Cerpen Laila Hanin Hafizhah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Anggoro merapatkan lagi pakaiannya dengan mengancingkan satu kancingan terakhir yang terpasang di sisi paling atas jaket berbahan jeansnya, meskipun ia harus menerima resiko lehernya jadi nyaris tercekik dan tak leluasa bernafas. Udara dingin langsung menyambutnya tepat setelah ia melangkahkan kakinya keluar dari mini bus berwarna abu tua yang hampir sepuluh jam ia tumpangi. “Saya tinggal ya, Mas,” ucap supir mini bus sembari menutup kembali jendela kaca mobil yang sebelumnya sempat terbuka. Lelaki yang diajak bicara pun mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Sembribit angin malam menerpa wajah Anggoro. Dicermatinya sekeliling area jalanan sepi tempat dirinya diturunkan. Ada beberapa warung kopi yang masih buka. Di dalamnya dipenuhi para supir yang sedang rehat. Dengan mantap Anggoro berniat menyambangi salah satunya hingga langkahnya dihentikan oleh teriakan seorang laki-laki yang berlarian kecil dari seberang jalan sembari memanggil lantang namanya.
Kini Anggoro duduk bersama Mas Budi, laki-laki yang tadi menyerukan namanya dari seberang jalan. Mereka duduk berhadapan di salah satu meja yang terletak di pojok ruangan. Tepat di bawah papan besar tempat bermacam-macam menu tertulis di sana. Di meja mereka tersaji dua mi instan goreng plus telur dengan uap mengepul, yang masih ditambah plus lain yaitu dua piring nasi hangat yang jadi komplementer. “Minumnya kopi item tanpa gula ya, Bang,” tutur Mas Budi, “kalau kamu apa, Ang?”
“Saya teh panas aja, tawar,” potong Anggoro sembari mengamit sendok bersiap menyantap sajian menggugah selera di depannya. Pelayan itu hanya mengangguk tanda paham dan melangkah pergi ke dapur untuk mempersiapkan minuman mereka. “Aneh ini warung, masa makanan yang duluan dateng. Dimana-mana yang dibuat minuman dulu,” Mas Budi terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. Anggoro hanya menimpali dengan senyuman karena mulutnya tak kuasa berkata-kata sebab tersumpal oleh sesuap besar mi instan campur nasi yang menurut medis tak sehat untuk dimakan karena karbohidrat yang terkuadrat.
Sembari bersantap malam Mas Budi menjelaskan kepada Anggoro pekerjaan yang sebelumnya sempat mereka perbincangkan di media sosial. Mas Budi, pria berusia sekitar 35 tahunan dulunya adalah tetangga Anggoro di Jawa yang kemudian pindah ke kota tempat mereka bertemu kini. Lewat media sosial, Mas Budi menawarkan kepada Anggoro sebuah pekerjaaan dengan uang yang lumayan bagi dirinya yang terhitung masih baru lulus sekolah.
“Ini kerjaan sederhana aja kok, Ang. Persis kaya yang aku jelasin tadi. Selama kamu bisa renang dan nggak mabok laut itu dah cukup banget,” tutur Mas Budi seraya menyeruput kopi hitam panas tanpa gulanya setelah dirinya selesai mempresentasikan pekerjaan yang dua hari lagi akan Anggoro lakukan. Anggoro manggut-manggut. Sembari menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi, dirinya mengajukan sebuah pertanyaan, “Jadi ini perusahaan apa, sih, Mas?”
Mas Budi meraih lagi kopi yang kini tersisa setengah gelas, meneguknya dua kali dan menjawab, “Sejujurnya aku kurang tau, Ang. Bosku yang komunikasi sama perusahaan yang ngasih project ini, aku cuma disuruh cari orang buat kerja” jawab Mas Budi enteng, “Tapi tenang aja, soal duit aman banget, gue berani jamin,” susulnya. Anggoro menegakkan badannya “Tapi ini nggak illegal kan, Mas?” selidik Anggoro dengan tatapan was-was. Mas Budi lagi–lagi meraih kopi sebelum menjawab pertanyaan, namun kali ini ia meneguknya berkali-kali karena tak siap dengan pertanyaan yang dilontrakan Anggoro. Mas Budi menghela nafas panjang, “Wes intinya kamu fokus kerja aja. Yang penting soal bayaran, aman. Lagi pula kamu kesini juga untuk nyari Pakde Widodo, kan?” akhirnya Mas Budi berhasil mengelurakan sejurus jawaban yang bisa menutup mulut lawan bicaranya.
