Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Kristyanty | Laut dalam Sekat

Cerpen Kristyanty


 

(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Ombak masih berkejaran di tepi pantai, memecah sunyi yang kian meresap dalam hati para nelayan. Di kejauhan, pagar besi menjulang tinggi, membelah laut yang dahulu begitu leluasa mereka arungi. Di balik pagar itu, kapal-kapal besar bersandar dengan angkuh, sementara perahu-perahu kayu bergoyang lemah di tepian. Darman lelaki tua dengan kulit legam terbakar matahari, berdiri memandang laut yang kini terasa begitu jauh meski berada di depan matanya. “Laut itu dulunya milik kita”, gumamnya lirih, seakan mengulang sejarah yang ingin dilupakan oleh mereka yang berkuasa.


Langit yang dulu membiru tanpa batas kini tercermin buram di permukaan air yang terkurung pagar-pagar besi. Ombak yang seharusnya bebas menari dengan angin kini terbentur, terhenti dalam sekat yang manusia bangun. Nelayan yang dulu melaut dengan bebas kini hanya bisa memandang lautan yang terasa makin jauh, meski berdiri tepat di hadapannya. Pagar-pagar itu bukan hanya mengurung laut, tapi juga merengut kehidupan mereka menggantungkan harapannya pada debur ombak.


Malam datang dengan kelamnya yang semakin dalam, tetapi tidak ada kedamaian yang datang bersamanya. Hanya ada deru angin yang bertiup lebih kencang, seakan mencoba untuk menghapus kenangan yang tertinggal di sana. Pagar laut itu tetap kokoh, tak tergoyahkan meskipun waktu terus berlari. Dari kejauhan, suara kapal yang berlalu semakin samar, seolah melarikan diri dari perasaan yang tak bisa dipahami. Di atas pasir yang basah, jejak-jejak kaki yang hilang seiring waktu, mengingatkan kita akan sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali. Laut, yang dulu penuh dengan kehidupan, kini hanya menjadi saksi bisu bagi mereka yang dipaksa menerima kenyataan yang tak bisa dihindari.


Darman menghela napas berat, lalu mengalihkan pandangannya ke sekelompok nelayan yang tengah duduk di bawah rindang pohon waru. Wajah-wajah mereka suram, matanya kosong seperti lautan yang kehilangan ikan. Dahulu, tempat itu ramai oleh tawa dan cerita selepas melaut, tapi kini hanya tersisa keluhan dan kecemasan.


“Apa gunanya laut kalau kami tak bisa menjangkaunya?” keluh seorang pria paruh baya, menggulung jaring yang semakin jarang terpakai.


Darman melangkah mendekat. “Dulu, aku bisa melihat anak anak berlarian di pantai ini, mengejar ombak, memunguti kerang…sekarang?” Tatapannya mengarah ke laut yang terbelah oleh deretan tiang besi, berdiri kokoh seperti penjaga yang melarang siapa pun mendekat. “Yang tersisa hanya batas yang bahkan tak bisa kita sentuh.”


Seorang pemuda yang duduk di sudut menggeram. “Mereka pikir kami bisa makan janji-janji yang mereka buat? Apa mereka peduli kalau dapur kami kini tak berasap?”


Hening sejenak. Hanya suara deburan laut yang masih berusaha berbicara, berbisik di antara gelombang yang terpaksa surut.


Darman berdiri mematung di tepi pantai, memandangi pagar-pagar yang menjulang di tengah laut. Ombak berkejaran, menghantam tiang-tiang kokoh itu, seakan tak terima ada batas yang memisahkan mereka dari daratan. Ia menghela napas panjang, pandangannya kosong menelusuri batas yang kini terasa begitu asing . “Bagaimana bisa sesuatu yang dulu memberi kita hidup, kini malah direngut begitu saja?” suaranya terdengar serak. Lebih ditunjukan pada dirinya sendiri.


Seseorang mendekat dari belakang, langkahnya terendam suara debur ombak. Seorang pemuda, Mungkin di awal usia dua puluhan, berdiri di sisi Darman. Wajahnya menyiratkan keingintahuan yang bercampur resah. “Pak, apa dulu nelayan di sini bisa bebas melaut..?” Tanya nya hati-hati.


Darman melirik sekilas, kemudian kembali menatap ke depan. “Dulu laut ini adalah halaman rumah kami,” jawabnya pelan. “Kami pergi kapan saja, sejauh yang kami mau. Tak ada yang melarang, tak ada yang membatasi.”


Pemuda itu menggigit bibir, matanya beralih pada pagar-pagar yang menjulang tinggi itu. “Tapi sekarang…?”


Darman terkekeh, getir. “Sekarang? Bahkan untuk sekadar berdiri di bibir pantai, kita harus merasa seperti tamu di tanah sendiri.”


Hari berganti tanpa ampun, menyeret waktu seperti arus yang tak kembali. Pagi datang dengan warna pucat, menyorotkan sinar yang menerpa pagar pagar laut, masih berdiri dengan kesombongan yang sama. Darman berjalan di tepian, jejak kakinya terhapus ombak sebelum sempat meninggalkan kenangan.


