Cerpen Laeli Muniroh
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku kembali menonton. Ya, menonton. Tapi bukan menonton konser musik. Suara palu besar bertalu-talu, terdengar bunyi dug dug yang amat keras. Ombak memercik-mercik, bahkan bergoyang-goyang tersebab kuatnya tekanan air. Aku diajak menonton pagar-pagar yang menjulang tinggi itu ditancapkan hingga berdiri kokoh. Pagar-pagar itu ditancapkan di kampung kami. Anehnya pagar-pagar dari bambu itu ditancapkan kala malam telah larut.
Sejak orang-orang tak dikenal memagari kampung halaman kami. Tidur kami terganggu. Kami terpaksa keluar rumah. Kami ikut menonton bersama teman sekampung. Orang-orang serta merta datang menghantamkan pagar-pagar ke tempat tinggal kami, memagari kampung halaman kami. Mereka baru akan pulang menjelang subuh. Mereka pergi entah kemana. Besok-besok mereka datang lagi. Siapa mereka itu? aku tidak tahu. Akan kutanyakan kepada ibu guru saat sekolah.
Ombak semakin hari semakin naik. Angin dari selatan kencang tidak seperti biasanya. Entah apa yang terjadi dengan fenomena alam. Apakah manusia sudah kehilangan keseimbangan hidupnya? Apa tujuan mereka memagari kampung kami? Apakah mereka lebih mementingkan isi perutnya dari pada peduli dengan alam.
Bu guru menjelaskan keharusan menjaga lingkungan. Kami laksana semut-semut yang bergotong royong mengambil remah-remah rengginang. Kami digiring memunguti sampah-sampah plastik yang bertebaran. Pasti sampah plastik yang bertebaran itu ulah manusia-manusia yang malas membuang ke tempatnya. Mereka lebih memilih membuang ke laut. Aku pun penasaran dengan pagar-pagar yang belakangan berada di halaman kampung dan di depan sekolah kami. Aku mengangkat telunjuk saat jam pelajaran berlangsung.
“Bu … pagar-pagar bambu di sana untuk apa? Tiba-tiba berdiri di halaman kampung kita, mengganggu pemandangan sekolah kita?”
Ibu guru memutar-mutar pensil dengan jari telunjuk dan jari jempolnya. Suasana kelas hening seketika. Aku dan teman-teman saling menatap. Kami semua mempertanyakan pagar-pagar itu. Ibu guru melangkahkan kakinya mendekati meja kami. Ia menarik napasnya begitu dalam. Lalu melihat jauh ke luar kelas.
“Ibu tidak tahu dari mana orang-orang tak dikenal itu datang dan tiba-tiba memagari laut kita, kampung kita. Kenapa orang-orang itu memasangnya selalu malam hari. Mereka pun mengganggu tidur nyenyak kita.”
“Tapi aku suka dengan adanya pagar-pagar ibu, Bu.” Potong Noel, temanku yang rambutnya ikal.
“Kenapa suka dengan pagar-pagar itu?”
“Karena aku dan teman-teman bisa main putar-putar di sana, bisa latihan bermain bola. Anggap aja pagar-pagar itu untuk menggocek bola saat menghadapi lawan, jadi tidak perlu capek-capek memasang alat bantu.”
Semua yang ada di kelas tampak gemuruh menyoraki Noel yang pecinta bola.
***
Senja belum beranjak, kedua kakiku saling menopang. Aku duduk di pinggir lapangan, sesekali berdiri jika kakiku terasa pegal sambil memegang pagar bambu. Bola memantul-mantul di antara kaki-kaki lincah. Berkelok-kelok di antara pagar-pagar yang berjajar. Noel-lah bintangnya.
“Kita akan menggocek bola ke kanan dan ke kiri mengikuti sejumlah pagar-pagar ini,” ucap Noel.
Mata mereka terbelalak. Jidat mereka mengerut seperti jerami kepanasan. Ingin berontak. Tidak bisa. Semua harus turuti keinginan Noel.
“Apa iya menggocek bola sejauh tiga kilometer. Terlalu jauh,” jawab Lum, si mata belo.
Mataku menyipit melihat tingkah Noel yang ngos-ngosan. Napasnya tidak teratur. Naik turun. Ia membungkukkan setengah badannya. Ia pasti kecapean.
“Kau jangan menyiksa teman-teman kita. Kau menyerah, Noel?”
“Tidak … aku tidak menyiksa, apalagi menyerah.”
“Kenapa kau menyuruh teman kita menggocek bola sejauh itu. Pagar-pagar itu terbentang jauh. Tiga kilometer. Gimana kalau ada yang pingsan? Pagar-pagar itu membuat kita susah saja.”
