Cerpen Lailia Ramadhani Ushwatun Nisa
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku meliuk-liuk mengikuti suatu arus. Terasa ringan pula basah di sekujur tubuh. Meski begitu, kepalaku seolah dihantam puluhan ton batu, berat. Netra ini bahkan tak sanggup untuk sekadar menilik cahaya. Tak lama, aku mulai mengambang tanpa tenaga. Selusin tangan rasanya tengah mengangkat tubuhku yang lemah. Bersamaan dengan hal itu, sepasang alat dengarku turut menangkap sinyal-sinyal bising dari sekitar, tapi tak jelas insan-insan itu membicarakan bab apa.
Tulang punggung menyentuh alas keras. Bising di telinga berangsur-angsur menghilang. Netraku yang semula berat, perlahan terbuka. Begitu melihat sekeliling, sontak aku yang awalnya lemas karena tak sadarkan diri langsung terduduk. Rumah reot, udara lembab, tempat tidur kayu, tembok lapuk yang seakan dapat runtuh kapan saja bila terkena sentuhan angin.
Di depanku, dua perempuan sedang menangis meraung-raung.
"Syukurlah, Bapak sudah bangun!" kata perempuan yang terlihat sepantaran denganku.
Kemudian, perempuan berbadan kecil di sampingnya segera menghampiriku dan memberi pelukan hangat.
"Bapak membuat aku dan ibu sangat khawatir!"
Aku dan ibu? Mereka adalah anak dan istriku? Kenapa rasanya rumah ini, suasana ini, orang-orang ini tidak familiar bagiku?
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.
"Paman Ujang bilang, tadi malam cuaca buruk dan ombak di tengah lautan besar sekali. Di sisi lain, perahu bapak kehabisan bensin sehingga tidak bisa segera kembali ke daratan. Kami cemas sekali ketika bapak dinyatakan hilang. Beruntungnya sekumpulan nelayan lain menemukan bapak dalam keadaan pingsan sore ini. Mereka segera membawa bapak kembali ke rumah," lanjutnya.
Mungkin karena peristiwa tersebut, aku jadi kehilangan sebagian besar memori tentang tempat dan orang-orang ini. Begitu pikirku.
Hari pun mulai gelap. Debur ombak bak alunan musik merdu menemani matahari lenyap ditelan malam. Perut mulai keroncongan, sudah saatnya untuk diisi. Sang pujaan hati memanggil aku dan anak perempuan kami satu-satunya, Mira. Pencahayaan di rumah ini sangat minim, bahkan hampir tidak ada. Kami bertiga mengelilingi meja makan sederhana ditemani pendar cahaya yang bersumber dari satu lilin mungil. Menu makan malam pun dihidangkan. Aku mengernyitkan dahi karena keheranan. Hanya ada satu bakul nasi, satu wadah kecil garam, kerupuk ikan, dan satu teko air putih.
“Bapak, Mira, maaf ya menu makan malamnya hanya ada ini. Ikan yang ditangkap bapak tiga hari lalu sudah membusuk. Uang kita juga sudah habis untuk membeli beras, jadi ibu tidak bisa membeli bahan makanan.”
“Tidak apa-apa, bu. Yang penting kita masih bisa makan dan berkumpul bersama,” respon Mira.
Meski masih merasa tidak familiar dengan kedua perempuan ini, entah mengapa hatiku bergetar. Bagaikan puluhan belati menusuk tepat di titik-titik kritis hati. Aku merasa bersalah dan memiliki tanggung jawab yang besar. Entah sebagai suami dan ayah atau hal lain.
“Maafkan bapak, ya. Sekarang bapak sudah pulih, besok akan segera ke laut mencari ikan untuk dijual dan dimakan,” ucapku menenangkan mereka. Istri dan anakku pun tersenyum hangat di antara remang cahaya dan dinginnya malam.
Keesokan harinya, ditemani mentari yang malu-malu mengekspos dirinya di ufuk timur aku mempersiapkan alat-alat yang harus kubawa nanti sore untuk menangkap ikan. Di tengah keseriusan, istriku datang dan duduk di sebelah. “Suamiku, perahu kita sendiri kan sudah tenggelam. Bagaimana bisa mencari ikan?” ia bertanya dengan nada centil sembari bergelayut manja.