Laut yang dulu berbicara dengan lembut kini hanya bergumam dalam keterasingan. Perahu-perahu berlabuh lebih lama di daratan, seakan kehilangan alasan untuk menantang gelombang. Saru per satu nelayan mulai pergi, mencari penghidupan di tanah yang bukan milik mereka.


Mentari yang semula memeluk daratan dengan hangat, kini meredup di balik awan kelabu yang berarak pelan. Angin laut mulai berembus lebih dingin, membawa serta aroma asin yang pekat dari biasanya. Ombak yang tadi berkilauan kini bergulung dalam bayangan mendung, seolah ikut mengguratkan kegelisahan di wajah-wajah yang menatap hamparan laut yang terbatasi pagar itu.


Minggu-minggu berlalu, tapi tak ada tanda-tanda pagar itu akan disingkirkan. Justru, kabar berembus semakin menyudutkan mereka, izin pembangunan telah resmi keluar, mengesahkan batasan yang memisahkan laut dari mereka yang menggantungkan hidup.


Hari ini, puluhan nelayan dan warga pesisir berkerumun di depan kantor pemerintahan daerah. Papan-papan protes diangkat tinggi, coretan tinta menyerukan hak mereka yang direbut. Suara-suara penuh amarah bercampur dengan deru kendaraan yang lalu-lalang, seolah dunia di luar mereka tak peduli pada perjuangan ini.


“Kami butuh laut, bukan tembok!”


Seru seorang pria paruh baya, wajahnya memerah oleh panas dan amarah. Di antara riuh massa, Darman berdiri dengan mata yang tak lagi seterang dulu. Tangannya mengepal, tapi suaranya terkunci di tenggorokan. Sudah berapa kali mereka berteriak? Sudah berapa kali mereka di paksa mendengar janji-janji kosong?


Semakin lama, teriakan itu tak lagi sekadar kata-kata. Seseorang melempar botol ke arah pagar kantor pemerintahan, disusul riuhnya suara protes yang makin meninggi. Petugas keamanan yang awalnya berdiri diam kini  mulai bergerak, mencoba menenangkan kerumunan yang mulai kehilangan kendali.


“kembalikan laut kami!”


Suara itu menggema, bercampur dengan bunyi sirine yang mendadak terdengar dari kejauhan. Darman masih berdiri di sana, kedua tangannya mengepa. Matanya menyapu kerumunan, melihat rekan-rekannya yang kini berhadapan dengan barisan petugas berseragam. Ada ketakutan yang mengendap di dadanya, tapi juga amarah yang tak bisa redam. “Darman!” suara seorang lelaki muda memanggilnya, napasnya terengah. “Mereka nggak mau dengerin kita..kita harus bertahan!”


Tapi sebelum Darman bisa menjawab, dorongan keras membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Seseorang telah menerobos barisan dan kini keadaan benar-benar kacau. Ada yang jatuh, ada yang berteriak. Beberapa petugas mulai bergerak agresif, sementara nelayan mencoba bertahan di tengah dorongan dan ancaman.


Di langit, burung-burung camar beterbangan menjauh, seakan tahu bahwa hari ini bukan sekedar tentang protes, tapi pertarungan untuk sesuatu yang hampir hilang sepenuhnya.


Di sisi lain, pantai tetap ramai oleh pengunjung yang tak terpengaruh oleh kisruh yang terjadi. Anak-anak berlarian di tepi air, membiarkan ombak mencium ujung kaki mereka sebelum surut kembali. Beberapa orang duduk di atas pasir, menikmati angin laut yang membawa aroma garam dan suara burung camar yang melintas di langit. Penjual es kelapa dan jagung bakar masih sibuk melayani pelanggan, seakan tak ada yang berubah.


Bagi mereka, laut hanyalah pemandangan indah untuk dinikmati, tempat melepas penat dari rutinitas harian. Tapi bagi Darman dan rekan-rekannya, laut adalah sumber kehidupan yang semakin jauh dari genggaman. Kapal-kapal nelayan tetap terombang-ambing di kejauan, tak tersentuh oleh riak kecil di permukaan air, sama seperti nasib mereka yang kini dalam ketidakpastian.


Di depan gedung pemerintahan yang menjulang angkuh, suara-suara protes terus bergemuruh. Darman berdiri di antara kerumunan yang tak mau surut, menyaksikan wajah-wajah lelah yang tetap bertahan meski peluh mengalir di pelipis mereka.


Tangan-tangan terangkat, mengacungkan poster yang mulai lusuh, sementara suara lantang beradu dengan tembok birokrasi.


Darman menarik napas panjang, sejenak memejamkan mata, ia masih bisa membayangkan pagar-pagar kokoh yang mengekang mereka untuk menjelajahi laut secara luas seperti yang biasa mereka lakukan, Darman pun membuka matanya kembali dimana ia melihat rekan-rekan nya yang sudah mengeluarkan seluruh tenaga untuk sebuah keadilan.


“kami tidak akan diam”


Di tengah terik yang membakar, di antara teriakan dan langkah-langkah yang tak surut, harapan tetap menyala, sekecil apa pun itu.