Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Kania Mulia Pradani | Stella dan Lautan

Cerpen Kania Mulia Pradani 



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Pagi ini cerah. Mentari bersinar terang di langit, membawa keceriaan beraktivitas bagi semua. Ayah sudah pergi melaut sedari subuh, meninggalkan aku yang masih tertidur lelap setelah ia berpamitan pada Ibu. Begitu bangun tidur, kuhampiri Ibu yang sedang mengasin ikan di depan rumah. 


“Sudah bangun? Makanan ada di meja, isi perutmu dulu. Setelahnya pergilah mandi, Lasti datang tadi, ingin mengajakmu bermain.”


“Sungguh? Tidak biasanya dia datang kemari. Selalunya aku yang menghampiri. Bolehkah aku pergi main setelahnya, Bu?”


“Ya, silakan. Ibu dengar-dengar tengah hari nanti ada pertemuan warga. Ibu tidak bisa datang, mengapa tidak kamu saja yang hadir? Gantikan ibu, sampaikan bahwa nanti ibu sibuk mengerjakan pesanan jahit.”


“Baik, Bu.”


Berlari kecil aku bersiap mandi, yang setelahnya baru menyantap makananku. Sembari mengunyah, kubuka buku yang berisikan karya-karya tulisku. Sudah enam belas judul, lumayan. Memang sudah menjadi kegemaranku, membuat berbagai tulisan yang berisi karya sastra. Meski begitu, tidak ada yang tahu, atau mungkin aku yang tidak tahu, bahwa seseorang pernah membaca karya itu. Maksudku, aku ‘kan tidak tahu, mungkin saja ayah sudah membaca tulisanku diam-diam. Duh, membayangkannya saja sudah membuat wajahku merah seperti kepiting rebus. Aku tidak suka siapapun membaca tulisanku. Aku lebih suka menciptakan dan membacakannya untuk diriku sendiri. Aneh, memang. 


Aku tidak punya judul untuk tulisan hari ini. Mungkin setelah pergi keluar nanti aku akan mendapat ide. Karena itu aku segera menyelesaikan sarapanku dan berlari keluar rumah. Rumahku memang agak terpencil, kira-kira butuh waktu 7 menit untuk sampai ke pemukiman warga yang lain. Mengapa begitu? Entah, tetapi syukurlah, karena aku lebih menyukai lingkungan yang damai tanpa bising warga lain. 7 menit tepat berlalu. Hei, mengapa ada ramai-ramai disana? Aku memang tidak suka keramaian, tetapi terkadang keramaian menarik diriku mendekat karena penasaran. 


“Tolak! Saya tidak sudi melihat pemasangan itu di wilayah kita! Memangnya mereka siapa, berani mengambil hak kita? Apapun yang terjadi, saya tidak akan pernah setuju! Langkahi dulu tubuh dinginku jika ingin tetap melakukannya!” 


Suara seorang pemuda. Oh, itu Paman Ari. Kalau bicara, memang sudah menjadi ciri khasnya pakai kalimat yang hiperbola. “Tubuh dingin” maksudnya itu mayat. Keren, sih, tapi tetap saja menurutku itu lucu. Ada masalah apa, memangnya?


“Sera! Sini, cepat kemari!” 


Suara Lasti. Kuhampiri dirinya yang sedang berhimpitan di antara kerumunan orang. 


“Ada apa, sih, Las? Kok, rame banget? Kenapa Paman Ari kambuh lagi lebay-nya?”


“Hush, dia bukan lebay! Kamu kalau seberani dia pun pasti begitu juga. Katanya, ada rencana pembangunan pagar laut. Para warga sudah menolak, tapi sampai sekarang masih belum jelas kedepannya. Bayangkan, pagar laut! Geram sekali rasanya! Tidakkah mereka memikirkan kelangsungan hidup rakyat biasa seperti kita disini? Bagaimana dan darimana lagi nanti kita mencari penghidupan jika aksesnya dibatasi seperti itu? Aneh! Dimana kiranya letak otak orang-orang itu, ya? Rasa-rasanya di dengkul!” 


Sementara Lasti mencak-mencak, aku mencoba mencerna kalimatnya. Pagar laut? Benarkah itu? Kuinterupsi kalimatnya yang terus mengumpat tiada henti. 


“Apakah itu yang akan dibicarakan pada pertemuan warga nanti? Ibu memintaku menggantikannya untuk hadir, mari datang berdua saja, kita dengar lebih lanjut disana.”