Ah, benar juga. Kapal yang kugunakan untuk melaut sudah ditelan ganasnya ombak saat kecelakaan malam itu. Aku pun terdiam dan tertunduk lesu.
“Bagaimana kalau melaut dengan Pak Rudi tetangga samping kita saja? Kudengar ia tak lagi bisa mencari ikan sendirian, jadi Pak Rudi sedang membutuhkan kawan untuk mencari ikan,” aku yang awalnya lemas setelah menyadari bahwa kesempatanku untuk mencari pundi-pundi rupiah hilang segera menoleh ke arah istriku dan mengangguk dengan semangat. Setelah itu, istriku mengajak untuk sarapan bersama dengan Mira. Tentu saja dengan menu yang sama seperti tadi malam!
Urusan perut sudah teratasi, saatnya ke rumah Pak Rudi untuk meminta izin ikut melaut. Bersamaan dengan hal itu, Mira dengan raut riang berpamitan kepada kami berdua untuk pergi ke sekolah. Mira baru kelas dua sekolah dasar, tetapi ia sudah tumbuh menjadi anak yang mandiri. Saat melihat langkah kaki mungilnya menjauh, aku menghela nafas dengan berat. Sepatu Mira tak lagi layak pakai. Solnya lepas, warnanya memudar, dan dipenuhi lumpur.
Aku bergelut dalam batin. Maaf karena belum bisa membelikan sepatu baru, Nak.
Setelah mendapat izin, sore itu aku berangkat melaut bersama Pak Rudi. Perahu berukuran sedang dengan gagah membelah untaian ombak. Pendar matahari mulai meredup, mendekap kami dalam dinginnya angin malam. Sembari menunggu tangkapan ikan, aku berbincang-bincang dengan Pak Rudi.
Mengingat segala kekurangan dalam rumah tanggaku yang selalu bersumber dari ekonomi, aku pun membuka percakapan “Sekarang menjadi nelayan susah ya, Pak.”
“Haha begitulah, Pak Djatma. Memang dasarnya sudah hidup susah, eh malah dibangun pagar laut. Sekarang area kita terbatas, cuma di pinggiran saja. Itu pun hasil tangkapan sedikit. Kalau mau cari lebih banyak harus menempuh jarak yang jauh. Lagi-lagi keluar biaya operasional yang tak sedikit. Hahahah kalau begitu terus, kapan kita kaya ya?” Pak Rudi memang tertawa, tetapi aku tahu betul tawa itu bukan ungkapan rasa bahagia. Melainkan tawa getir atas nasib hidupnya sebagai nelayan.
Aku kembali mengingat perkataan istriku bahwa kecelakaan yang aku alami malam itu karena kehabisan bahan bakar. Ilustrasi kausa atas kejadian itu begitu cepat diproses otakku. Pagar laut yang baru saja dibangun di area ini membuat jarak tempuh nelayan lebih jauh sehingga membutuhkan bahan bakar ekstra. Sedangkan, hasil tangkapan dan pendapatan terus menurun akibat area yang dahulu potensial untuk menangkap ikan terhalang proyek tersebut. Ada perasaan marah yang membumbung dalam hatiku, bagaimana mungkin orang-orang di belakang proyek pagar laut itu bisa tidur tenang setelah menyiksa nelayan?
Fajar menyingsing, aku dan Pak Rudi telah kembali ke daratan setelah berjam-jam mengarungi lautan ganas. Tentu saja hasilnya mudah ditebak. Tangkapan ikan kami sangat sedikit. Tapi bagaimana lagi? Mau tak mau kami langsung menjualnya begitu menapaki daratan.
Setelah mengumpulkan pundi-pundi rupiah, aku pulang ke rumah. Dari kejauhan kulihat Mira sedang memangku ibunya yang nampak tak sadarkan diri di tanah. Sontak aku langsung membelalakkan mata. Menghampiri mereka dengan tergesa-gesa.
“Ibu kenapa, Nak?”
“Tadi Mira sedang membantu menjemur pakaian, tapi tiba-tiba wajah ibu menjadi pucat dan pingsan.”
Tanpa banyak bercakap, aku berniat segera membawa istriku ke rumah sakit. Namun, secara otomatis aku melihat lembaran-lembaran uang hasil menjual ikan dalam genggaman.
