Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Kezya Friskilla Br Pelawi | Di Balik Pagar Laut

Cerpen Kezya Friskilla br Pelawi 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di sebuah desa nelayan yang terletak di ujung timur pulau, di mana laut selalu berdebur keras dan angin tak pernah berhenti berembus, ada sebuah pagar laut yang berdiri kokoh sepanjang bibir pantai. Pagar itu bukan hanya pembatas antara daratan dan laut, tetapi juga simbol batasan antara dunia nelayan dengan dunia yang lebih luas.


Selama bertahun-tahun, pagar laut itu menjadi penanda bahwa laut, meskipun memberikan kehidupan bagi banyak orang, juga bisa menjadi sesuatu yang menakutkan, penuh misteri dan ancaman. Pagar itu seolah menjadi pelindung dari apa yang ada di luar sana, dari perairan yang penuh dengan bahaya, dari gelombang yang tak terduga.


Namun, bagi Abian, pagar laut itu justru menjadi sumber kesulitan.


Abian adalah seorang nelayan yang hidup di desa kecil itu. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kehidupan laut. Ayahnya adalah seorang nelayan yang mengajarkan arti kerasnya hidup di laut, bagaimana cara mencari ikan, dan bagaimana menghormati alam. Tapi, semua itu mulai berubah sejak pagar laut dibangun beberapa tahun yang lalu.


Pagar yang seharusnya melindungi pantai dan desa dari gelombang besar justru menjadi penghalang bagi para nelayan. Sebelumnya, para nelayan bisa dengan mudah melaut ke area yang lebih luas, tempat ikan-ikan besar berkelompok. Namun, dengan adanya pagar laut yang dibangun sepanjang garis pantai, banyak kapal-kapal nelayan yang tidak bisa lagi mengakses perairan yang lebih dalam.

Abian berdiri di tepi pantai, menatap pagar laut yang tampak lebih besar dan kokoh dari biasanya. Meskipun sudah beberapa tahun berlalu sejak pembangunannya, ia masih merasa seolah ada sesuatu yang menghalangi hidupnya. Laut, yang dulunya menjadi sumber penghidupannya, kini terasa seperti musuh yang tak bisa ia taklukkan. Banyak kapal yang tidak bisa melewati pagar itu, dan hasil tangkapan pun semakin menurun. Bahkan ayahnya yang dulu selalu berhasil membawa pulang ikan dalam jumlah banyak kini pulang dengan tangan kosong.


Di saat-saat seperti ini, Abian merasa sangat frustrasi. Dulu, ia dan ayahnya bisa bekerja sama di laut, mengarungi ombak, dan merasakan kebahagiaan saat melihat jala penuh dengan ikan. Namun, sejak pagar laut itu dibangun, banyak nelayan yang mulai kehilangan penghasilan mereka. Mereka terpaksa beralih ke pekerjaan lain, dan banyak dari mereka yang harus meninggalkan desa, mencari peruntungan di tempat lain.


“Seharusnya tidak ada pagar ini,” gumam Abian pelan. “Dulu kami bisa bebas mencari ikan, mencari hidup.”


Namun, pagar itu berdiri dengan tegaknya, dengan papan-papan kayu yang sudah lapuk namun tetap kokoh, membatasi dunia nelayan dengan dunia luar. Abian merasa seolah ia terkurung, seperti ikan di dalam jaring, tak bisa lagi melarikan diri.


Suatu sore, saat Abian duduk di dermaga, memandang matahari yang perlahan tenggelam, seorang perempuan datang mendekat. Nama perempuan itu adalah Kalynda, gadis desa yang juga merasakan dampak dari pembangunan pagar laut itu sekaligus kekasih Abian. Kalynda adalah anak dari pemilik warung yang biasanya menyediakan makanan bagi para nelayan yang baru pulang melaut. Kini, warung itu semakin sepi karena nelayan jarang pulang dengan hasil tangkapan yang memadai.


Kalynda menghampiri Abian, membawa secangkir teh hangat. “Malam yang indah, bukan?” katanya, duduk di samping Abian.


Abian mengangguk, namun pandangannya masih tertuju pada pagar laut yang membentang jauh di depan mereka. “Indah,” jawabnya singkat. “Tapi, bagi nelayan seperti kita, langit yang indah ini hanya sebuah ilusi.”


