Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Kayla Ayorin | Bisikan Ombak di Tembok Karang

Cerpen Kayla Ayorin



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Desa Pesisir Indah, sebuah permata tersembunyi di Pesisir Selatan, bukan sekadar desa nelayan biasa. Ia adalah simfoni alam, tempat di mana deburan ombak bertemu dengan keajaiban "Tembok Karang". Formasi batu karang alami ini bukan hanya pelindung desa dari amukan ombak, tetapi juga rumah bagi kehidupan laut yang beraneka ragam. Di celah-celah karang, ikan-ikan kecil berwarna-warni menari-nari, terumbu karang yang rapuh namun indah menjulang, dan biota laut lainnya menciptakan ekosistem yang kaya dan penuh misteri.


Di desa ini, hiduplah Pak Arga, seorang nelayan tua dengan kulit keriput yang menceritakan kisah laut, dan Cakra, cucunya yang bersemangat dengan mata yang selalu berbinar. Setiap senja, mereka duduk di atas Tembok Karang, menyaksikan matahari yang perlahan tenggelam, menciptakan lukisan alam yang tak ternilai harganya.


"Kakek, lihat itu! Matahari seperti bola emas yang tenggelam di laut," seru Cakra, tak pernah bosan mengagumi keindahan senja.


"Iya, Nak. Indah sekali, bukan?" jawab Pak Arga, senyumnya merekah, matanya menyipit menahan cahaya senja yang keemasan.


"Indah sekali, Kek. Cakra suka sekali melihat matahari terbenam di sini," kata Cakra, menghirup aroma garam yang dibawa angin laut.


"Kakek juga. Sejak kecil, Kakek sudah sering melihat matahari terbenam di sini. Dulu, saat Kakek masih muda, Kakek sering melaut sampai malam. Saat pulang, Kakek selalu melihat matahari terbit di balik Tembok Karang," cerita Pak Arga, matanya menerawang ke masa lalu, mengingat setiap gelombang dan setiap hembusan angin yang pernah ia rasakan.


"Wah, pasti seru ya, Kek," kata Cakra, kagum, membayangkan petualangan kakeknya di laut lepas.


"Seru memang, tapi juga melelahkan. Laut itu keras, Nak. Kita harus kuat dan sabar untuk bisa bertahan hidup di laut," ujar Pak Arga, suaranya sarat pengalaman, menceritakan tentang badai yang mengamuk dan ombak yang menggunung.


"Cakra mengerti, Kek. Ibu juga sering bercerita tentang kerasnya hidup di laut," balas Cakra, mengangguk, mengingat cerita ibunya tentang perjuangan para nelayan.


"Baguslah kalau kamu mengerti, Nak. Kakek harap kamu bisa menghargai laut dan semua yang ada di dalamnya," ucap Pak Arga, menepuk lembut pundak cucunya, menanamkan nilai-nilai luhur.


"Pasti, Kek. Cakra sayang banget sama laut," kata Cakra, memeluk lengan sang kakek, merasakan kehangatan kulit keriput yang penuh cerita.


Mereka terdiam, menikmati keindahan senja yang semakin memudar. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam dan ikan asin yang sedang dijemur di halaman rumah warga. Suara ombak yang menghantam Tembok Karang terdengar seperti nyanyian alam yang merdu, mengiringi senja yang syahdu.


"Kakek, lihat itu! Ada banyak ikan kecil yang berenang di celah-celah karang," seru Cakra dengan semangat, menunjuk ke arah celah-celah karang yang terendam air laut.


"Iya, Nak. Itu ikan-ikan yang hidup di Tembok Karang. Mereka mencari makan di sana," kata Pak Arga, matanya mengikuti gerakan lincah ikan-ikan tersebut, mengenali setiap jenis dan perilakunya.


"Wah, banyak banget, Kek. Mereka lucu-lucu sekali," kata Cakra, tersenyum, melihat ikan-ikan kecil itu berenang bergerombol, membentuk formasi yang indah.


"Tembok Karang ini adalah rumah bagi banyak makhluk hidup. Kita harus menjaganya agar tetap lestari," ucap Pak Arga, suaranya tegas, mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan alam.


"Pasti, Kek. Cakra akan bantu menjaga Tembok Karang," seru Cakra, mengangguk mantap, merasa bertanggung jawab atas kelestarian alam di sekitarnya.


Mereka terus mengamati kehidupan laut di sekitar Tembok Karang. Cakra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama kakeknya di tempat yang indah ini. Ia merasa beruntung tinggal di desa yang dikelilingi oleh alam yang indah dan penuh keajaiban.


"Kakek, Cakra mau jadi nelayan seperti kakek," ucap Cakra dengan tiba-tiba, menatap kakeknya dengan mata yang berbinar, mengungkapkan impiannya.


"Wah, kamu yakin, Nak Cakra? Hidup sebagai nelayan itu keras," timpal sang kakek, tersenyum, bangga dengan keinginan cucunya, namun juga khawatir dengan kerasnya kehidupan di laut.


"Yakin, Kek. Cakra mau belajar dari Kakek dan Ayah," kata Cakra, dengan mantap, merasa panggilan laut mengalir dalam darahnya, memanggilnya untuk mengarungi lautan.


"Baguslah kalau begitu, Nak. Kakek akan mengajari kamu semua yang Kakek tahu. Tapi ingat, laut itu bukan hanya tempat mencari ikan. Laut adalah sahabat, tempat kita belajar tentang kehidupan," kata Pak Arga, menepuk-nepuk pundak Cakra, memberikan restu dan nasihat yang berharga.


Mereka tertawa bersama, menikmati kebahagiaan sederhana di senja hari. Gelombang kecil di laut seolah ikut menari, merayakan kebersamaan mereka, diiringi bisikan ombak yang membawa cerita tentang kehidupan di Tembok Karang.


Seiring berlalunya waktu, Cakra tumbuh menjadi pemuda yang kuat dan bijaksana, mewarisi kearifan dan kecintaan kakeknya terhadap laut. Ia menjadi nelayan yang handal, tidak hanya mencari ikan, tetapi juga menjaga kelestarian Tembok Karang dan ekosistem laut di sekitarnya. Cakra mengerti bahwa laut adalah sumber kehidupan, sahabat yang harus dijaga dan dihormati.