Uang segini mana cukup untuk ke kota dan membayar biaya rumah sakit. Aku bermonolog dalam hati.
Untungnya hari ini adalah hari minggu. Banyak tetangga yang sedang di rumah. Aku pun segera mengunjungi mereka dari pintu ke pintu, berniat meminjam uang. Betapa murah hatinya tetangga kami, Bapak Tatang. Beliau meminjamiku sejumlah uang beserta tawaran untuk menggunakan roda empat agar mobilitas kami ke kota lebih mudah.
Setelah berjam-jam istriku diperiksa, akhirnya dokter keluar.
“Ibu Sri mengidap leukemia stadium tiga, Pak. Ibu harus dirawat di sini beberapa hari lagi hingga sepenuhnya pulih. Ke depannya Ibu Sri juga harus rutin kemoterapi supaya penyakitnya tidak semakin parah.”
Aku terduduk lemas di kursi tunggu. Kemoterapi rutin? Bahkan uang yang aku hasilkan dalam satu hari saja tidak cukup untuk makan. Pendapatanku semakin tak menentu setelah pembangunan pagar laut. Apakah aku mampu menghidupi keluargaku?
Hari-hari menemani istriku di rumah sakit, entah mengapa aku tak pernah tidur dengan tenang. Ada perasaan bersalah yang luar biasa dalam hatiku, tapi aku tak tau apa penyebabnya. Apakah karena tidak bisa memberi kehidupan layak bagi istri dan anakku? Mungkin itu salah satunya, tapi ada suatu hal lain yang sangat mengganjal di hati. Yang paling menakutkan adalah sesekali aku bermimpi sedang dicaci maki dan dipukuli warga.
Sudah sekitar satu minggu istriku dirawat di rumah sakit. Akhirnya kami pulang.
Setelah selesai mengurusnya, aku memutuskan untuk keluar rumah karena mendengar suara teriakan-teriakan warga. Ada juga sosok Pak Rudi di sana.
“Ini ramai-ramai ada apa, Pak?”
“Itu, si direktur perusahaan yang membangun pagar laut di wilayah kita dengan tidak tahu malunya datang ke sini! Dia malah berniat memperluas proyeknya! Ayo Pak Djatma sama-sama kita lawan ketidakadilan!”
Sesuai ajakan Pak Rudi, aku bergegas ke lokasi. Nampak seorang laki-laki berbadan tegap dengan setelan jas hitam berdiri dengan angkuh di sana. Tak lupa rambut klimis dan kacamata hitam mahal. Orang di sampingnya memegang payung untuk menghalangi terik matahari pesisir menyengat kulit laki-laki itu. Ketika dia melepas kacamata, semacam sengatan listrik mengalir ke dalam tubuhku. Wajah ini rasanya familiar. Sebuah nama terucap dari lisan orang-orang yang hadir di sana.
Darya Bimantara, Darya Bimantara, Darya Bimantara.
Kepalaku tiba-tiba sangat pusing, dengungan memekakkan terasa akan membunuhku. Sekelebat memori secara spontan hadir dalam sistem serebral. Hingga akhirnya aku mengingat sesuatu!
Darya Bimantara. Darya Bimantara?! Itu namaku! Direktur perusahaan yang berdiri di sana dan sedang dikutuk ratusan nelayan itu adalah diriku 15 tahun lalu! Lalu, tubuh siapa ini?!
Suara menyeramkan datang dari dalam otakku tanpa kendali. “Darya Bimantara, bagaimana rasanya hidup menjadi nelayan yang kau tindas dengan pembangunan pagar lautmu itu?! Aku mati karenamu! Aku tenggelam karenamu! Keluargaku yang miskin semakin sengsara karena pagar lautmu! Apakah kamu puas?!”
Rasa takut menggerogoti seluruh tubuhku. Aku tak sanggup.
Sebelum jiwaku terasa melayang dan penglihatanku memudar, sebuah kalimat panjang nan menusuk hati kembali terucap dari pemilik tubuh ini.
Tuhan telah mempersiapkan hukuman tiada penawar bagimu, Darya Bimantara. Lebih buruk daripada kematian. Sampai jumpa di pengadilan yang kekal abadi. Aku bersumpah akan bersaksi atas segala bengismu pada rakyat-rakyat jelata seperti diriku.