***


Pukul 5 sore. Pertemuan warga tidak berjalan damai, berbagai caci-maki dari warga yang tidak setuju terlontar dan hampir terjadi adu fisik jika tidak dihentikan. Aku berjalan gontai menuju laut. Lasti sudah pulang, dan aku masih ingin bersantai menikmati mentari yang tenggelam. Aku membawa buku yang berisi tulisanku, dengan niat mencari ide. Ada tempat berteduh kegemaranku di depan sana, dibawah naungan pohon mahoni yang rimbun. 


‘Laut: Haruskah?’


Kutulis judul karya baruku. Baru menuju bait kedua ketika sebuah titik di kejauhan menangkap perhatianku. Semakin lama semakin besar, juga semakin dekat tentunya. Oh, hei, apakah itu orang yang berjalan di lautan? Betulan, ada perempuan yang dibawa “berjalan” oleh ombak! Ketika sampai di tepian, disingkapnya rok birunya sedikit yang terlihat kepanjangan. Melangkah dia ke arahku sambil menunduk, kemudian barulah dia mengangkat wajahnya ketika berjarak tiga langkah dariku. Kita berdua sama kagetnya, namun dia lebih cepat menaklukkan rasa terkejutnya dan segera menempelkan telunjuknya pada bibir sebagai isyarat supaya aku tidak berteriak. 


Wajahnya cantik, dengan rambut panjang yang digerai dan bibir merah merona. Sebelum aku sempat mengeluarkan suara, dia lebih dulu berkata:


“Halo, makhluk darat. Jangan berisik, tentu kamu tidak ingin menarik perhatian yang lain, bukan? Aku Stella. Siapa namamu?”


“Eh, Sera. Halo, halo” 


Aku ragu-ragu menjawab pertanyaannya, menunjukan kebingungan dan tanda tanya yang besar. Dia terdiam sejenak dan mengamatiku dengan lebih seksama. 


“Sera. Bolehkah aku ikut berteduh disini? Aku ingin duduk sejenak, lelah sekali rasanya.”


“Oh, silakan.” aku dengan kikuk mempersilakannya untuk duduk dan bergeser sedikit, mengangkat bukuku ke pangkuan.


Dia segera duduk, dengan berselonjor kaki dan menyilang tangan. Matanya terpejam menikmati desir angin dan harum asin lautan. Aku tidak tahu harus apa, jadi kulanjutkan saja tulisan yang tadi. Apa maksudnya ‘makhluk darat’ itu? Memangnya dia bukan? Hah, lucu sekali, masa’ dia ikan?


“Apa yang kau tulis itu?” tanyanya memecah lamunanku.


“Eh, bukan apa-apa. Kegemaranku, membuat puisi.”


“Bolehkah aku lihat?”


Wajahku memerah dalam sekejap. Tidak mau, aku tidak suka tulisanku dilihat orang lain. Namun tatapannya yang aneh membuatku entah mengapa seolah segan dan menuruti permintaannya. Dengan ragu-ragu, kujulurkan bukuku. Dibacanya tulisanku dengan cermat. 


“Apa tujuannya puisi ini?”


Tuh kan’, duh, malu sekali rasanya ditanya begitu. Sudah kubilang aku tidak suka menjelaskan karyaku pada orang lain!


“Tidak ada tujuannya. Aku membuatnya semata-mata untuk menambah karyaku saja. Tapi, pertemuan warga tadi siang yang mendorongku membuat ini.”


“Memangnya ada apa di pertemuan tadi?”


“Tadi siang para warga berkumpul, mendiskusikan rencana pemasangan pagar laut untuk kepentingan perusahaan. Kita menolak, tentu saja, tapi entah bagaimana kelanjutannya nanti.”


“Pagar laut? Bukankah itu justru akan menghambat aktivitas kalian? Aku tidak mengerti bagaimana kalian, manusia, berpikir. Aku sudah berusaha berbuat baik dan menyediakan segala keperluan kalian, masih perlukah kalian menyakiti wilayahku?”


Usai bicara, ia melamun sejenak. Apa maksudnya? Seolah dia yang disakiti, kalimatnya membingungkan. Aku tidak mengerti.


“Kamu tahu, Sera, dahulu, laut kita ini adalah sumber penghidupan satu-satunya bagi masyarakat. Laut memberikan sumber pangan, laut membuka jalur kalian bepergian, laut menjadi penjaga iklim. Laut melindungi kalian, laut menyuguhkan keindahan. Haruskah manusia membalasnya dengan menyakiti? Sungguh, aku tidak paham. Tidak cukupkah semua keberkahan yang diberikan?”


Matanya berkaca-kaca. Aku hanya terdiam, dalam bisu turut setuju dengannya. 