Kalynda menghela napas, merasakan kekecewaan Abian, “Aku tahu, Abian. Kita semua merasakannya. Pagar itu... membatasi kita. Tetapi ada satu hal yang harus kita ingat, pagar ini dibangun untuk melindungi desa kita dari badai yang bisa datang kapan saja.”


Abian menatap pagar itu dengan tatapan kosong. “Itu yang mereka katakan. Tapi bagi kami, itu lebih seperti hukuman. Kami bukan hanya terhalang oleh pagar, tetapi juga oleh kenyataan bahwa kami tidak bisa lagi melaut seperti dulu.” Ucap Abian dengan nada kesedihan 


Kalynda menatapnya, sejenak terdiam. “Mungkin kita bisa mencari cara untuk beradaptasi, Arman. Jangan biarkan pagar itu menghentikanmu. Mungkin ada cara lain untuk hidup di tengah perubahan ini.”


Abian memutar pandangannya ke arah Lila. “Cara lain? Apa itu?”


Kalynda tersenyum tipis. “Aku tidak tahu, tapi aku percaya kita bisa menemukan jalan. Jika kita tidak bisa melewati pagar itu, mungkin kita harus belajar hidup dengannya. Ada banyak cara untuk mencari kehidupan di laut tanpa harus melawannya.”


Abian terdiam, merenung. Kata-kata Kalynda seolah mengingatkannya bahwa meskipun pagar itu membatasi, masih ada harapan untuk mencari cara baru. Ia tidak perlu menyerah begitu saja. Mungkin memang ada cara lain untuk bertahan hidup, cara yang tidak memerlukan perlawanan terhadap pagar laut yang kokoh itu.


Malam pun tiba, dan Abian kembali ke rumahnya. Ia duduk di depan rumah kecilnya yang sederhana, menatap bintang yang bersinar terang di langit malam. Pikirannya berkecamuk. Apa yang bisa ia lakukan? Apakah ia bisa menemukan cara baru untuk bertahan hidup tanpa melawan alam?


Namun, sebelum Abian bisa terlalu larut dalam pikirannya, ia merasa ada seseorang yang duduk di dekatnya. Ternyata Kalynda kembali menghampirinya. Dengan suara pelan, Kalynda berkata, “Aku tahu ini bukan waktu yang mudah. Tapi aku ingin kamu tahu, Abian... aku akan selalu ada di sini, mendukungmu. Aku percaya pada kamu, pada kemampuanmu.”


Abian menatap Kalynda, matanya melembut. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Dalam suasana yang penuh kesulitan, ada sesuatu yang hangat dan menenangkan dalam kata-kata Kalynda.


“Terima kasih, ndaa,” ujarnya dengan suara serak. “Kadang aku merasa seolah aku harus melawan semuanya sendirian. Tapi aku... aku tidak tahu kenapa, tapi ketika kamu di sini, semuanya terasa lebih mudah.”


Kalynda tersenyum lembut. “Kamu tidak sendirian, Abian. Aku di sini bersamamu”


Saat itu, Abian menyadari sesuatu yang baru. Meskipun pagar laut itu tetap berdiri kokoh di depan mereka, tidak ada yang bisa memisahkan ikatan yang terjalin antara dirinya dan Kalynda. Mereka berdua akan terus berjuang bersama, mencari jalan keluar dari kesulitan ini, dan siapa tahu, mungkin suatu saat nanti mereka bisa melangkah melewati pagar itu bersama.


Ketika Kalynda perlahan meraih tangan Abian, sentuhan hangat itu membuat Abian merasa sesuatu yang lebih dalam. Di tengah-tengah kekacauan hidupnya, ada secercah harapan yang lahir. Bukan hanya harapan akan kehidupan yang lebih baik, tetapi juga harapan akan cinta yang tumbuh di antara mereka, meskipun segala batasan dunia di luar sana.


Pagar laut itu mungkin masih ada, tapi kini bagi Abian, itu bukan lagi penghalang. Ia telah menemukan sesuatu yang lebih penting—sesuatu yang tak bisa dipisahkan oleh pagar apa pun: cinta, dukungan, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.