Sesuai dugaan, mendengar jawaban itu Anggoro hanya bisa terdiam, menatap kosong piring-piring di depannya yang juga sudah kosong. Memang benar kata Mas Budi. Niat dirinya datang jauh-jauh ke kota ini bukan hanya untuk mencari pekerjaan, melainkan juga ingin mencari laki-laki yang Mas Budi sebut dengan panggilan “Pakde Widodo” namun dirinya dulu kerap panggil dengan sebutan “Bapak” pria yang konon pergi merantau ke kota ini setelah bercerai dengan ibunya saat dirinya masih kecil dan tak pernah ia dengar lagi kabarnya.
“Yowis, gitu aja ya, Ang. Gue ada janji, nanti ketemu di kosan,” tutur Mas Budi dengan aksen akulturasi Jawa campur Betawi yang jadi terdengar sumbang di telinga. Mas Budi lalu bangkit, membayar tagihan mereka berdua kemudian berlalu pergi meninggalkan Anggoro yang masih duduk mematung dengan tatapan yang sama.
Setelah hampir setengah jam berdiam diri di meja, Anggoro akhirnya beranjak meninggalkan warung itu, tepat pada pukul satu dini hari. Menurut instruksi dari Mas Budi, untuk bisa sampai di kamar indekosnya, dirinya hanya perlu berjalan sebentar dari jalan utama dan masuk beberapa meter ke dalam gang.
Dengan hati-hati ia menyusuri jalanan sempit dan gelap, berbekal catatan yang dikirim Mas Budi lewat pesan singkat sebagai patokan dalam melangkah menuju indekos. Ketika sampai di sebuah sisi jalan yang gelap dan sunyi, Anggoro menyadari ada langkah kaki lain di belakangnya. Bila diingat kembali, langkah itu selalu ada sejak dirinya mulai masuk ke mulut gang dari jalan utama tadi. Anggoro mempercepat langkahnya dengan gusar. Terdengar jelas di telinganya bahwa derap langkah dibelakangnya turut padat juga. Ia menoleh ke belakang, nampak dua laki-laki yang berusia sebaya dengan dirinya menatapnya penuh dendam. Merasa yakin telah dibuntuti, Anggoro pun mengambil langkah seribu. Namun terlambat, langkahnya harus terhenti dengan sebuah cengkraman kuat di tangan kirinya dari salah satu laki-laki yang membuntutinya, disusul dengan sebuah pukulan keras yang melayang di wajahnya dari laki- laki yang lainnya. “BUK” dirinya pun ambruk tak sadarkan diri.
***
Anggoro membuka matanya berat. Kepalanya pusing tak karuan. Ia merasakan ada rasa nyeri berdenyut di tulang pipi kirinya. Dengan sekuat tenaga ia berupaya bangkit duduk. Deburan ombak terdengar di telinganya, sesaat itu juga ia sadar bahwa ia tengah berada di tepi pantai dengan pasir sebagai alas tidurnya sejak tadi. Pantai memang tak jauh dari lokasi pertemuannya dengan Mas Budi tadi, namun ia masih terheran bagaimana ia bisa sampai di sini. “Sudah bangun?” seorang laki-laki paruh baya yang rupanya sejak tadi duduk lima meter di sampingnya menyambut suimannya dengan sebuah pertanyaan retoris.
Anggoro menegakkan badannya sebagai reflex siaga. “Nggak usah takut. Saya malah mau minta maaf mewakili pemuda yang pukul kamu tadi,” ucap laki-laki itu tanpa memalingkan wajahnya dari laut yang masih gelap dengan semburat tipis jingga tanda fajar sebentar lagi menyingsing.