“Sekarang, Sera, jika manusia tetap memilih untuk egois dan terus memaksakan kehendaknya, bagaimana kiranya masa depan lautan nanti? Atau tidak perlulah, kalian pikirkan lautan, karena memang sudah pada dasarnya kalian hanya mementingkan diri sendiri, tapi bagaimana dengan kalian sendiri nanti?”


Aku tidak tahu. Aku hanya bisa menggeleng perlahan sambil terus menatap pasir tanpa berkedip. 


“Sepertinya kalian memang tidak peduli. Haruskah kutarik saja semua berkah yang diberikan? Manusia tidak bisa membalas pemberianku walau hanya dengan berpuas diri dan menjaganya, mungkin memang tidak seharusnya aku terlalu berbaik hati.” 


Begitu kalimatnya selesai, setetes air mata mengalir di wajahnya, membasahi wajah cantiknya yang dibalut kepedihan luka hati. Aku bisa memahami perasaannya. Turut bersimpati, aku merangkul tangannya dan sebisa mungkin memberikan kalimatku.


“Memang, memang benar, Stella, manusia tidak pernah dan tidak akan pernah puas. Mereka akan terus mengeruk apapun yang dilihatnya hanya untuk mengisi rasa puas itu sendiri. Sekalipun kepuasannya dengan merusak dunia ini, rasanya akan mereka lakukan juga. Tapi aku ingin kau ingat bahwa tidak semua orang seperti itu. Mereka yang tidak bertanggung jawab-lah yang egois, tidak punya hati dan seenaknya membuat kerusakan. Aku tahu lautan sangat amat berharga, dan kami, semua warga yang menentang, akan sebisa mungkin berdiri sampai akhir, menolak dan menghalaunya. Ini mungkin terdengar seperti idealisme yang hampa, namun siapa tahu? Kami akan berpegang teguh, melindungi lautan dan ekosistemnya, demi kesejahteraan kita semua dan alam itu sendiri.”


Wah, aku terdengar sangat yakin. Stella menatap wajahku lamat-lamat. Diangkatnya tangan kirinya dan dihadapkannya tubuhnya ke arahku. 


“Janji?”


“Ya, aku berjanji.”


Kami menautkan jari kelingking, membuat janji kelingking, yang berarti, aku tidak boleh mengingkari janjiku. Begitu kalau kata Ayah. Setetes air mata mengalir lagi di wajahnya, namun kali ini bibirnya tersenyum lebar. 


“Terima kasih, sekarang aku bisa lebih tenang. Aku memang tidak bisa menjamin perkataanmu, tapi aku yakin dan percaya padamu. Kamu anak baik, kau tahu itu.” 


Segera dia berdiri kembali. Menatap dia ke luasnya laut, dihembuskannya napas dengan lega. Kembali dia menengok ke arahku, dengan senyum yang masih tersungging di wajahnya.


“Sekarang aku akan pergi, wahai manusia. Aku harap kamu menepati janjimu, sampai jumpa lagi, mungkin.” 


Belum sempat lagi aku menjawab salam perpisahannya, dari kejauhan terdengar suara ribut orang-orang. 


“Itu dia! Tangkap dia cepat! Jangan sampai lolos!”


Berbondong-bondong kerumunan orang berlari ke arah kami. Stella yang tadi tersenyum lebar, wajahnya berubah pucat. Disingkapnya rok panjangnya dan hendak ia berlari pergi ketika sebuah jaring nelayan menimpa tubuhnya yang malang. Orang orang itu berhasil sampai terlebih dulu, aku yang ingin membantu Stella dihempaskan oleh mereka dan karena kekuatan fisik yang kalah, aku tidak bisa berbuat apa apa selain berteriak meminta pertolongan. Sia-sia, seorang pemuda memegangi tanganku supaya tidak berontak dan sisanya membawa Stella pergi dengan kondisinya yang sudah lunglai. Aku menangis tidak karuan dan menendang-nendang sekitar, berusaha membebaskan diri dari cengkraman kuat si pemuda. Aku berteriak memanggil Stella, dan seketika itulah aku terbangun dari mimpiku. Matahari sudah hampir terbenam, cahaya jingganya indah melukis di atas laut. Masih dengan nafas yang tersengal-sengal, aku mencubit pipiku sendiri. Yang tadi betulan mimpi. Kulirik buku puisiku yang ternyata sudah selesai. Dengan wajah yang kebingungan, kulempar pandanganku kearah laut. Indahnya lautan, membuatku teringat Stella yang cantik. 


Stella.. laut itu sendiri.