Cerpen Karen Efarina Br Tumeang
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa kecil yang terletak di pelosok Indonesia, hiduplah seorang gadis bernama Sari. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana—rumah kayu yang sempit, sawah yang membentang di belakang rumah, dan orang-orang yang berkerja keras setiap hari di ladang. Namun, ada satu hal yang berbeda dalam hidup Sari. Ia memiliki mimpi besar, sebuah mimpi yang tak dimiliki oleh kebanyakan anak desa: Sari ingin pergi ke kota besar dan melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di sana.
Mimpi itu tumbuh sejak Sari masih kecil. Ia sering melihat buku-buku yang dibawa oleh para pemuda dari kota yang sesekali pulang ke desa. Buku-buku itu berbeda, lebih tebal, lebih menarik, dan penuh dengan gambar serta cerita yang membuatnya berimajinasi. Ia ingin merasakan apa yang ada di balik halaman-halaman buku itu—menjadi bagian dari dunia yang lebih luas dan lebih maju.
Namun, Sari tahu bahwa mimpi ini tidak mudah. Di desanya, sebagian besar anak-anak hanya bersekolah sampai sekolah dasar. Pendidikan lebih tinggi dianggap tidak penting, terutama bagi perempuan. Keluarganya pun hanya menganggap sekolah sebagai sarana untuk mengajari anak-anak membaca dan menulis, bukan untuk mengejar cita-cita besar.
Ayah Sari, Pak Rudi, adalah seorang petani sederhana yang percaya bahwa hidup hanya untuk bekerja keras. "Sekolah itu penting, tapi lebih penting bekerja dan membantu keluarga. Kamu akan menikah suatu hari dan menjadi ibu rumah tangga," ujar Pak Rudi dengan bijak menurut pandangannya. Sari tidak bisa berbuat banyak untuk membantah, karena itu adalah prinsip yang telah lama dianut oleh masyarakat desa mereka.
Namun, Sari merasa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggunya di luar sana. Ia merasa terperangkap dalam rutinitas yang terbatas, di mana masa depannya sudah ditentukan tanpa ia diberi kesempatan untuk memilih. Dengan tekad yang kuat, Sari mulai merencanakan langkah-langkah untuk mencapai impiannya. Ia tahu bahwa jika ia tidak mulai berjuang sekarang, maka kesempatan itu akan hilang begitu saja.
Setiap pagi, Sari bangun lebih awal dari semua orang. Ia membantu ibunya menyiapkan sarapan, menyapu halaman, dan menyiram tanaman. Setelah itu, ia bergegas ke sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Di sekolah, Sari adalah siswa yang cerdas dan rajin. Ia selalu mendapatkan nilai terbaik di kelas meskipun fasilitas sekolah sangat terbatas. Buku pelajaran yang dipakai sudah usang, dan sering kali mereka harus belajar di ruang kelas yang gelap dan pengap. Namun, Sari tidak pernah mengeluh. Baginya, setiap pelajaran adalah kesempatan untuk mendekatkan diri pada mimpinya.
Pada suatu hari, ada kabar baik yang datang ke desa mereka. Sebuah organisasi pendidikan yang berbasis di kota besar membuka kesempatan beasiswa untuk siswa berprestasi dari desa-desa terpencil. Sari mendengar kabar ini dari guru sekolahnya, Bu Marni, yang juga mengingatkan para siswa bahwa kesempatan ini sangat langka. Beasiswa tersebut tidak hanya mencakup biaya sekolah, tetapi juga tempat tinggal dan biaya hidup di kota.
Mendengar informasi itu, Sari merasa hatinya berdegup kencang. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Namun, ia tahu bahwa untuk meraih beasiswa itu, ia harus melewati banyak rintangan. Batas sosial yang ada di desanya menjadi penghalang pertama yang harus ia hadapi. Banyak orang, terutama orang tuanya, yang meragukan keputusan Sari untuk mengejar pendidikan di kota besar.
Saat Sari menyampaikan niatnya kepada orang tuanya, reaksi pertama mereka adalah penolakan. "Kamu anak perempuan, Sari. Belajar saja sudah cukup. Mengapa harus ke kota besar? Di sana itu keras, dan kami tidak bisa menjaga kamu," kata ibu Sari dengan nada khawatir.
Pak Rudi juga tidak mendukung. "Kamu masih muda, Sari. Apa yang kamu cari di kota? Kalau kamu pergi, siapa yang akan membantu di rumah? Pekerjaan kita ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja."
Namun, Sari tidak menyerah. Ia tahu bahwa ini adalah peluang langka yang tidak bisa disia-siakan. Setiap malam, ia belajar dengan lebih giat, mempersiapkan diri untuk ujian beasiswa. Ia mencari informasi tentang kota besar, tentang kehidupan di sana, dan tentang bagaimana ia bisa bertahan hidup jauh dari keluarga. Sari juga meminta bantuan Bu Marni untuk menulis surat rekomendasi, yang akhirnya diterima oleh pihak penyelenggara beasiswa.
Setelah berhari-hari menunggu, akhirnya hari pengumuman datang. Sari duduk di ruang tamu dengan degup jantung yang tak terkendali. Ketika surat dari pihak beasiswa akhirnya tiba, ia hampir tidak bisa mempercayai mata saat membaca nama mereka yang lolos seleksi. Namanya tercantum di sana. Sari terpilih untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Meski begitu, jalan menuju kota besar tidak semudah yang ia bayangkan. Orang tua Sari masih ragu, dan banyak tetangga yang menganggapnya sebagai gadis yang “melawan adat”. Mereka berkata bahwa perempuan dari desa seharusnya tidak perlu berambisi lebih tinggi dari yang diinginkan keluarga. Namun, dengan tekad yang semakin bulat, Sari mulai merencanakan perjalanannya.
Hari keberangkatan itu tiba, dan Sari merasa campur aduk antara bahagia dan takut. Ibunya masih menangis di pelukan Sari, merasa berat melepaskannya pergi. "Jaga dirimu di sana, Sari. Jangan lupakan keluarga. Kami akan selalu mendukungmu," kata ibu Sari dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Dengan berat hati, Sari melangkah ke stasiun kereta. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan, tetapi ia juga tahu bahwa inilah saatnya untuk mewujudkan impian yang selama ini hanya ada dalam bayangannya. Saat kereta melaju dengan tenang pergi meninggalkan desa, Sari menatap pemandangan desa yang semakin kecil di balik jendela, merasa bahwa ia sedang melintasi batas sosial yang selama ini membatasi dirinya.
Di kota besar, Sari menghadapi dunia yang sama sekali berbeda—dinamika sosial yang rumit, persaingan yang ketat, dan kehidupan yang jauh lebih sibuk daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, meskipun segala sesuatunya terasa sulit, Sari tidak pernah ragu. Ia tahu bahwa di setiap langkahnya, ia sedang mengukir jalan bagi masa depannya yang lebih cerah.
Seiring berjalannya waktu, Sari bukan hanya berhasil menuntaskan pendidikannya, tetapi ia juga menjadi inspirasi bagi banyak anak desa lainnya. Ia membuktikan bahwa dengan tekad dan usaha yang keras, seseorang bisa melintasi batas sosial dan mencapai mimpi mereka, tak peduli dari mana mereka berasal.
Kini, Sari kembali ke desanya sebagai seorang sarjana, membawa harapan baru dan semangat untuk mengubah pandangan masyarakat tentang pendidikan, terutama bagi perempuan.
Ia tidak hanya melintasi batas sosial, tetapi juga menginspirasi generasi berikutnya untuk bermimpi lebih besar, lebih jauh, dan lebih tinggi.