“Aku senang ada orang-orang yang sengaja memasang pagar di sini. Aku bisa latihan setiap sore.”
“Buatmu senang, Noel. Tapi buat warga sekampung terganggu. Pagar-pagar itu merusak pemandangan halaman kita.”
“Ayolah … kamu cemen. Gak berani gocek bola sampai sana.”
Aku terkekeh mendengar ejekan Noel. Jika saja dokter tidak memvonisku bocor jantung. Aku sudah bolak balik menggocek bola. Pagi tadi aku jalan-jalan bersama kakek. Niatnya ingin sampai ke ujung pagar-pagar itu ditancapkan. Baru setengahnya, aku sudah kelelahan.
“Kamu harus nyoba sama kita. Biar kamu sehat.”
Aku melebarkan kedua ujung bibirku mendengar ajakan Noel. Aku yakin aku tidak akan mampu. Aku memillih berjalan perlahan di pinggir lapangan. Sesekali melihat teman-teman menggocek bola.
“Aku udah khatam ke ujung sana. Bahkan aku hitung sekalian jumlah pagar-pagar bambu itu semuanya,” balasku mengejek Noel.
“Oya? kok aku tidak percaya.”
***
Tak ada lagi konser malam. Semua selesai. Tak ada sampah-sampah. Tak ada perintah operasi semut dari guru. Semua tak ada. Tidur nyenyak. Kakek bisa tidur lelap bablas sampai siang. Pagar-pagar menjulang sudah dianggap tempat hiburan dan latihan menggocek bola. Nelayan tak pernah datang. Nelayan tak ada yang melaut. Perahu-perahu sulit menyeberang. Pagar-pagar itu menutup jalan mereka. Mungkin mereka mencari tempat baru atau memutar arah jalan menghindari pagar-pagar laut.
Aku saksi mereka. Menunggu langit menghitam, malam menjelma. Kaki-kaki lincah memantul-mantulkan bola. Mereka berlatih meski pelatihnya tidak sehebat Shin Tae Yong, bapak Noel mendukung dan rela mengajarinya. Mereka tertawa-tawa, lepas. Menendang bola saling membalas, bersuka cita setiap sore di antara pagar-pagar itu.
***
Bel berbunyi. Jarum pendek baru mendekati angka delapan, jarum panjang menjauhi angka sembilan. Tiba-tiba di luar kelas, ombak seakan dipukul-pukul, bergerak sangat kencang. Air laut naik turun bergelombang kencang. Semua yang ada di dalam kelas berhamburan. Panik, takut, dan khawatir. Semua terpencar menyelamatkan diri. Aku berlari. Aku teringat pesan kakek, jika ada sesuatu yang aku takutkan, aku harus mencari ibu guru. Aku memegang tangan bu guru yang berada di belakang pintu.
“Tenang anak-anak,” ucap bu guru.
Air laut semakin bergoncang kencang, terdengar alat berat yang mengganggu pendengaran kami. Suara dentuman keras. Aku semakin erat memeluk ibu guru. Beberapa kali aku mengatur napas. Aku memikirkan kakek yang ada di rumah. Ia pasti ketakutan. Aku masih didekap bu guru bersama Noel. Temanku yang lainnya berhamburan ke luar kelas. Entah kemana.
“Ibu … lihat,” bisik Noel.
Aku dan bu guru serta merta melihat ke arah yang ditunjukkan tangan Noel. Satu persatu pagar-pagar itu terangkat. Alat berat tadi menariknya ke atas.
“Apalagi yang dilakukan orang-orang itu,” ucap bu guru.
Air laut seketika menjadi keruh. Pandangan mata kami buram. Suara-suara jeritan dan ketakutan dari teman-teman kami masih terdengar. Pasti mereka kocar kacir mencari perlindungan.
“Kalian jangan khawatir. Tetap di sini bersama ibu.”
“Kenapa mereka berbuat seperti itu, Bu?”
“Itulah ciri manusia serakah. Mereka berbuat semaunya tanpa memikirkan akibatnya untuk lingkungan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita hanya ikan-ikan yang menjadi korban.”
Dalam pandangan mata yang remang, satu persatu pagar-pagar yang berjajajar terus diangkat lagi oleh orang-orang itu. Wajah Noel murung. Kepalanya menunduk dalam dekapan bu guru.
“Kenapa wajahmu murung, Noel?” tanya bu guru pelan.
“Pagar-pagar itu sudah tidak ada. Bagaimana aku bisa menggocek bola.”