? Gimana kalo kita yang ketangkap? Aku gak mau bikin khawatir orang tuaku” tanya Damar, dengan gelisah.
“Kalo ragu kenapa dateng? Udahlah pulang aja kamu, dasar penakut!!” ucap Nisa dengan nada kesal.
Damar terdiam, menatap kedua temannya dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin dicap sebagai pengecut, tetapi ketakutan dalam hatinya masih ada. Namun, melihat semangat Nisa dan Fahri, ia menghela napas dan mengangguk.
“Baiklah, aku ikut,” ucapnya dengan tekad yang sudah bulat.
Mereka bertiga berjalan perlahan menuju pantai yang kini terasa lebih sunyi dari biasanya. Ombak terdengar bergemuruh di kejauhan, namun tak ada suara lain yang menemani langkah mereka. Dengan hati-hati, mereka bersembunyi di balik bebatuan besar, menunggu sesuatu terjadi.
Waktu terus berjalan. Hingga akhirnya, di bawah remang bulan, mereka melihatnya. Tangkapan yang sudah mereka nantikan.
Damar menahan napas. “Itu dia...” bisiknya.
Fahri merapatkan genggaman tangannya, bersiap untuk melakukan sesuatu. “Kita tangkap sekarang?”
Nisa menelan ludah. “Tunggu... kita lihat dulu apa yang akan dia lakukan.”
Ketiganya mengamati dengan saksama. Sosok itu tampak membawa sesuatu lalu ditancapkan ke laut. Mereka tetap menahan diri untuk tidak langsung menangkapnya.
Mereka bertiga terdiam sejenak setelah menyaksikan hal itu. Sosok bayangan tadi sudah pergi tanpa mereka sadari, meninggalkan keheningan di sekitar mereka.
“Ini... ini nggak mungkin,” gumam Nisa, matanya membesar.
Fahri menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Kita harus cari tahu lebih lanjut. Tapi kita harus lebih hati-hati.”
Mereka pun memutuskan untuk mengikuti sosok bayangan itu lebih dekat, meskipun perasaan takut masih menyelimuti hati mereka.
Mereka mengikuti sosok itu hingga ke gudang tak terpakai di balik tebing pesisir. Dengan senyap, mereka bersembunyi di balik kontainer, mengintip dengan hati-hati. Sosok itu mengenakan jaket dan kupluk untuk menyembunyikan identitasnya.
“Haduhhh gerah banget, padahal anginnya kenceng tapi masih aja keringetan. Bisa masuk angin kalo begini.” ucap lelaki itu dengan helaan nafasnya yang panjang.
Mereka bertiga pun tersontak setelah mendengar suara lelaki tersebut.
“Itu kan…. AYAH!!!” teriak Damar dengan spontan.
Lelaki tersebut pun kaget dan segera menghampiri sumber suara tersebut. Mereka bertiga memilih untuk terus bersembunyi dan mencari momen yang tepat untuk menangkap lelaki itu.
“Ternyata ayah…” ucap Damar merasa syok.
“Udah kita pikirin itu nanti, sekarang kita harus sembunyi dulu terus mikirin cara buat nangkep ayah kamu.” tegas Nisa untuk menyadarkan kedua temannya.
“Hei bocah!! Di mana kalian ? Mau main petak umpet hah?” teriak lelaki itu untuk memprovokasi mereka bertiga.
“Kenapa ayah ngelakuin ini!! Kenapa ayah diam diam ngelakuin tindakan tercela seperti ini!!” teriak Damar kepada ayahnya.
“Haduh Damar, ketahuan kan kita.” keluh Fahri atas tindakan Damar.
“Yaudah langsung kita tangkap aja.” ucap Nisa tanpa membuang waktu.
Mereka bertiga melempar jaring yang sudah mereka siapkan untuk menangkap pelaku dari pemasangan pagar laut. Lelaki itu tidak dapat berbuat apa apa karena sudah tertangkap basah oleh mereka bertiga. Akhirnya lelaki itu membuka mulut atas apa yang telah ia lakukan.
“Maaf ya nak, ayah gak bisa jadi contoh yang baik buat kamu.” ucap lelaki itu dengan penuh penyesalan.
“Apa yang ngebuat ayah ngelakuin ini? Siapa yang nyuruh ayah buat terus manjangin pagar laut itu?” tanya Damar.
“Ayah ngelakuin ini untuk keluarga kita nak, saat itu ayah tak kunjung dapat pekerjaan hingga suatu hari ada lelaki berjas hitam yang meminta ayah untuk memasang pagar laut di sekitaran sini. Ayah mendapatkan upah sesuai dengan panjang pagar laut yang berhasil ditambah.” ucap ayah Damar dengan penuh kekecewaan.
"Setiap hari, lelaki berjas itu datang untuk mengecek kemajuan pembangunan dan memberikan bayaran kepada ayah. Ayah tidak banyak bertanya karena lelaki itu mengancam akan melaporkannya ke polisi jika terlalu banyak bicara," kata ayah Damar.
Setelah mendengarkan pernyataan ayah Damar, Target tangkapan mereka selanjutnya adalah lelaki berjas hitam tersebut sekaligus untuk membersihkan nama baik ayah Damar
Keesokan harinya, Nisa, Damar, dan Fahri bersembunyi di gudang tua, mengintai lelaki berjas hitam yang datang memeriksa pagar laut. Saat lelaki itu sibuk berbicara di telepon, mereka segera bertindak. Dengan jaring yang sudah disiapkan, mereka menangkapnya.
Lelaki itu berontak, tapi mereka berhasil menahannya hingga warga datang. Polisi segera dipanggil, dan setelah penyelidikan, terungkap bahwa ia adalah dalang di balik proyek pagar laut misterius yang merugikan warga. Ia menerima bayaran dari pihak tak dikenal untuk memperpanjang pagar demi kepentingan tersembunyi.
Ayah Damar dibebaskan dari keterlibatannya setelah menjadi saksi kunci. Pagar laut akhirnya dihentikan, nelayan kembali bisa melaut dengan leluasa, dan ekosistem pun pulih perlahan. Desa kembali damai, dan mereka bertiga merasa bangga telah mengungkap misteri yang selama ini mengusik mereka.