Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Kania Haura | Misteri Pagar Laut


Disebuah desa kecil yang terpencil, ada sebuah mitos yang dipercaya turun temurun. Konon, di ujung laut, ada pagar tak kasatmata yang memisahkan dunia manusia dan dunia laut. Tidak seorang pun boleh melewati batas itu, atau sesuatu yang buruk akan terjadi.

Mitos itiu hanya dianggap dongeng bagi sebagian orang, tetapi tidak bagi rahmat, seorang nelayan muda yang sering melihat hal aneh di lautan. Suatu malam, saat ia melaut sendirian, lampu kapalnya meredup tiba-tiba. Ombak yang semula tenang mulai bergelombang. Di kejauhan, ia melihat bayangan pagar raksasa berkilauan di bawah cahaya bulan. 

“Apakah itu...pagar laut?” gumamnya.

Namun, yang lebih mengejutkan, ia melihat sesosok perempuan berdiri di atas air, tepat di depan pagar itu. Wajahnya tidak jelas, tetapi gaunnya seperti ombak yang bergulung.

"Jangan mendekat," suara perempuan itu terdengar samar.

Rahmat membeku. Tubuhnya ingin mundur, tetapi rasa penasarannya terlalu kuat. Ia mendayung perlahan, melewati batas yang selama ini dianggap mitos. Dan saat itulah ia melihat sesuatu yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Di balik pagar laut, ada dunia lain. Kota-kota bercahaya berdiri di dasar laut, dihuni oleh makhluk-makhluk yang tak pernah ia bayangkan. Namun, yang paling mengejutkan adalah sosok-sosok yang mengambang di antara karang... manusia-manusia yang hilang di laut. Mata mereka kosong, tubuh mereka transparan seperti air.

"Siapa mereka...?" bisik Rahmat ketakutan.

Perempuan tadi menoleh padanya. "Mereka yang melewati batas tanpa izin. Mereka yang menantang lautan dan melupakan keseimbangannya."

Rahmat merasa napasnya sesak. Air laut di sekelilingnya mulai naik, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Ia berusaha mendayung mundur, tetapi perahu kecilnya tak bergerak.

"Kau harus memilih," kata perempuan itu. "Tetap di sini dan menjadi bagian dari laut... atau kembali, dengan janji tidak akan pernah melupakan batas ini."

Tanpa ragu, Rahmat memilih kembali. Seketika, ia terbangun di kapalnya sendiri, mendekati pantai dengan tubuh gemetar. Sejak malam itu, ia tak pernah berani melewati batas laut. Namun, setiap kali ia melaut, ia selalu bisa merasakan sesuatu yang mengawasinya dari kejauhan. Ombak, angin, bahkan bisikan halus dari laut seakan terus mengingatkannya akan malam itu.

Suatu hari, saat Rahmat duduk di tepi pantai, seorang nelayan tua mendekatinya.

“Kau melihatnya, bukan?” tanya lelaki itu tanpa basa-basi.

Rahmat terkejut. “Melihat apa, Pak?”

Nelayan tua itu tersenyum tipis. “Pagar laut.”

Rahmat menegang. Ia tidak pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. “Bagaimana Bapak tahu?”

“Sebab aku juga pernah melihatnya,” jawab lelaki itu lirih. “Bertahun-tahun lalu, aku adalah orang sepertimu… nekat melewati batas.”

Rahmat menelan ludah. “Apa yang terjadi pada Bapak?”

“Sama seperti kau, aku diberi pilihan… dan aku memilih kembali.” Nelayan itu menghela napas panjang. “Tapi itu belum berakhir, Nak. Mereka tidak hanya menjaga batas… mereka juga mengawasi kita.”

Rahmat bergidik. Ia menoleh ke laut, ke batas yang tak kasatmata itu. Angin berembus lebih dingin dari biasanya, dan suara ombak terdengar lebih berat.

Malam itu, Rahmat sulit tidur. Dalam mimpinya, ia kembali berada di tengah laut. Bayangan pagar raksasa itu kembali muncul, dan di depannya, sosok perempuan bergaun ombak menatapnya dalam diam.

“Keseimbangan terganggu,” suara perempuan itu terdengar. “Seseorang telah melewati batas…dan kali ini, mereka tidak kembali.”

Rahmat terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Di luar, angin laut bertiup lebih kencang, membawa bisikan yang hanya bisa didengar olehnya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Rahmat menyadari satu hal pagar laut bukan hanya pelindung… tapi juga peringatan.

Dan kini, sesuatu telah berubah.