Anggoro hendak mengajukan satu saja pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, namun sebelum satu pertanyaan terlontar dari mulutnya, sebuah pertanyaan lebih dulu melayang dari bibir pria itu. “Kamu liat kapal yang ada di ujung sana itu?” tunjuk pria itu kepada sebuah pendar lampu kapal yang menyala di sisi kanan hamparan laut di depan mereka, “Itu kapal tempat kamu kerja nanti. Mereka pasang pagar laut hampir 24 jam. Kerasukan apa mereka bisa garap non stop, macam dedemitnya Bandung Bondowoso saja.”
Mata anggoro menatap pada arah yang dituju. “Kok tau kalau saya bakal kerja bikin pagar laut?” Anggoro memilih pertanyaan itu sebagai pertanyaan pertama yang layak diajukan. Pria misterius yang wajahnya terselimuti kegelapan itu menjawab, “Di warung, dua pemuda yang pukul kamu tadi dengar berbincanganmu soal mau kerja di pagar laut. Pagar laut ini sudah 40% terpasang. Banyak pekerja yang keluar karena takut kena masalah, makannya mereka gencar cari pekerja baru sampai luar daerah. Pagar laut ini nggak jelas asal usulnya, waton dibikin tanpa pertimbangan dan kajian, tujuannya juga nggak jelas. Tapi dampaknya luar biasa bagi kami para nelayan. Dua pemuda yang gebukin kamu tadi juga nelayan. Makannya emosi mereka sama kamu.”
Anggoro mulai menemukan benang merah, “Kalau memang bermasalah kenapa proyeknya bisa jalan, Pak? Bikin kaya gini kan perlu izin dan lain-lainnya, kan?” tuturnya kemudian. Laki-laki itu justru terkekeh, “Kamu itu naif apa memang masih polos? Segalanya bisa dibeli sama uang. Apalagi kalau cuma ngomongin legalitas yang sebenarnya juga cuma formalitas. Kamu pikir selama ini kami diam aja? Kami sudah demo dan lapor sana sini. Tapi ya kamu lihat sendiri, pagar lautnya masih terus dibangun, media pun juga dibungkam apalagi instansi, makin nggak kedengeran suara kami ini.”
Anggoro mengangguk paham. Sudut pandang itu langsung dia mengerti meski tak banyak yang pria misterius itu paparkan padanya. “Mending kamu segera pulang lagi saja atau cari pekerjaan lain kalau masih mau tinggal di kota ini,” saran pria misterius itu, “sebelum nantinya kamu terlalu jauh masuk ke urusan yang bikin kamu bisa kena masalah yang lebih besar dari sekedar digebukin warga,” lanjut pria itu.
Langit kekuningan kian merona, diiringi matahari pagi yang malu-malu mulai menampakan dirinya, membuat deretan pagar laut yang sejak tadi dibicarakan mulai nampak jelas berjajar di tengah hamapran air laut. Seketika pria misterius itu beranjak dari duduknya sembari membersihkan pasir pantai yang menempel di celananya, “Yasudah, ini sudah pagi. Kalau mau mari menyarap dulu di rumah saya, Anggoro,” tutur pria itu sambil melangkah pergi.
Sesaat Anggoro terkesiap. Suara pria itu jadi terdengar familiar. Dan ia yakin betul sejak awal pembicaraan ini berlangsung ia sama sekali belum memperkenalkan diri, lalu bagaimana pria itu bisa tau namanya? Anggoro menyadari sesuatu, dengan sigap dia turut beranjak dan membuntuti pria itu.
Sembari terus mencoba menyusul langkah pria itu, Anggoro memberanikan diri melontarkan sebuah kata yang lama sekali tidak keluar dari mulutnya, “Bapak?” panggil Anggoro ragu. Pria misterius itu menoleh. Kini seluruh raut wajah pria misterius itu terlihat jelas tersorot cahaya fajar. Tak salah lagi, wajah itu memang milik orang yang selama ini Anggoro cari-cari. Nampak jelas wajah tua itu basah dengan deru air mata, diikuti dengan wajah Anggoro sendiri yang seketika turut terbenam dalam banjir air mata yang tak terbendung lagi layaknya kerinduannya selama ini.